"Hiiiiiy ...." Bibi bergidik ngeri, usai mendengar semua tentang keanehan Bapak. "Kamu serius, Dwi? Nggak sedang bercanda, masa sih Syamsul segitunya bangeeeet."Aku mengangguk keras, biar Bibi tambah yakin. Hal ini baru kuceritakan pada beliau dan Risma saja, bahkan Emir belum tahu. Tapi, entahlah kalau si Risma nggak ember.Bisa-bisa ilfeel kalau Emir tahu. Huh, aku susah membayangkannya."Barangkali karena sakit hati melihatmu terus-terusan gagal, Dwi. Orang tua mana yang nggak risau," ucap Bibi, yang mungkin mencoba untuk berpikir positif."Entahlah, Bi. Itu alasannya aku kepengen nikah aja sama Emir," kataku, mengulum senyum. Meraba dada, merasakan rindu yang kian menghujam."Halah, itu sih emang kamunya aja yang kebelet nikah. Heran, bener kata Bapakmu Dwi. Kamu itu mesti hati-hati, jangan asal nikah." Aku manyun, mendengar Bibi yang dirasa tak lagi mendukung.Aku kalau udah nikah, kepengen buru-buru keluar dari rumah ini. Bukan ingin menjauh, tapi, dirasa aku Bapak kok, emang
"Sungguh ... Bibi, mau menikah dengan Bapak? Nggak akan menyesal dikemudian hari?" Netraku berbinar, jujur aku telah memupuk harapan yang begitu banyak padanya.Mungkin saja dengan menikah lagi, pikiran Bapak kembali fresh. Mau melepas aku dengan Emir, "In Syaa Allah, Dwi. Anggaplah Bibi, berkorban demi kamu."Kupeluk wanita yang sudah membuat perasaanku lega, curhat padanya selalu mendapat petuah-petuah yang berarti.Sekarang, aku tinggal mengatur strategi bagaimana supaya Bapak jatuh hati pada Bibi.Semoga bukan hal yang sulit, toh mendiang Ibu tak jauh berbeda dengan adiknya."Kalau begitu fix ya? Bibi, mau ikut caraku." Aku terkikik, membayangkan hari-hari yang mungkin saja akan lebih berat. Bapak, tipe lelaki yang tidak mudah jatuh cinta. Berbanding terbalik denganku, hihi.Bibi, nampak kaget. "Jangan aneh-aneh kamu, Dwi. Ingat kami ini para orangtua, Bibi, juga nggak mau melanggar norma-norma.""Ya ampun, Bibi, ini mikir apa sih? Demi deh aku nggak bakal aneh-aneh." Aku mengulum
"Sedang apa janda itu di sini, Bu?" tunjuk seorang gadis, yang tengah berdiri pongah! Fotocopyan Pak Lurah banget.Sengaja pasti dia itu, dengan menyematkan status jandaku! Malesin deh."Eh Nak Aima, mari duduk." Ibu Emir, masih saja ramah. Memang begitu sih sifatnya, tapi, takutnya malah bikin kepala gadis itu makin gede!"Nak Aima kenalan dulu sama Dwi, biar panggil nama kalau ketemu." Aku mengulum senyum, sebelas dua belas ini Ibu Emir sama anaknya bisa memainkan kata."Nggak usahlah, Bu!" tolaknya, duduk dengan menaikan kedua kaki. Menampakan kulit halus, pakaiannya yang minim membuatku terus meneguk ludah. Apa Emir nggak akan kegoda, jika setiap hari disodorkan pemandangan yang membagongkan begini? Astagfirullah!Kami duduk di ruang tamu, menunggui Emir yang tengah berganti baju. Rencana hari ini aku, Risma, dan dia mau ke kebun Bapak. Mengenang masa lalu, sudah lama semenjak menginjakan kaki di sini aku belum jalan ke mana-mana. Paling makan bakso yang deket aja, kangen suasana
"Masuk, Dwi!" teriak Bapak panjang lagi menyakitkan. Kukira di kebun tadi, beliau akan dengan mudah memberi restu untuk jalanku dengan Emir. Nyatanya ....Bapak serius dengan ucapannya, trauma menikahkanku kembali. Jika pada ujungnya semua berakhir dengan sia-sia, Ya Allah apa mungkin takdirku harus seperti ini? Sendiri tanpa pasangan.Aku menghela napas panjang. Teringat akan penolakan Bapak di depan Emir langsung, padahal aku ini janda. Harusnya bersyukur masih ada yang mau, bujang pula!Bapak begitu sombong!Sepanjang jalan tadi aku terus diseret menjauh dari Emir, di bawah tatapan banyak orang. Entah bagaimana penilaian mereka, apa Bapak nggak malu?Apa kuterima saja tawaran Mas Rifal kemarin? Kembali padanya dengan status poligami, memang apa enaknya punya banyak uang, tapi, kalau harus membagi suami mana sudi!Kututup kedua mata. Menangis sesenggukan, kudengar Bapak masih mengomel panjang. Bilang aku ini janda yang tak bisa menjaga marwah, wanita yang terus gagal. Dan dengan tak
