Kami pulang dengan wajah lesu, tak satu pun tempat kami temui di mana Ibunya Emir. Betul-betul raib!Tapi, kami sudah melaporkan kasus yang meresahkan ini pada pihak yang berwajib. Biar makin banyak yang ikut mencari, sekaligus memberi efek jera kalau saja benar Ibu diculik orang!"Makan dulu, Mir." Kulempar senyum yang terasa getir, melihatnya hempas begini aku merasa sebagian dari dirinya ikut terbawa pergi oleh Ibu yang kini menghilang."Kamu saja sama Risma, Wi. Aku belum laper," begitu jawabannya. Padahal, ia butuh tenaga untuk melanjutkan pencarian juga pikiran yang jernih. Meski aku tahu itu pasti sulit, yang ada tambah semrawut saja."Nggak usah bebal kamu tuh! Tinggal makan saja susah!" sentak Risma, yang membuatku repleks menatap tajam padanya."Ya maaf, aku nggak ada maksud. Hanya saja kamu itu butuh makan, Emir. Ibu kamu pasti sedang menunggu bantuan."Menunggu bantuan? Benarkah itu?"Tahu dari mana kamu?" sinis, Emir bertanya sambil menatapi Risma dengan serius."Ya kita
"Hahahhaaaaa. Bede**h kalian! Sungguh berani kalian menuduhku tanpa bukti!" Sorot tajam kedua netra Pak Lurah, tak sedikit pun membuat kami gentar. Seminggu berlalu, Ibunya Emir belum jua ditemukan. Bahkan pihak kepolisian pun nihil saat kami tanyai, tak ada jalan lain selain kami berdiri di depan rumah Pak Lurah!"Tolong kembalikan Ibuku, Pak Lurah!" lirih Emir berucap, tampilannya makin lusuh.Namun, bukannya iba Pak Lurah makin tertawa terpingkal-pingkal. Apanya yang lucu? Pantaskah dia kusebut sebagai pimpinan?"Abang!" Wanita itu menghampiri 'Emirku' dengan dandanan aneh. Terlalu rame!"Bapakku pasti mau bantu menemukan Ibu, asal Abang mau menikah denganku."Degh!Rupanya dia belum kapok!Memang, Pak Lurah itu siapa? Polisi saja sulit menemukan Ibu, bagaimana dengannya?"Betul begitu Pak Lurah yang terhormat?" Aku menengadah, apa maksudnya Emir bertanya begitu."Ya, apapun yang anakku katakan maka benarlah adanya." Aku hempas. Rupanya Emir sudah putus asa, dia ingin mengambil j
Hari itu kuhabiskan waktu seharian di rumah. Kumatikan ponsel, tak ingin mendengar kabar apapun baik dari Emir juga Risma.Mungkin Emir bukanlah jodohku. Sudahlah, lebih baik aku sendiri. Benar kata Bapak, aku ini terlalu mudah menjatuhkan hati.Toh aku ini siapa? Ibu Emir jelas lebih utama dibanding aku, jadi wajar jika ia ingin melakukan apa saja agar Ibunya lekas ditemukan.Aku menghela nafas, sungguh perjalanan cintaku begitu terjal juga curam. "Dwiii ...." Bibi mengetuk pintu kamar, "Makan dulu, nanti sakit loh.""Masuk saja, Bi."Kutatap Bibi, yang memang sekilas mirip dengan Almarhumah Ibu. Sepertinya rencanaku untuk menikahkan Bibi dengan Bapak, masih sangat jauh."Bibi buatkan kamu nasi goreng spesial," ucapnya, yang membuatku sedikit bersemangat."Kamu percaya jodoh, Dwi?" Bibi bertanya, aku memakan nasgor sesuap demi sesuap rasanya tak jauh beda dengan masakan Ibuku dulu.Lagi, aku menghela nafas dalam. Tak pernah kupikirkan jika Emir selama itu menaruh rasa, kenapa begitu
Dua minggu berlalu. Aku saja yang bukan anaknya, begitu kaget hampir pingsan melihat kondisi Ibunya Emir.Rencana kami yang ingin memeriksa gudang Pak Lurah, batal dilakukan. Sebab, beliau entah siapa yang mengantar. Tiba-tiba sudah ada di depan rumah Emir, dengan keadaan tanpa busana. Astagfirullah!Sungguh kejam! Sungguh bi**ab orang-orang yang sudah melakukan hal tersebut!Entah di mana hati nuraninya, semoga hukum Allah segera menimpa mereka siapa saja!"Kamu sudah lapor polisi, Emir?" Bapak bertanya, saat kami menunggui pemeriksaan Dokter.Emir yang tengah frustasi, menggeleng lemah. Semoga saja kabar dari Dokter, membuat hati Emir jauh lebih baik.Banyak luka lebam pada tubuh Ibunya Emir, yang lebih parah di bagian kewanitaan. Nampak terkoyak, Astagfirullah!Tak kubanyangkan bagaimana sakitnya, pasti trauma ini akan terbawa hingga kapanpun!"Biar diurus nanti saja, Pak. Emir mau fokus dulu di sini," ucapnya, yang masih tak mau mengalihkan netra pada kamar di mana Ibu berada."Y
