Bab 106: Surga Nomor Berapa
**
Perjaka tulen?
Di sarang pelxacur?
Benar, ini tentang aku. Benar, aku masih perjaka. Sambar geledek aku berani sumpah. Aku tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa-siapa, dan aku pun tidak tahu mengapa tiba-tiba saja aku ingin berkata tentang perjaka atau keperjakaan.
********
Sebuah kemenangan yang gilang-gemilang pada pertandinganku melawan Greg Christian. Hadi Wijaya alias Big Boss itu sampai terlupa pada encoknya.
Aku tidak tahu bagaimana perhitungan atau algoritmanya, yang pasti dia menang besar dari pertandinganku itu. Memang lumrah, jarang ada bandar yang kalah. Termasuk di dalamnya Josep.
Bagi mereka semua, aku ini membawa berkah. Maka bersyukurlah mereka dengan mengadakan perayaan kecil-kecilan di fasilitas hiburan milik Big Boss yang terletak di gedung depan itu.
Josep dan Reynold mengajakku ke diskotik, yang bisa dikatakan hanya salah satu unit
Bab 107: Reaksi**Satu minggu pasca pertandinganku melawan Greg Christian—artinya tiga minggu pasca aku mendapat cedera dari Elyaz Sharavan—luka memar di wajah dan lebam di kedua mataku sudah benar-benar sembuh.Wajahku telah kembali pulih seperti sedia kala. Tapi tidak, dan belum untuk cedera di bahuku. Aku masih belum dapat melakukan pekerjaan berat seperti mengangkat beban.Aku sudah berencana untuk pulang ke Bandar Baru, dengan agenda utama menjenguk Joni dan Pak Latif sekeluarga.Agenda lain, bertemu dengan Leony, sesuai dengan janji kami dulu. Bondan segera mengurus tiket pesawatku pulang-pergi.“Berapa lama kamu di Bandar Baru, Mas?” Kassandra bertanya.Aku tahu dia ingin ikut, tapi situasi dan kondisinya tidak memungkinkan, baik dari dia maupun dari aku-nya sendiri. Aku mengalihkan pandanganku dari kolam ikan koi kepadanya. Pertanyaan
Bab 108: Siapa Mengawasi Siapa**Keesokan harinya..,Aku memasuki areal mall SKA dengan perasaan yang sedikit ganjil. Mungkin karena di dalam hatiku ini ada perasaan semacam hendak mengulangi sebuah kejadian, yaitu pertemuanku dengan Jihan sebulan yang lalu.Akan tetapi, sekarang dengan wanita yang berbeda, yaitu Leony.Seperti biasa, aku selalu datang lebih awal. Sebagai penghormatan atas orang dan atas waktu itu sendiri, juga supaya aku bisa mendapat keuntungan dari sisi sudut pandang maupun kesempatan-kesempatan lainnya.Aku ingin mengambil duduk di kursi panjang di depan sebuah restoran siap saji, di dekat pintu barat mall SKA, dan aku akan menyamarkan keberadaanku dengan duduk di samping patung badut seperti waktu yang lalu.Namun ternyata, kursi panjang tempat patung badut maskot restoran itu telah diduduki oleh orang lain, yaitu seorang wanita yang mungkin karena cuaca Bandar Baru sedang dingin pasca hujan, dia men
Bab 109: Pelataran SKA dalam Mozaik Cinta**“Bagaimana, Fat? Aku sudah mengerjakan syarat yang kamu pinta.”Aku menghirup nafas berkali-kali untuk memompa dan mengumpul-ngumpulkan keberanian. Lalu, saat aku mengatakan sesuatu yang pernah aku katakan pada Jihan;“Kamu mengerjakan shalat itu karena aku, bukan karena Allah.”Seketika saja murkalah Leony, bercampur malu yang memerahkan wajahnya. Ia sampai menarik pundakku untuk memutar tubuhku supaya menghadap tepat ke arahnya.“Shalat itu urusanku dengan Tuhan, Fat! Dan kamu tidak berhak menghakimi aku!”Persis sama dengan Jihan. Maka jawaban yang aku beri pada Leony juga sama dengan yang pernah aku katakan pada Jihan.Demikian juga, dialog kami tidak berbeda dengan yang pernah terjadi antara aku dengan si gadis bermata perigi itu.“Pembohong kamu, Fat! Penipu kamu! Penipuu..!!” Leony memekik histeris.“Kal
Bab 110: Tentang Nama**Keesokan harinya..,Setelah kembali dari Bandar Baru, aku singgah di rumah Menteng. Aku menjemput Kassandra untuk kembali ke rumah Pluit.Kami berdua butuh waktu lama untuk membujuk Idah supaya bisa melepas kami pergi. Untunglah Bunda Mulan dan Bunda Tiwi, pengasuh Idah, membantu kami membujuk.Untuk itu dan juga untuk hal-hal lainnya, secara khusus aku mengucapkan terima kasih kepada mereka berdua. Beberapa saat saling peluk yang penuh haru, akhirnya Idah merelakan kami. “Kamu tidak bercerita apa-apa soal pertandinganku di oktagon kan, Kas?” Tanyaku di dalam perjalanan.“Tidak, Mas. Sesuai pesan kamu, aku cerita ke Idah kalau kamu kerjanya di pergudangan, dan aku bekerja di warung makan dekat gudang kamu.”Aku mengangguk. Sebentar aku melirik Wisnu yang memegang kemudi melalui kaca spion di atas dashboard, lalu kualihkan pandanganku ke kanan, menatap kosong pada apa