"Aku ini janda, bukan anak gadis, Pak!" teriakku, nyalang. Dengan debaran tak menentu, satu-satunya sahabat telah diusir Bapak. Karena dianggap menjadi perantara hubunganku dengan Emir!"Dwi itu benar, Syul. Biarlah dia menikah lagi, siapa tahu si Emir memang jodoh terakhirnya." Aku mengangguk keras, berlindung di balik tubuh Bibi."Kamu nggak perlu membela dia, Ir! Untung saja aku tidak gila, dengan menyaksikan kegagalan pernikahannya yang terus berulang." Tapi, tapi, itu bukan inginku!Keempat mantan suamiku berselingkuh. Memang seharusnya aku tak lagi mudah menjatuhkan hati pada lelaki manapun, hanya saja ini Emir. Dia teman sewaktu SD, aku jelas mengenalnya."Terlalu cepat untuk dia menikah. Terlalu beresiko," sembur Bapak, yang masih menatapku penuh angkara murka.Benarkah begitu?"Pikirkanlah Dwi masak-masak, kamu menikah bukan hanya sekali dua kali. Bapak tahu usiamu terus bertambah, tapi, tolong bersabarlah sampai Bapak merasa kalau Emir bisa menjagamu dalam segala hal." Aku
"Cuih! Pemuda sampah! Bisa-bisanya anakku menyukai lelaki macam begini, sudah miskin belagu pula!" Nanar mataku melihat lelaki yang baru saja menetap di hati, wajahnya penuh luka. Bahkan barusan ia diludahi di depan banyak orang, sungguh kejam Pak Lurah kali ini!Bergetar bibirku, memanggil namanya. Aima sudah dibawa pulang digeret paksa, karena wanita itu kekeuh tetap ingin menikah dengan Emir. Wanita tukang paksa, egois!"Ya Allah ... Emir," lirih suara Ibunya memanggil, dengan uraian air mata. Bapak dan warga yang lain bahu-membahu membawa tubuh Emir masuk ke dalam rumah, biar segera diobati.Jadi, Emir tak ada takut-takutnya dengan Pak Lurah? Dia bahkan menolak Aima demi aku? Benarkah itu?"Aw, aw, sakiiiit Bu!" Aku tersentak, mendengar teriakan Emir yang sedang diobati Ibunya."Heleeeh, gitu aja sakit. Tadi waktu kamu digebukin Pak Lurah sama anak buahnya biasa aja tuh," timpal Ibu, yang membuatku tersenyum. "Biar sama Dwi aja Bu, apa boleh?" Kuberanikan diri, aku tak ingin mel
Kami pulang dengan wajah lesu, tak satu pun tempat kami temui di mana Ibunya Emir. Betul-betul raib!Tapi, kami sudah melaporkan kasus yang meresahkan ini pada pihak yang berwajib. Biar makin banyak yang ikut mencari, sekaligus memberi efek jera kalau saja benar Ibu diculik orang!"Makan dulu, Mir." Kulempar senyum yang terasa getir, melihatnya hempas begini aku merasa sebagian dari dirinya ikut terbawa pergi oleh Ibu yang kini menghilang."Kamu saja sama Risma, Wi. Aku belum laper," begitu jawabannya. Padahal, ia butuh tenaga untuk melanjutkan pencarian juga pikiran yang jernih. Meski aku tahu itu pasti sulit, yang ada tambah semrawut saja."Nggak usah bebal kamu tuh! Tinggal makan saja susah!" sentak Risma, yang membuatku repleks menatap tajam padanya."Ya maaf, aku nggak ada maksud. Hanya saja kamu itu butuh makan, Emir. Ibu kamu pasti sedang menunggu bantuan."Menunggu bantuan? Benarkah itu?"Tahu dari mana kamu?" sinis, Emir bertanya sambil menatapi Risma dengan serius."Ya kita
"Hahahhaaaaa. Bede**h kalian! Sungguh berani kalian menuduhku tanpa bukti!" Sorot tajam kedua netra Pak Lurah, tak sedikit pun membuat kami gentar. Seminggu berlalu, Ibunya Emir belum jua ditemukan. Bahkan pihak kepolisian pun nihil saat kami tanyai, tak ada jalan lain selain kami berdiri di depan rumah Pak Lurah!"Tolong kembalikan Ibuku, Pak Lurah!" lirih Emir berucap, tampilannya makin lusuh.Namun, bukannya iba Pak Lurah makin tertawa terpingkal-pingkal. Apanya yang lucu? Pantaskah dia kusebut sebagai pimpinan?"Abang!" Wanita itu menghampiri 'Emirku' dengan dandanan aneh. Terlalu rame!"Bapakku pasti mau bantu menemukan Ibu, asal Abang mau menikah denganku."Degh!Rupanya dia belum kapok!Memang, Pak Lurah itu siapa? Polisi saja sulit menemukan Ibu, bagaimana dengannya?"Betul begitu Pak Lurah yang terhormat?" Aku menengadah, apa maksudnya Emir bertanya begitu."Ya, apapun yang anakku katakan maka benarlah adanya." Aku hempas. Rupanya Emir sudah putus asa, dia ingin mengambil j