Bab 117: Congklak
**
Fiuh! Menipu si penipu, lalu siapa yang tertipu?
Dalam hal ini, izinkan aku menjadi juri bagi ‘pertarunganku’ dengan sang Mami Gipsi itu.
Aku berhasil menipunya, juga kroni setan yang telah mencuri berita langit untuknya. Aku menilai, seri. Skor kami, satu-satu, karena dia juga berhasil menipuku.
Peramal Gipsi itu benar. Ainun masih hidup, dan akan tetap hidup. Dia ada di dalam dadaku, di dalam hatiku. Dengan kata lain, di dalam memoriku.
Meskipun, dan walaupun.., aku nanti akan menjadi tua dan pikun. Ke mana pun aku melangkah pergi Ainun akan selalu membayangi serupa bayangan dari sebuah benda yang tersinar cahaya matahari.
Benar kata orang, manusia tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Benar pula orang lain yang berkata, bahwa masa lalu dan masa kini berjalan secara simultan, beriringan, dan akan terus begitu untuk membangun sebuah komposisi nasib di masa depan.
Hai, k
Bab 118: Salinan - Part 1**“Ifat benar, Gun. Dia benar waktu bilang aku telah salah dalam berniat.”“Kenapa kamu tidak cerita ke aku, Leony?” Anggun bertanya.“Aku malu, Gun. Malu sekali.”“Kenapa mesti malu. Aku ini kan sahabatmu. Paling tidak, dengan bercerita ke aku itu sudah mengurangi sedikit beban pikiranmu.”Leony menatap wajah Anggun, sahabat karibnya yang malam ini telah menyempatkan diri mengunjunginya di rumah. Sudah dua bulan mereka tidak bertemu sejak terakhir di warung Ayam Penyet Solo.“Eh, aku bikin minum dulu ya?”“Tidak usah, Leony, tak usah repot-repot.”“Tidak apa-apa. Biar kita ngobrolnya bisa lama.”“Air putih saja ya, jangan teh manis.”“Kenapa?”“Karena aku sudah manis.”Leony tersenyum mendengar gurauan Anggun itu.“Iy
Bab 119: Salinan – Part 2**Malam ini, aku makan nasi lembek dengan sayur bayam dimasak bening, sambal terasi, pepes ikan asin, telur setengah matang, tahu tempe dan ayam goreng.Semuanya bisa aku makan kecuali ayamnya. Ompong di kanan kiri telah membuatku kesulitan mengunyah.Sate daging juga ada, Bik Laras tadi sore yang membakarnya. Akan tetapi, mana mungkin aku bisa menyantap. Bisa tanggal gigi seriku yang memang sudah bergoyang ini.Usai makan aku duduk di halaman samping, pada sebuah batu yang berada tepat di depan kolam hias. Aku memeluk lutut dan memandang ke atas.Bulan purnama sedang bulat sempurna, memendarkan cahaya emas kekuningan sedikit merah seperti tersepuh tembaga.Agak lama, dan khayalanku sudah jauh entah sampai di mana, ketika kemudian Kassandra datang dan berdiri di sampingku.Aku menyodorkan tangan kananku padanya. Melihat karet gelang di tanganku ini, dia mengambilnya dan seperti biasa ia menarik
Bab 120: One Two Seven**“One..! Two..! Seven..!”“One..! Two..! Seven..!”Sasana mini tempat biasa aku dilatih Reynold bersama para Sparring Partner letaknya ada di bagian belakang rumah.Bentuknya sebuah ruangan mirip aula, dengan kelengkapan sarana dan alat-alat bantu berupa sandbag, punchbag, boneka kayu, boneka lenting, dan alat-alat kebugaran lain.Lantainya dilapisi matras tebal. Lalu di salah satu sisinya dibuat sebuah sudut dengan jaring kawat, di mana itu adalah miniatur dari satu sudut ring oktagon yang bersegi enam.“One..! Two..! Seven..!”“One..! Two..! Seven..!”Samsak yang ada di ruangan ini berbeda dengan samsak yang ada di halaman belakang, yang tergantung di sebuah tiang dekat lapangan basket mini, di mana aku sering duduk di tengahnya dan membaca-baca lalu mencermati kitab kuno warisan Aldo.“Mas, ajarin aku silat dong,” kata Ka
Bab 121: Bekas Knalpot**Kota Tua, sudah. Itu yang paling menggugah.Seaworld, sudah, bulan lalu, dan di situ termasuk ‘vacation’ yang paling indah.Dufan juga sudah, dan di situ terjadi momen paling memorable.Kami menaiki roller coaster. Takut dan terkejutnya Kassandra ketika itu sampai memekik-mekik histeris serupa anak kecil, meningkahi suara penumpang wahana lainnya.Ia memegangi tangan kiriku kuat-kuat. Sementara aku, tak kurang menggilanya. Sumpah mati aku takut, bukan karena sensasi dari momentum yang ditimbulkan roller coaster.Akan tetapi, lebih kepada.., bagaimana kalau kereta luncur ini keluar jalur, lepas dari track dan, suiiiingg..! Jatuh??Selesai dengan itu, aku keluar dari kereta wahana dengan perasaan lega yang luar biasa.Oke, baiklah. Maka sekarang, ke mana lagi?TMII! Alias Taman Mini Indonesia Indah!Hari ini, kami berdua pun pergi ke situ.Aku dan Kassandra berjala
