Nur pulang sore hari itu. Pikirannya kacau dan kalut. Apa yang terjadi pagi tadi mengguncang dunianya, mengguncang tatanan kehidupan yang sudah berjalan baik sejak dia menjadi wakil ketua.
Nur melepas helm dari kepalanya, rambutnya kusut sekusut pikirannya. Dia pandangi motor butut itu. Satu pernyataan timbul dalam pikirannya, “Sepertinya kamu akan menemaniku lebih lama?” Dia lalu menepuk-nepuk jok motor itu.
Nur menggaruk dahinya. Dia ambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat pula. Sore itu dia merasa capek secapek-capeknya. Nur merasa bahwa dia seperti habis bekerja menaikkan batu-batu besar dari sungai dan mengangkatnya ke atas bukit hanya bermodalkan tangan dan kakinya saja.
Semua hal yang terjadi hari ini diluar perkiraanya. Nur merasa menang atas Pak Anwar kemarin. Dia pikir Pak Anwar sudah tidak bisa mengganggunya. Apa lacur, hari ini dia belajar bahwa Pak Anwar benar-benar orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa
Setelah makan malam, Nur kembali meletakkan punggungnya di sofa tamu. Dia pikir, hari ini sudah selesai. Dia tidak sempat memikirkan jalan keluar untuk permasalahan yang sedang dihadapinya. Setelah melakukan semuanya sore ini di rumah, dia sudah tidak berdaya lagi untuk berpikir jernih.Nur sendirian di ruang tamu itu. Dara sedang menemani Wahid di dalam kamar depan. Sekilas tadi Nur melihat Dara sedang sibuk dengan ponselnya dan tidur-tiduran di kasur. Dia merasa kesepian dan ditinggalkan. Nur ingin menyusul mereka berdua ke dalam kamar. Tapi niat itu diurungkannya. Kasur itu terlalu sempit untuk ditiduri bertiga. Oleh sebab itu, Nur tetap bertahan di ruang tamu.“Alangkah enaknya jika Dara mendaatangiku dan menemaniku di sini. Alangkah indahnya jika aku bisa berbagi beban semuanya dengan Dara. Paling tidak kalau Dara tidak bisa memberikan solusi, dia mau mendengarkan dan tidak menyalahkan.” pikir Nur. Pikiran Nur melayang lagi, “Itu ta
Dara masih terduduk di sofa ruang tamu. Dirinya terguncang hebat. Air matanya masih mengalir dengan deras membasahi pipinya. Dirinya sesenggukan. Hidungnya penuh dengan cairan yang membuatnya susah bernafas.Dara tidak pernah menyangka kejadian ini. Lelaki yang dicintainya mengatakan hal-hal yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Lelaki itu, untuk pertama kalinya, berkata-kata kasar kepadanya. Untuk pertama kalinya pula, lelaki yang dicintainya itu membuat dirinya menangis.Dara pun bangkit menuju kamar mandi. Dia tidak ingin Wahid mengetahui hal tersebut. Wahid tidak boleh tahu kalau dirinya sedang menangis. Dia tidak ingin Wahid mengetahui bahwa papanya telah menyakiti mamanya. Dara membasuh mukanya dengan air, mneghilangkan semua jejak tangisan dari wajahnya. Hal itu akan menyakiti hati Wahid dan berdampak pada dirinya nanti disaat Wahid sudah dewasa.Setelah Dara dari kamar mandi, dia mengintip Wahid. Syukurlah, Wahid masih tertidur pulas. Wahid tidak m
Dara merasa aman dari Mas Nur. Meskipun Mas Nur bisa membombardirnya dengan pesan singkat sehari tiga kali, tapi Mas Nur tidak bisa menemuinya. Hanyalah Mapala yang bisa membuat mas Nur dan dirinya bertemu. Oleh karena itu, niat Dara untuk segera keluar dari Mapala semakin besar. Dara ingin segera jauh dari Mas Nur. Dara tidak ingin dekat dan mengenal Mas Nur lebih jauh. Toh, jika pesan singkat itu selalu tak diacuhkannya, Mas Nur lama-lama akan menyerah juga.Kenyataan tidak seindah harapan. Sekitar dua bulan setelah malam pengenalan, entah bagaimana caranya Mas Nur mengetahui tempat Dara dan Dila biasa makan. Padahal mereka berbeda jurusan dan fakultas, Mas Nur jurusan Mesin, sedangkan dirinya jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Bahkan jarak gedung kuliah mereka jauh. Dara biasa makan di warung belakang kampus yang dekat dengan gedung kuliahnya. Sedangkan, gedung mesin berada di depan kampus.Saat itu Mas Nur datang dengan teman-teman sekelasnya datang ke warung terse
