Share

6. Barter

Minggu pertama bulan Juni, tepatnya di tanggal lima.

Mencondongkan tubuh dengan kaki rapat, Yuhwa memicing sipit sembari menilik kalendar meja yang berdiri tepat di bawah lukisan cat minyak bernuansa biru. Gadis itu mengusap dagu, mengerucutkan bibir ragu sebelum kembali memasukan untaian tali-temali di tangannya ke dalam saku.

Kuno, jelek, dan murahan. Hans tidak akan menyukainya, menurut Yuhwa. Maka ia urungkan kembali niatnya untuk memberi hadiah kecil pada si pria yang tengah bertambah usia hari itu. Pandangannya kemudian berselancar, secepat angin berhembus dan jatuh pada pintu kayu oak yang tanpa suara berteriak 'tolong jangan ganggu aku', meminta Yuhwa untuk segera berlalu dan mengabaikan eksistensi seseorang di balik itu.

Semenjak siaran langsung bersama para member MINE tadi, Hans berada dalam suasana hati yang buruk. Tak ada satu orangpun yang berani mengusik ketenangannya, terlebih Yuhwa. Bahkan pria itu belum keluar ruangan relaksasi sepeninggalan Manajer Kim dan yang lainnya sekitar tiga jam yang lalu. Entah benar-benar melakukan relaksasi, atau sesuatu lainnya yang tak mau Yuhwa ketahui dengan pasti.

Menurut Yuhwa, tidak akan ada manusia normal yang tidak terganggu dengan teror panggilan bertubi dari nomor tidak dikenal. Mungkin begitu juga cara orang-orang yang menyebut diri mereka sendiri sebagai penggemar merusak hari bagus Hans ini.

Satu langkah meninggalkan tempat berdirinya di depan pintu, bilah kayu tersebut terbuka tanpa permisi, berhasil membuat sang gadis terlonjak kaget hingga nyaris jatuh terpeleset di atas lantai marmer licin. Dengan wajah datar, si pelaku bertanya, "Kenapa?"

Sejenak Yuhwa mengeratkan gigi-giginya, mendecak gemas akan kelakuan menyebalkan Hans yang siap menjadi santapan hariannya selama tinggal di rumah itu. Meskipun begitu, untuk yang saat ini ia tidak dapat kabur, kan? Hans terlalu cerdik untuk menyita kartu identitasnya. Mengunci pergerakan sang gadis tanpa banyak usaha sia-sia.

"Hm, tidak apa-apa," jawabnya memaksakan senyum palsu. Padahal dalam hati Yuhwa berteriak kesal, mengumpat halus dan menyandingkannya dengan nama Hans.

Jari telunjuk Hans terangkat, pria itu arahkan tepat di depan wajah Yuhwa. "Cucilah wajahmu itu. Kau terlihat seperti orang yang baru saja dicampakkan," ledek pria itu kemudian.

Beruntung Yuhwa tidak marah. Ia hanya merasa sedikit dongkol saja. "Kau mau kemana?" Hanya itu tanggapannya.

"Apa itu urusanmu? Ini rumahku."

Yuhwa berdeham, sempat mengangguk setuju kemudian menimpali, "Aku kan hanya tanya."

Mengangkat kedua pundak tak acuh, Hans nyatanya benar-benar pergi meninggalkan Yuhwa, tak mau repot-repot menjawab pertanyaan sang gadis yang katanya hanya sekedar basa-basi itu. Memang bukan urusan Yuhwa sih. Tapi apakah Hans tidak memiliki sopan santun? Ia setidaknya bisa jawab toilet atau dapur kalau malas menjawab panjang. Toh, sepertinya itu bukan jawaban yang menyangkut privasi seseorang. Bagaimanapun, Yuhwa dapat melihat dengan mata kepala sendiri nantinya.

"Eh, tunggu, Hans!" Teriak gadis itu berhasil menghentikan langkah Hans. Sang pria menoleh dengan kedua alis terangkat, terlihat sangat terganggu dengan presensi Yuhwa di rumahnya.

Tapi untuk kali ini Yuhwa berniat baik. Memberanikan diri, gadis itu mengambil langkah mendekat, merogoh sebelah sakunya dan menyerahkan benda sederhana yang sempat menjadi pergelutan hati dan pikirannya beberapa saat lalu. Gelang makrame berwarna hitam. Kalaupun Hans tidak menyukainya, setidaknya Yuhwa sudah memilih warna yang paling cocok dengan sifat pria itu. Ia juga membuatnya dengan sepenuh hati, meskipun Hans pasti tidak peduli.

"Anggap saja... hadiah ulang tahun?" usulnya, "kau tahu sendiri aku tidak punya apa-apa, bukan? Aku membuat ini dari benang yang kutemukan di laci sana." Pandangan Hans mengikuti arah telunjuk Yuhwa, yang berakhir pada sebuah laci kecil di bawah televisinya.

Hans mengangguk. Sejujurnya ia tak ingat betul kenapa bisa ada benang hitam dan manik-manik kecil di dalam laci miliknya, tapi ia tak berniat mengurusi itu.