"Memang betul-betul nggak karuanlah hukum di Indonesia ini," komentar Bapak, yang rupanya laporan mereka terkait pelecehan yang terjadi pada Ibu hanya ditanggapi biasa saja. Terkesan abai, apalagi saat mereka menyebutkan ada curiga pada Pak Lurah. Sudah kuduga. Para lelaki berseragam itu minta disuap dulu sebanyak mungkin, barulah mau bergerak!Walaupun memang tak semua demikian, tapi, masyarakat sendiri jarang bahkan tidak pernah dipertemukan dengan yang betul-betul menjalankan tugasnya."Rupanya selain menjabat jadi Lurah, tuh orang punya kuasa lain. Melihat begitu banyak yang takut dengannya," sambung, Bapak. Ya, bisa jadi mereka punya kuasa yang lebih meyakinkan dari seorang Lurah. Kita mana tahu, dilihat dari rumahnya yang paling besar se-kampung. Bodyguard yang banyak, istri jangan ditanya!"Yo berarti kita harus hati-hati, jangan sampai salah melangkah." Bibi ikut menimpali, jujur saja aku juga sebetulnya malas jika terus berhubungan dengan Lurah tersebut.Nggak kayak Lurah
Nyatanya itu hanya reaksi sebentar saja, tapi, apapun itu tak mengurangi rasa haru. Sebab, kata Dokter ini sudah menjadi satu pertanda yang baik. In Syaa Allah, Ibu akan segera sadar dari tidur panjangnya. "Tapi, kenapa Ibu sampai memberikan reaksi ya, Dok? Tadi itu ... kami ada ribut-ribut sedikit." Kujelaskan saja pada Dokter, siapa tahu kehadiran Aima memicu ketenangan beliau."Bisa jadi dia bermimpi sesuatu, atau ada hal yang membuatnya merasa terancam. Macam-macam alasan, semoga ini memang pertanda baik." Aku mengangguk paham, tak sabar dengan kesadaran Ibu. Setidaknya si pelaku akan segera terungkap, tak perlu lagi menunggu pihak yang berwajib."Kenapa kamu tanya begitu, Wi?" Risma bertanya usai Dokter dan Perawat pergi."Tadi itu kita udah bikin ribut, bisa jadi Ibu terganggu. Mungkin memang bagus, Ibu jadi sadar. Tapi, sebisa mungkin jangan begitulah. Takutnya membahayakan," ucapku, yang berharap semua baik-baik saja.Entah kenapa aku jadi makin curiga pada semua keluarga Pak
"Alhamdulilah," ucap kami serempak, demi melihat kondisi Ibu yang ternyata sudah siuman. Namun, belum mau bicara apa pun saat ditanya.Hampir jantungku mau copot rasanya, saat Emir menelpon setengah-setengah. Ternyata ponselnya keburu habis baterai, dia sering kali lupa semenjak Ibu masuk RS.Pikiranku sudah jauh ke mana-mana, takutnya Ibu kenapa-napa. Tapi, syukurlah. Kata Dokter, hanya tinggal menunggu Ibu mau bicara itu saja. Jangan menyinggung suatu hal, yang kemarin menimpa beliau."Genap dua minggu, Alhamdulilah Ibumu sadar, Nak Emir." Bibi berucap, sembari mendekat pada ranjang Ibu yang masih menatap sendu.Seakan banyak beban yang ingin dia bicarakan, namun, seakan sengaja dikunci. Aku tahu ini sangatlah berat, kalau itu yang aku alami lebih baik mati saja!"Alhamdulilah, Bi. Emir juga nggak sangka," ujarnya, terus menggenggam jari-jemari Ibu. Sesayang itu dia.Siapa yang sangka? Setelah Ibu mengalami banyak robekan di area tertentu, usai pelecehan yang bukan dilakukan hanya s
"Kenapa Ibu memilih diam? Padahal Ibu jelas bisa bicara!" teriak Emir, tampak frustasi.Karena kondisi Ibu sudah lebih membaik, pagi ini beliau sudah bisa pulang. Emir mencoba bertanya perihal kejadiaan naas yang pernah menimpanya, namun, gelengan keras yang terus diberikan.Apa mungkin Bu Ratih sempat menerima ancaman? Hingga memutuskan untuk diam saja, tapi, aku pikir Emir berhak tahu!Emir begitu tersiksa saat Ibunya hilang, jadi wajar jika sekarang dia ingin tahu detail. Termasuk dalang dari semua, biar lebih waspada dan jika memungkinkan dijebloskan saja ke penjara!Bu Ratih kembali histeris, terus menangis sembari menggeleng keras. "Sudahlah Mir, kasihan Ibu. Jangan dipaksa, mungkin Ibu masih butuh waktu."Bu Ratih mengangguk tak kalah keras. Memelukku dengan erat, sembari menangis tak tertahankan.Padahal kalau Ibu mau saja bicara, hari ini juga kami sudah tahu dalang di balik penderitaannya."Tapi, sampai kapan, Wi? Sudah terlalu lama aku bersabar, rasanya tangan ini tak lagi