Kegiatan lintas alam sudah harus dilaksanakan kembali. Kali ini Dara bukan lagi menjadi peserta, namun menjadi panitia. Lintas alam ini dilaksanakan dengan mendaki Gunung Lawu yang berada di Kabupaten Magetan dan direncanakan selama tiga hari. Seluruh peserta dibagi menjadi beberapa kelompok, satu kelompok berisi lima orang, dua senior dan tiga junior, dan akan mendaki dan menuruni gunung tersebut.Karena menjadi panitia inilah dia jarang berinteraksi selama kegiatan dengan Mas Nur selama kegiatan, karena Dara dan Mas Nur berbeda kelompok. Dara tidak bisa bertemu Mas Nur pada siang hari, namun pada malam hari Dara melepaskan rindunya dengan melihat Mas Nur sepanjang sore sebelum berangkat tidur. Tentu saja, Dara memperhatikan Mas Nur dengan sembunyi-sembunyi, jangan sampai Mas Nur tahu.Tapi, selama sore dan malam di titik temu, Dara dibuat tambah muak lagi dengan Mas Nur. Bukan muak sebenarnya, tapi lebih ke rasa cemburu. Meski, Dara menyangkal dengan keras apa yang d
Mas Nur sudah menyatakan perasaannya tidak kurang dari 3 kali dalam waktu setahun sejak peristiwa kaki keseleo. Namun, disetiap pernyataan perasaan tersebut, Dara selalu menyatakan bahwa dia tidak ingin menjalin hubungan asmara. Dara selalu beralasan bahwa dia ingin fokus terhadap kuliahnya dahulu.Dalam setiap pernyataan cinta tersebut, Dara selalu berbunga-bunga. Perasaannya terbang membubung tinggi. Tetapi, rasa gengsi masih membebani hatinya. Dara sudah malu terlebih dahulu karena membenci Mas Nur. Dara tidak bisa menerima kenyataan karena dia jatuh cinta pada orang yang dia benci.Dalam tempo waktu tersebut, Dara juga menyadari satu kualitas dari Mas Nur. Mas Nur bukan orng yang gampang menyerah. Misalkan, Mas Nur mengajak Dara untuk makan malam bersama, satu kesempatan Dara menolak. Dan Mas Nur masih terus berusaha untuk mengajak Dara keluar makan bersama. Mas Nur juga masih setiap hari mengirimi Dara pesan singkat, meski biaya untuk mengirim satu pesan singkat m
Mobil travel itu menurunkan Dara tepat di depan rumahnya. Rumah megah bertingkat dua dengan arsitektur modern yang becat putih. Rumah tersebut berada di kawasan Surabaya barat. Dara menarik kopernya dan masuk ke rumahnya.“Sepi, seperti biasa.” batin Dara. Dara memasukkan anak kunci pintu rumah, memutarnya, dan mendorongnya. Begitu Dara masuk rumah, Dara menghirup nafas dalam-dalam.“Home sweet home.” kata Dara pada dirinya sendiri.“Assalamualaikum.” Dara berteriak. Dari belakang, sesosok perempuan yang sudah tua berlari-lari kecil menghampirinya.“Masya Allah, Mbak Dara. Ko enggak nyuruh saya saja untuk buka pintu?”“Ah, saya bisa ngerjain sendiri Mbok. Mbok Tur sehat?” kata Dara sambil tersenyum.“Alhamdulillah Mbak Dara, saya sehat. Mbak Dara sendiri bagaimana? Sehat? Sekarang Mbak Dara kurusan. Jarang makan disana? Bagaimana kuliahnya?”Dara tersenyu
Dara mengusap air matanya yang masih mengalir di pipinya. Air mata itu mengalir dengan deras tanpa disadarinya, tidak dapat dia bendung. Baru kali ini, Mas Nur membuatnya sedih dan menangis. Dara masih belum percaya bahwa Mas Nur tega berkata-kata kasar dan menyakiti hatinya. Dara menangis tanpa suara.Dara masih duduk di kursi meja makan. Badannya pun masih bersandar di kursi. Kepalanya masih mengadah menatap langit-langit rumahnya. Dadanya masih sesak. Berkali-kali Dara mengambil tisu dan membuang ingus dari dalam hidungnya.Dara ingin bercerita tentang kesedihannya. Tapi dia tidak bisa menemukan siapa orang yang bisa dia ajak bicara. Dia tidak mau berbagi permasalahan dan aib suaminya kepada sembarang orang. Dila? Tidak, Dila pasti sudah tidur sekarang. Apalagi dia baru melahirkan anak kedua, pasti dia sedang repot-repotnya.“Apa ini buktinya firasat Papa benar?” bisik hati kecil Dara.Namun, cepat-cepat dia singkirkan pikiran jelek tersebu
Nur mengendarai motor bututnya dengan kecepatan tinggi. Ada dua hal yang menyebabkan dia begitu, yang pertama jelas karena dia mau segera jauh dari Dara. Nur tidak sanggup untuk melihat Dara yang sedih. Untuk pertama kalinya dia membuat Dara menangis. Dan yang kedua, tentu saja, karena penasaran apa yang terjadi dengan Celo.Tetapi Nur lebih condong terhadap alasan yang kedua. Nur ingin segera bertemu Celo dan menenangkan hatinya. Dia ingin membuat Celo merasa nyaman. Nur pikir, hanya ada satu alasan kenapa Celo memintanya datang ke rumahnya malam-malam seperti ini.“Pasti urusan bengkel.” batin Nur.“Semoga saja ada kabar baik.” bisik Nur pelan.Lagipula, Nur sedang tidak ingin memikirkan tentang Dara. Hatinya masih sakit memikirkan Dara. Dara yang terdiam lalu menyangkal semua itu membuat hatinya mendongkol. Kalau saja Dara jujur ada hubungan macam-macam dengan mantan pacarnya itu, Nur mungkin masih bisa memaafkan. Tapi kalau kep