Bab 122: Pak Menteri**Malam hari sebelum tidur, seperti biasa aku duduk di halaman belakang, di samping gazebo, tepat di tengah lapangan basket mini.Aku mencoba mengeja kitab kuno warisan Aldo, alias Aldiansyah sang Sutan Mudo.Ini tidak mudah bagiku, sebab kitab peninggalan perguruan Bungo Rampai yang telah hilang dari muka bumi ini menggunakan aksara Arab Melayu. Tambahan lagi, ternyata menggunakan bahasa Minangkabau yang bukan bahasa ibuku.Tentu saja aku tidak perlu mengartikan semuanya, kata per kata, sebab yang terpenting adalah maksud inti dari susunan kalimatnya, di mana ini berisi penjelasan singkat dari gerakan-gerakan yang dicontohkan dalam gambar, yang hanya berupa coretan garis-garis seperti manusia lidi.Beberapa saat kemudian, aku pun bangkit, lalu mencoba menirukan gerakan-gerakan pada kitab berisi rangkaian jurus Bumi Dipijak Langit Dijunjung ini.Tidak terlalu sulit aku menghafalnya, sebab di dalam memoriku telah
Bab 123: Pasak Bumi**“Be.., betul ini dengan Pak Menteri?” Tanyaku gugup.Tiba-tiba, meledaklah suara tawa dari seberang telepon sana.“Huahahaha..! Ini aku, Fat! Aku.., Ucon!”Kucing kurap! Makiku dalam hati. Tak urung aku tertawa juga.Novelis jadi-jadian itu memang selalu punya ide untuk bercanda. Tidak terasa sudah empat bulan lebih aku tidak bertemu dengannya.“Apa kabar, Ucon?” Tanyaku kemudian.“Baik, baik, kabarku baik, Fat. Walaupun di sini makannya susah, tapi syukurlah, masih bisa makan juga.”“Susah?” Aku penasaran.Ucon bercerita panjang lebar tentang areal tempat dia bekerja sekarang. Sebuah hutan pedalaman yang berjarak kurag lebih 120 kilometer dari jalan lintas Sumatera.Mengingat akses jalan yang hanya berupa rintisan, dibutuhkan paling tidak satu hari satu malam dari kampung terdekat untuk sampai ke sa
Bab 124: Karena Aku Suka Dia**Dengan perlahan, aku terus melangkah pada Kassandra..,Hingga kemudian, pada jarak sedekat ini tidak akan ada yang mampu menghalangi tafsirku pada keindahan yang dia persembahkan.Jelas, jelas sekali. Tiada noktah, baik itu panu, kadas, kudis, bekas kurap atau pun bekas knalpot. Benar-benar mulus seumpama panci dapur baru keluar dari plastik.Semakin khusyuk aku menghayatinya, maka semakin bertalu degup jantungku, semakin laju denyut nadiku, semakin menegang urat-uratku, dan semakin keras pula otot-ototku.Kini, aku telah sampai di depan Kassandra, yang berdiri mematung bak manekin peraga busana.Aku dekatkan wajahku pada wajahnya. Sedikit menyisi ke samping aku dekatkan pula bibirku pada pipinya.Lalu dengan tetap menjaga jarak hanya dua inci, pelan-pelan aku sapukan pandanganku pada sekujur tubuh Kassandra.Terus turun ke bawah, singgah sebentar di samping gunung gemumung tadi, singgah l
Bab 125: Sakura Mekar di Fujiyama**Jujur, aku mulai menyukai Kassandra. Benar, aku telah memasukkan namanya ke dalam daftar rencana-rencana.Tapi itu nanti, jauh, jauh sekali, dan dia mendapat porsi yang paling sedikit dari kuota probabilitas—aku mencintainya dan sedia hidup dalam ikatan yang sah.Bahkan, jika salinan dari Muhammad Fatih benar-benar ada namun dalam versi yang paling punya rasa tega, dia pasti akan berkata; “Kamu jangan berharap dulu ya, Kas.”Pastinya, Muhammad Fatih yang itu bukan aku.Jujur aku mengakui kekagumanku pada sikap Kassandra, yang mengungkapkan rasa cintanya tanpa mengucapkan kata cinta.Momen kemarin di kolam ikan, aku mencatat itu sebagai yang keempat, dan dia melakukan itu melalui perantara ikan koi di dalam kolam.Betapa elegannya, dan betapa berkelasnya. Sangat mengejutkan ketika itu dilakukan oleh seorang wanita tunasusila yang di dalam kehidupan sosial dan dalam tatanan n