Hana baru saja sampai bersama Ayu di depan rumah megah keluarga Sanjaya. Lampu-lampu pesta menyala terang, denting gelas dan tawa tamu terdengar hingga ke luar. Baru saja mereka hendak turun dari mobil, tiba-tiba ponsel Ayu berdering nyaring.Nada dering itu terdengar berbeda, seperti nada khusus yang jarang sekali dipakainya.Hana melirik penasaran. "Ada telepon?"Ayu melirik sekilas ke layar ponsel, ekspresinya berubah cepat—sejenak tegang, lalu disembunyikannya di balik senyum tipis. "Kamu masuk duluan.""Siapa yang menelepon?" tanya Hana heran, mencoba mengintip layar ponsel ibunya."Tidak penting, kamu duluan saja. Nanti Mama menyusul." Suaranya terdengar datar, tapi jemari yang menggenggam ponsel tampak kaku.Hana menatap ibunya lebih lama. "Mama yakin?""Iya, sudah… sana masuk. Jangan bikin orang menunggu," ujar Ayu sambil melirik kanan-kiri, seolah khawatir ada yang mendengar percakapan mereka."Baiklah…" Hana akhirnya melangkah masuk ke halaman rumah, tapi langkahnya ragu. Se
Anita sudah berdandan dengan cantik, dia melihat penampilan dirinya dengan seksama. Sebelum akhirnya dia berjalan menghampiri Icha. "Kamu sudah siap, Icha?""Iya, aku sudah siap," jawab Icha yang kini menatap kearah Anita. Dia sedikit terkejut ketika melihat Anita yang justru tidak menggunakan baju yang diberikan oleh Morgan. "Kamu tidak memakai baju yang diberikan oleh suamimu itu?" tanya Icha sedikit terkejut."Aku tidak akan menggunakan itu sebelum mendapatkan penjelasan dari dia," kata Anita. Icha jadi semakin yakin kalau ini ada hubungannya. "Aku tidak mau nasibmu sama dengan ibuku, Anita. Sebaiknya kamu cerai saja dengan suamimu."Anita hanya tersenyum dengan sekilas saja. "Aku akan memikirkan ini nanti."Icha tersenyum tipis, dia akan melakukan rencana demi kebaikan dari Anita. Dia khawatir kalau Anita hanya dimanfaatkan dan dijebak oleh orang-orang yang jahat. Apalagi semuanya berhubungan dengan Umar Sanjaya. Dalang dibalik semua yang sudah terjadi. "Icha, kamu melamun? A
Morgan menghantam meja dengan keras, suara dentumannya memantul di dinding ruangan dan membuat gelas di atasnya bergetar. Napasnya terengah, rahangnya mengeras menahan amarah.Anwar sudah berdiri, kepala tertunduk dalam, seolah tanah di bawah kakinya menariknya semakin dalam. Dia tahu, kali ini kesalahannya bukan sesuatu yang bisa ia sangkal."Apa yang sebenarnya terjadi, hah?!" suara Morgan bergetar menahan emosi. "Kenapa Anita sampai marah padaku—dan mengatakan kalau kamu… adalah pembunuh?"Anwar mengatupkan bibirnya rapat-rapat, seakan setiap kata yang keluar akan menjadi duri. "Aku… minta maaf. Aku memang sempat bertemu dengan Icha, mengantarkan barang itu. Mungkin… dia yang memberitahu Anita… tentang semua yang pernah kulakukan."Morgan mengerjap pelan, mencoba meredam bara di dadanya. "Jadi begitu…" gumamnya, namun matanya tetap tajam."Icha masih salah paham…" suara Anwar melemah. "Dia pikir aku masih bekerja sama dengan Umar. Dia tidak tahu… aku bahkan rela jatuh miskin, menin
Anita menoleh kearah Icha dengan sekilas. "Apa kamu sudah lebih tenang sekarang, Icha?""Iya, maaf aku tadi sedikit syok," ujar Icha. Anita hanya mengangguk sambil mengelus tangan Anita dengan pelan. "Aku paham dengan yang kamu rasakan sekarang. Kamu masih gelisah bukan?""Bisa dibilang seperti itu," jawab Icha.Anita membuka sebuah kotak yang memang berisi sebuah gaun. Dia membuka dengan seksama untuk memastikan sesuatu yang dibawa oleh ayan mertuanya. "Kamu lihat ini, Icha. Pemberian dari Morgan padaku."Anita memperlihatkan sebuah gaun dengan sangat indah. Dia membukanya dengan sekarang dan terkejut dengan sesuatu di dalam saja. "Ini perhiasan juga ada," gumam Anita yang memang kenal dengan perhiasan tersebut. Sebuah kalung blue safir yang memang sangat mewah. "Perhiasan?" tanya Icha yang jadi semakin curiga. Terlebih ketika dia tidak salah ingat, kalau pihak dari suaminya Anita memang sangat miskin dan tidak punya uang untuk biaya rumah sakit. "Iya, aku juga heran.""Kok aku
Anita baru saja mendapatkan sebuah telepon dari resepsionis yang mengatakan kalau ayah mertuanya datang ke kantor ini. "Iya, suruh masuk ke dalam saja.""Baik."Anita tersenyum dengan manis sambil kembali menaruh ponselnya. Dia dari tadi mendapatkan pesan dari Morgan kalau laki-laki itu katanya tengah sakit. Anita mencoba untuk menjenguknya tetapi laki-laki itu malah melarang dirinya. Akhirnya Anita hanya diam di sini saja. Sampai tak lama kemudian, Icha datang ke ruangan Anita. "Anita, apa kamu sudah tahu kalau akan ada pesta penyambutan kembalinya Prawira.""Aku sudah mendengarkan berita itu, kebetulan aku juga mendapatkan undangan khusus."Icha yang mendengar itu pun tersenyum dengan bahagia. "Wah bagus dong. Artinya kamu bisa datang bersama dengan suami misterius kamu itu kan?" Anita menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa datang bersama dengan Morgan. "Aku tidak bisa datang bersama dengan Morgan."Icha membulatkan matanya. "Hah, maksudnya bagaimana? Kamu tidak bisa datang be
Di sebuah kafe yang sangat mewah. Ayu tersenyum sambil menunggu seseorang yang datang kepadanya. "Mah," panggil Hana. "Duduk Nak," saran Ayu. Hana duduk di dekat ibunya. Lalu bertanya pada ibunya. Padahal mereka tinggal satu rumah. Tetapi malah ibunya mengajak dia untuk bertemu di sini. "Kenapa sih mah ngajak bertemu di sini, padahal kita bisa mengobrol berdua di rumah?" tanya Hana heran. Ayu membisikan sesuatu pada Hana. "Terlalu bahaya kalau kita bicara di rumah. Kamu tahu kalau Anita ada di rumah dan sekarang semua keuangan dia yang pegang. Satu lagi, para pembantu yang memang dulu orang-orang kita sudah dipecat, kebanyakan di sana orang-orang dari Anita," jelas Ayu. Hana yang mendengar itu pun menghela napas panjang, "Harusnya dari awal memang mama beli rumah saja yang lebih mewah dan tidak tinggal di rumah itu lagi!" umpat Hana."Iya mah bagaimana lagi, dulu aku masih bertahan di rumah itu karena menunggu harta karun dalam berangkas itu. Sekarang malah tidak ada di rumah."