Terlihat tidak tertarik, Yuhwa lantas menambahkan, "Kau pasti tidak menyukainya. Tapi yasudah, pastikan jangan membuangnya di depan mataku." Bibir gadis itu mengerucut, pipinya mengembung, kepalanya merunduk gugup.

"Yuhwa!" sahut Hans setengah keraguan.

Yuhwa mendongak, melebarkan kedua mata setelah tak menduga bahwa Hans akan menanggapi ucapannya dengan menyebut namanya. Takut-takut kalau pria itu sangat tidak suka dengan hadiahnya dan memaki Yuhwa di depan muka.

"Aku mau yang itu." Ucapan Hans mengakhiri kecemasan Yuhwa. Lain dari apa yang mejadi dugaan buruknya, Hans justru mengangkat jari telunjuk, mengarahkan jemari panjang itu pada pergelangan tangan kiri Yuhwa. Lebih tepatnya, gelang merah dengan batu giok hijau yang telah menempel pada lengan sang gadis sejak sepuluh tahun yang lalu.

Dengan gestur protektif Yuhwa mencengkeram gelang tersebut erat, mengerutkan kening seraya menggelengkan kepala cepat, menolak mentah-mentah permintaan Hans. "Kalau yang ini tidak bisa," tolaknya.

"Aku yang berulang tahun, dan aku mau yang itu!" pinta Hans lagi, kini dengan nada yang lebih tinggi.

Meski begitu, Yuhwa tetap tidak akan memberikan gelang tersebut. Terlepas dari kondisinya yang sudah kumal dan warna yang sudah pudar, gelang pemberian mendiang sang ayah adalah barang paling berharga yang bahkan tak akan pernah Yuhwa biarkan seorang pun menyentuhnya. Apalagi sosok pria tak tahu terimakasih seperti Hans.

"Tidak ada penawaran, Hans. Kalau kau tidak suka gelang pemberianku, ya sudah."

Yuhwa melirik benda incaran Hans, hingga ingatannya sedikit terlempar untuk sejenak bernostalgia pada masa di mana sang ayah masih hidup, mengajarinya membuat makrame, hingga dari situlah Yuhwa dapat memberi hadiah kelewat sederhana untuk ulang tahun Hans yang dirayakan secara megah-megahan oleh para penggemarnya.

Yuhwa tidak munafik. Sebetulnya ia juga malu memberikan hadiah yang terlihat tidak bernilai semacam gelang makrame itu pada sosok terpandang seperti Hans. Kalau saja Yuhwa tahu bahwa kini seluruh papan reklame di sepanjang stasiun bawah tanah Korea terisi penuh oleh wajah Hans, pasti gadis itu lebih malu lagi.

Tapi mengingat kenyataannya Yuhwa hanyalah gadis kurang beruntung yang berakhir tanpa sepeser uang di kantung, tak ada opsi lain kalau ia ingin berbagi secuil kebaikan pada Hans selain dari gelang ketinggalan jaman buatannya. Toh menurutnya, gelang sederhana itu cukup dapat melengkapi penampilan Hans di atas panggung.

Hans mendengus kasar. Sembari berlalu ia berucap ketus, "Dasar tidak tulus."

Peristiwa ini sedikitnya mengajarkan Yuhwa, ada pepatah yang menyebut 'Air susu dibalas dengan air tuba', dan Hans adalah salah satu spesies di muka bumi yang mendasari pepatah tersebut diciptakan.

***

Sepertinya Hans cukup menyukai kopi. Atau bahkan sangat menyukai kopi. Sementara salah satu kabinet dapur di isi penuh oleh bungkusan mie instan dan dua kabinet lainnya berisi peralatan memasak, tiga kabinet sisanya dihadiri oleh jajaran biji maupun bubuk kopi dari berbagai macam negara. Peralatan membuat kopi yang dimiliki sang pria Lee juga terbilang lengkap, tentu saja. Mulai dari penggiling biji kopi di dekat keran cuci piring, bahkan alat pembuatan kopi manual dan juga otomatis yang tersebar dari ujung hingga ke ujung lain dapur.

Yuhwa hitung-hitung dengan jari tangannya, pukul lima sore hari ini pun Hans sudah menyesap cangkir kopinya yang ke enam. Entah berapa banyak yang pria itu minum di luar pengawasan Yuhwa.

Melihat kini Hans lagi-lagi menyeduh secangkir kopi lainnya, Yuhwa hanya dapat menghela napas lalu mengangkat pundak tak acuh. Kalaupun Yuhwa bicara panjang lebar soal bahayanya minuman hitam pekat itu bagi kesehatan lambung, Hans tentu tak akan pasang telinga secara cuma-cuma. Akan lebih baik jika Yuhwa duduk diam di atas sofa, pasang mata dan telinga menyimak televisi, dan mengabaikan eksistensi Hans yang tengah duduk menghadapnya dari ujung sana.

Tapi semua itu hanya angannya belaka.

