Prawira yang tengah tenang sambil menunggu Anita selesai mandi. Pasti sekarang wanita itu akan memaki dirinya karena sentuhan tersebut. Namun sebelum ia sempat memikirkan bagaimana cara menangkis amarah Anita, nada dering ponselnya memecah keheningan. Ia melirik layar, kemudian mengangkatnya.“Tuan, gawat!” suara tegang dari salah satu anak buahnya terdengar.“Kenapa?” Prawira menahan nada suaranya tetap datar.“Di depan bar, ada banyak wartawan. Mereka bawa kamera, mikrofon… sepertinya sudah menunggu Anda.”Rahang Prawira mengeras. Matanya menyipit. Dalam hati, ia tak perlu menebak dua kali siapa dalangnya. Umar Sanjaya… kau benar-benar nekat.“Baik,” ucap Prawira dingin. “Kalau begitu, aku akan menemui mereka langsung.”“Tuan, apakah Anda yakin?”Prawira berdiri, merapikan kemeja yang tadi sempat ia lepaskan. Setiap gerakannya tenang namun berbahaya. “Mereka yang menyalakan api lebih dulu. Kita juga bisa membuat mereka terbakar oleh kobaran yang sama.”“Baik, Tuan.”Setelah memutus
Anita terbangun dengan kepala berat, denyutannya seperti palu yang menghantam pelipis. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya fokus pada sekitar. Napasnya tercekat ketika menyadari bajunya tergeletak berantakan di lantai, bercampur dengan kemeja yang bukan miliknya.Tubuhnya langsung menegang saat menoleh ke samping, di sana Prawira tidur dengan lelap, wajah tenangnya kontras dengan badai yang bergejolak di dada Anita."Apa ini?" bisiknya parau, tangannya meremas selimut erat-erat, mencoba menutupi tubuhnya yang terasa dingin sekaligus asing.Pikiran Anita kacau. Ingatannya melompat ke malam sebelumnya, pertemuan dengan orang-orang dari Almanof, segelas wine yang ia minum, kemudian... gelap. Hatinya mencelos. Bagaimana mungkin ia membuka mata sekarang di sisi Prawira?"Prawira! Bangun!" Anita mengguncang tubuh laki-laki itu dengan kasar.Prawira hanya menggeram malas, matanya setengah terbuka. "Kenapa sih, Anita? Masih pagi…" suaranya serak, terdengar seperti seseorang yang bena
Prawira membawa Anita ke sebuah kamar, dia tidak punya pilihan lain sekarang. Lagian mungkin ini akan menjadi kesempatan dirinya juga. Dia membawa Anita ke ranjang, lalu tiba-tiba ponselnya berdering tanda ada yang menghubunginya. Prawira melihat dengan seksama, lalu dia mengangkatnya. "Hallo.""Pak Morgan yang terhormat, saya hanya ingin memberitahu Anda, datang ke bar Cipta Abadi dan di sana ada hotel nomor 12, di sana ada istri Anda yang tengah berselingkuh dengan Prawira Sanjaya."Prawira tersenyum ketika mendengar orang yang menghubunginya. Rupanya memang ini semuanya sudah direncanakan. "Terimakasih informasinya."Prawira langsung menutup sambungan teleponnya dan dia langsung mengunci kamarnya. "Mereka pikir akan menang sekarang, berani sekali melakukan rencana ini," ujar Prawira dengan senyuman licik penuh arti. Anita mulai merasa kepanasan, dia berusaha untuk membuka bajunya sendiri. Tetapi Prawira sudah lebih dulu mencegahnya. "Jangan lakukan itu," cegah Prawira. "Tolo
Prawira sudah ada di bar dan dia tengah berdiskusi dengan orang yang memang bekerjasama dengan dirinya. "Apakah Pak Prawira mau membeli saham ini?" tanya orang tersebut. Prawira tersenyum dengan penuh arti, rupanya orang itu datang ke sini untuk menjual sahamnya. "Baiklah, saya setuju." Orang tersebut ikut merasa senang setelah ini, dia menjabat tangan Prawira dengan ramah. "Terimakasih banyak, Pak Prawira." Prawira hanya mengangguk dan hendak akan minum, tetapi baru sampai mulut, dia sudah mencium sebuah bau aroma yang memang mencurigakan. "Ini adalah cocktail terbaru," kata orang tersebut ketika menyadari Prawira sedikit ragu untuk meminumnya. Jelas Prawira harus meminumnya agar semua rencana itu berhasil. Prawira tersenyum tipis dan mendekatkan gelasnya pada minumannya, dia hanya meneguk sedikit saja. Dia ingin tahu apa yang tengah direncanakan sekarang. "Bagaimana rasanya Pak Prawira?" tanya orang tersebut. "Rasanya memang manis." Prawira tersenyum dengan penuh
Icha tengah merasa gelisah sekarang, apalagi setelah mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia tidak bisa membayangkan semuanya sekarang. "Aku tidak bisa membiarkan Anita pergi ke sana sendiri, aku akan mengikutinya diam-diam," gumam Icha. Ini adalah jalan yang akan dia ambil, kebetulan memang dia banyak berhutang budi pada Anita. Jika terjadi sesuatu pada wanita itu, maka dia yang akan merasa bersalah nanti. "Permisi Bu Icha," panggil salah satu OB padanya. "Iya, kanapa?" tanya Icha menaikan sebelah alisnya heran. "Di depan sepertinya ada ayah mertuanya Bu Anita," kata OB tersebut. Icha yang mendengar itu pun langsung tersenyum dengan penuh arti. Kebetulan ada hal yang memang ingin dia katakan. Dia mencurigai sesuatu yang disembunyikan. "Okeh terimakasih infonya yah. Kalau begitu aku akan datang ke sana.""Iya, Bu Icha."Icha akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju tempat di mana Pak Anwar berada sekarang. Sampai dia menghampiri orang yang tengah duduk di loby kant
Icha dari pagi sudah datang ke rumah Anita dengan harapan bisa bertemu dengan suami Anita. Namun, kenyataannya rumah itu sepi, hanya Anita yang menyambutnya dengan wajah setengah kesal."Dia sudah pergi dari semalam," ucap Anita akhirnya ketika mereka sudah duduk di dalam mobil yang melaju ke kantor."Dia nggak tidur di sini, cuma sempat nemenin aku sebentar, lalu hilang begitu saja."Icha melirik cepat ke arah sahabatnya itu. "Aneh banget. Kenapa dia nggak mau tidur sama kamu? Apa dia takut topengnya kebuka saat kamu tidur di sebelahnya?"Anita menghela napas panjang, matanya kosong menatap jalanan. "Aku juga nggak ngerti. Tapi jujur, kalau dia berani tidur sama aku, aku bakal cari cara buat buka topengnya. Aku... terlalu penasaran."Senyuman kecil penuh arti terbit di bibir Icha. "Tuh kan, sudah aku bilang. Dalam hati kecilmu, kamu pasti penasaran dengan wajah asli suamimu itu. Kamu nikah sama orang asing, bahkan nggak tahu siapa dia sebenarnya.""Kamu benar, apalagi setelah mengeta