Bab 111: Latihan dan Ujian**Hari-hariku selanjutnya kujalani dengan tiga kegiatan utama, yaitu; latihan, latihan, dan latihan. Terapi untuk pengobatan bahu dan lenganku, itu juga latihan.Makan minum dengan menggunakan tangan kanan, aku golongkan juga itu ke dalam latihan, dan tentu saja termasuk mengangkat barbel ringan.Akan tetapi, lari pagi di sepanjang jalan pemukiman hingga sampai di ujung rute berupa sebuah danau kecil, aku menganggap itu bukan latihan, karena yang lebih tepat adalah ujian.Bagaimana tidak? Kassandra yang selalu menemani aku lari pagi dengan sepedanya dia berada di depanku. Dia mengayuh sepeda dengan bersemangat tapi aku yang paling banyak berkeringat.Dia memakai topi bisbol dengan rambutnya yang menjuntai, dengan kaus tak berlengan ‘ngepress’ yang mencetak tali bra-nya, dengan celana ekstra pendek dan super ketat yang menyiluetkan bentuk bokongnya.Gitar espanyola di depan mata dan betapa gatal
Bab 112: Hadiah Untuk Tahun Depan – part 1**Beberapa hari kemudian..,Akhirnya, Johan mendapat jeda dari kesibukannya sebagai peserta Audisi Bintang Indonesia. Kami berdua segera mengatur rencana untuk bertemu.Ketika hari pertemuan kami sudah tiba, pukul sepuluh pagi aku mendatangi kamar Kassandra. Ini adalah momen yang sangat tepat untuk menunaikan janjiku padanya.Yaitu membuat dia percaya bahwa Johan Purba sang finalis di Audisi Bintang Indonesia itu, yang selalu ia dukung dengan mengirimkan SMS voting, yang Kristiani itu, yang pernah membuatnya terpana dengan lagu keroncong Bengawan Solo dalam tayangan ulang, adalah sahabatku sekaligus saudaraku.Akan tetapi, sayang sekali, Kassandra sedang tidak fit hari ini. Padahal, aku sudah menelepon Josep supaya dia mengatur ‘legalitasku’ untuk membawa Kassandra keluar.Aku memanggil Putri Ok Soo-ku di depan pintu kamarnya yang tertutup. Selang beberapa saat handel pintu
Bab 113: Hadiah Untuk Tahun Depan – part 2**“Jo.., aku paham dengan kegiatanmu yang padat, dengan jadwal latihan vokal dan iklan-iklan endorsement ini itu. Kapan pun nanti kamu punya waktu untuk pulang ke Bandar Baru, telepon aku, Jo.”Johan memandangku dengan kening mengerut.“Aku serius, Jo. Kalau kamu sempat, detik ini juga aku bisa belikan kamu tiket pesawat.”Johan terus memandangku dalam diam. Dia lalu terperangah ketika aku ceritakan jengukanku yang terakhir pada Joni.“Dia bereaksi??”“Iya, benar, Jo. Aku melihat sendiri. Jari tangannya bergerak-gerak, seakan-akan dia sedang memetik gitar.”Johan mengatupkan dua tangannya di depan dada seperti biasanya dia berdoa.“Puji Tuhan, Puji Tuhan..!” Katanya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.Aku tidak ingin terus membawa Johan ke dalam suasana yang haru. Maka, aku utarakan niat yang telah aku bawa
Bab 114: Takut**Pertandingan kelima, aku melawan Carlos Benetto, asal Brazil, yang konon pernah bekerja sebagai pengawal truk-truk pengangkut marijuana milik seorang pengusaha dari Kuba.Sebagai petarung dapat dikatakan dia memiliki kemampuan yang kompleks. Jago pukul dari boxing, jago tendang dari karate, juga jago bantingan dan kuncian dari BJJ—Brazilian Jiu Jitsu.Satu lagi, aku tidak bisa memandang sebelah mata pada yang satu ini, dia jago Cavoeira, dan memadu-padankan kesemua itu di dalam satu sistem penyerangan dan pertahanan Mixed Martial Art—beladiri campuran—yang sempurna.Sempurna, setidaknya itu sebelum dia bertemu dengan The Pooh. Karena ketika bertanding melawan aku, dia kalah.Benar, aku yang menang!Apa sih hebatnya aku ini? Aku sering bertanya-tanya dalam hati.Hanya seorang mantan cleaning service, kerani, kondektur metromini dan mantan operator mesin konveksi, dengan postur tidak besar tida