Tepat setelah sang gadis meletakkan bokongnya di atas permukaan sofa, namanya disapa tegas oleh penghuni lain di dalam rumah. Siapa lagi kalau bukan Hans?

"Hm?" tanggap Yuhwa sekenanya. Perasaannya sedikit kurang enak, jadi Yuhwa sengaja tidak ingin terlalu menanggapi sapaan pria itu dengan serius. Ia bahkan tidak mau repot-repot mengalihkan perhatian dari layar televisi yang tengah menayangkan pertandingan sepakbola.

Merasa diabaikan, Hans menyahut sekali lagi, "Zhao Yuhwa," tegasnya.

Mau tak mau Yuhwa pun mengalah. Menengok kecil ke arah suara tersebut memanggilnya, lalu mengangkat kedua alis bertanya-tanya. Tak lupa sebelah tangannya menekan tombol merah pada remot sehingga layar kaca yang menjadi perhatiannya beberapa saat lalu kini meredup, meninggalkan jejak hitam dan bisu yang entah kapan akan dilebur.

Hans berdeham, mengakhiri peperangan tanpa suara di antara mereka lalu melambaikan sebelah tangannya di batas alis, meminta Yuhwa untuk lekas datang menghampirinya. Dehaman dalam itu membuat Yuhwa gugup, tetapi saat Hans kembali menyesap kopi di cangkirnya, Yuhwa menjadi sedikit lebih tenang.

Sang gadis pun beranjak, dalam hati meyakinkan diri bahwa Hans tidak akan macam-macam. Meski Yuhwa tahu sendiri, Hans banyak mau dan pria itu berkepribadian keras. Tapi sebelum telinganya mendengar kalimat-kalimat tidak masuk akal lain yang keluar dari bibir tipis pria itu, Yuhwa tetap harus bersedia menuruti panggilannya.

"Kau suka kopi?" tanya Hans begitu lengan Yuhwa menyentuh ujung meja makan. Meja kaca itu terasa dingin. Sama menusuknya dengan tatapan Hans selagi berbicara dan mengecap bibir.

Yuhwa menggeleng. "Tidak begitu."

Hening sejenak, dan Hans meraih ponselnya, mengangkatnya tinggi-tinggi seolah tengah menyimak suatu berita panas dari layar persegi panjang itu. "Kenapa?" katanya.

Yuhwa pun menerka-nerka, mencari gagasan yang lebih kuat selain dari alasan kesehatan. Setelah mendapatkannya, ia kemudian berucap, "Rasanya tinggal lama di lidah. Aku tidak nyaman dengan itu."

Detik kemudian, ponsel Hans meleset dari tangannya, meleset masuk ke dalam cangkir dengan kopi yang bersisa setengah. Berbeda dengan sang empu yang tidak menunjukkan reaksi apapun, Yuhwa justru mengangakan mulutnya lebar-lebar. Tangannya bergerak refleks, meraih alat elektronik itu dengan cepat, mengabaikan ujung-ujung jarinya yang terbakar oleh panasnya kopi.

"Astaga, Hans!! Kau ceroboh sekali?!" pekik Yuhwa mengibaskan tangan.

"Jawabanmu mengejutkanku."

Padahal, sama sekali tidak terlihat seperti itu.

Dari kesan dingin, raut datar, dan sikap tenang, sebelah mananya yang menggambarkan keterkejutan Hans? Apakah jantungnya bahkan bereaksi minim?

"Hair dryer! Kau bisa mengeringkannya dengan itu. Kau punya, kan?" tanya Yuhwa kelabakan, "ayo cepat, sebelum mesinnya rusak!" tambahnya lagi.

"Ada di kamarku," ucapnya.

Menggenggam ponsel aroma kopi tersebut di tangan, tanpa buang waktu Yuhwa berlari ke arah tangga, meninggalkan Hans yang kini melipat kedua tangan di depan tangan dengan tenang.

"Ambil saja ponsel itu. Aku bisa beli baru."

Langkah Yuhwa terhenti. Sembari menengok frustasi sang gadis menyeletuk, "Ya? Kau gila?"

Hans mengangkat kedua pundak. "Kalau tidak mau, yasudah. Buang saja."

Kedua kelopak mata Yuhwa membola, sedikit tak percaya dengan pernyataan Hans yang barusan masuk ke telinganya.

Yuhwa tahu Hans punya banyak uang, dan ponsel bukanlah sesuatu yang sulit untuk ia beli dengan kekayaannya itu. Mengingat Yuhwa memang butuh, ia akan mengucap terimakasih. Tapi, apakah Hans membuang ponsel hanya karena sedikit tercelup ke dalam cangkir kopinya?

Atau karena telepon bertubi-tubi dari penggemar fanatik yang membuatnya terlampau kesal?

Tidak mungkin Hans sengaja menjatuhkan ponselnya agar dapat ia beri pada Yuhwa sebagai transaksi tukar menukar hadiah ulang tahun, kan? Tentu saja tidak mungkin. Hans bahkan tidak menyukai gelang pemberian Yuhwa itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status