Bab 2: Hare Gene Gak Punya Pacar
Mobil sedan berwarna silver meluncur tenang, menyusuri jalan Sudirman, Pattimura, Diponegoro dan terus menuju bagian timur kota Bandar Baru.
Dari dalamnya aku menikmati indahnya lampu-lampu, kelap-kelip sepanjang jalan dan di taman-taman kota.
Jantungku masih berdegup kencang, sisa dari kengerian yang aku alami setelah menyelamatkan seorang wanita korban perampokan tadi.
”Terima kasih, terima kasih ya, mmmm, siapa nama Abang tadi?” tanya Mira, demikian nama wanita yang berhasil aku tolong tadi dari balik kemudinya.
Ia masih tampak shock akibat kejadian satu jam yang lalu itu. Tadi, beberapa kali ia menghentikan mobil, menekan dada dengan sebelah tangan, dan menarik nafas dalam-dalam.
Sisa air minum milikku, yang kusodorkan padanya langsung ia minum sampai tandas. Padahal, aku sendiri masih sangat kehausan.
”Fatih,” jawabku pendek, tanpa mengalihkan pandangan dari seantero jalan yang baru kali ini aku lewati.
”Fatih.., nama lengkapnya?”
”Muhammad Fatih.”
”Jadi, nama panggilan Abang?”
”Ifat, panggil saja aku Ifat.”
”Iya, iya, terima kasih Bang Ifat. Kalau tidak ada Bang Ifat tadi mungkin aku sudah mati.”
Aku merasa sedikit sungkan. Dia memanggilku ’abang’, padahal kuyakin kami berdua ini masih sebaya.
”Ah, jangan panggil ’abang’, Mbak. Aku masih muda kok.”
”Memangnya umur Abang berapa?”
”Eeee..,” Aku ragu untuk menjawab perihal yang satu ini. Menurutku ini bersifat pribadi. Akan tetapi, baiklah, supaya aku tidak dipanggil Abang, supaya aku tetap berkesan muda..,
”Dua puluh lima,” jawabku akhirnya.
”Oke, Ifat. Tidak pakai abang lagi, tapi jangan panggil aku ’mbak’ ya?”
”Kenapa, Mbak?”
”Mira.”
”Ya, kenapa Mbak Mira?”
”Mira!”
”Ya, Mira. Kenapa?”
”Mmm, aku juga masih muda, kok.”
Dalam hati aku bersyukur, karena dengan pertolonganku tadi, Mira balas menolongku dengan memberi inapan di rumahnya.
Mulanya aku menolak, tapi ketika mengetahui aku tidak mempunyai tempat tinggal, juga tujuan, ia memaksaku.
Ia mungkin ingin membayar hutang budinya padaku. Bahkan ia menawariku tinggal di rumahnya seberapa lama pun aku mau. Ia juga berjanji akan mencarikan pekerjaan untukku di kota Bandar Baru ini.
Hmm, memang tak sia-sia aku menolong sesama.
********
Mira merasa begitu ’surprised’ dengan nasibnya yang berhasil aku selamatkan. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya ini ia banyak menanyai tentang aku. Maka, aku jawab saja apa yang aku rasa perlu.
”Menjelang maghrib tadi aku turun di pelabuhan Sei Duku. Berjalan tak tentu arah, hingga kemudian berhenti dan duduk beristirahat di atas trotoar jalan Sudirman.” Terangku.
Iya, benar, beginilah nasibku sekarang ini. Seorang perantau dari Surabaya, sempat beberapa lama bekerja di bidang industri forestry—kehutanan—di provinsi Riau ini, yang baru lima hari lalu mendapat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan sekarang terlunta-lunta.
”Di Bandar Baru ini tidak punya saudara?” Tanya Mira lagi balik kemudi.
”Tidak. ”
”Sahabat, atau teman?”
”Tidak ada.”
Mira melirikku sekilas.
”Sebenarnya ada sih, seorang teman,” ralatku kemudian. ”Tapi sayang, aku kehilalngan nomor teleponnya.”
”Nah terus, kalau kamu tidak punya saudara atau teman, niat kamu tadi mau pergi ke mana?” Tanya Mira semakin penasaran.
”Entah, aku pun bingung.”
Aku tadi sempat berpikir untuk mencari penginapan. Namun, menyadari tipisnya dompetku niat itu aku urungkan.
Sisa uangku harus cukup untuk makan beberapa hari di Bandar Baru ini. Dalam beberapa hari itu pula aku harus mendapatkan pekerjaan. Apa pun itu, untuk sementara, jadilah, tak mengapa.
Selanjutnya kami berbincang tentang kehidupan masing-masing. Aku bercerita perjalanan hidupku sekilas hingga terdampar di Bandar Baru ini.
Sementara Mira bercerita tentang keluarganya, kampung halamannya, masa kecilnya, juga suaminya sekarang yang sedang sibuk mengurus keperluan bisnis di Jakarta.
”Kamu sudah menikah, Fat?”
”Mmm, belum, Mbak.”
”Tuh, kan.. ’mbak’ lagi.”
”Eh, iya, Mira, mmm, maksudku belum menikah.”
Jujur saja, aku gugup. Jarang-jarang aku berinteraksi dengan seorang wanita dalam dimensi seperti ini; duduk berdua dan membicarakan kehidupan pribadi.
Apa lagi, sebelum ini aku hanya tinggal di barak di suatu hutan pedalaman provinsi Riau.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan ini. Aku bisa menghadapinya dan bisa pula bersikap biasa. Namun sesungguhnya yang membuatku gugup adalah; Mira cantik.
Walaupun sudah bersuami dan—kuduga—mempunyai anak namun masih tampak seperti gadis saja. Potongan pakaian yang ia kenakan sekarang juga mengesankan bahwa ia masih gadis, gadis belia yang modis.
Aku kemudian berpikir, bahwa suami Mira tentulah orang yang beruntung. Mempunyai istri yang cantik, ramah dan supel.
Tak perlu mengenal lama untuk menilai karakter yang kusebut terakhir tadi. Karena sedari tadi hanya dia yang memulai percakapan.
”Pacar?” Tanyanya lagi.
”Mmm..,” Aku ragu menjawabnya.
“Pacar?”
”Mmm, tidak, maksud aku, belum. Belum punya pacar.”
”Hare gene gak punya pacarrr..” sambar Mira dengan aksen meniru ungkapan gaul yang biasa kudengar dari sinetron televisi. Maka sebelum ia meneruskan, aku potong dengan..
”Kaciaaann dech loh..!”
Mira tertawa dengan suaranya yang renyah. Itu berarti shock yang ia alami tadi mulai hilang. Aku ikut juga tertawa.
Menyenangkan, ternyata Mira memiliki selera humor yang lumayan, pikirku. Sifat itu pula yang kemudian membuatku berani bertanya lebih jauh.
”Kalau boleh tahu, suami Mira bisnis apa?” Tanyaku kemudian.
”Bisnis batu permata dan logam mulia. Jam sepuluh tadi dia menelepon aku, minta transfer uang ke rekeningnya. Kebetulan internet banking-ku sedang bermasalah. Makanya aku keluyuran sampai jam segini."
"Dia sedang mengikuti lelang, dan kekurangan dana untuk transaksi. Tapi, ah, laki-laki itu, paling-paling untuk judi lagi, bareng teman-teman lamanya.”
”Judi?” Tanyaku.
Tiba-tiba Mira tercekat. Ia mungkin telah keceplosan dalam berbicara.
”Ah, sudahlah. Jangan bahas suamiku lagi. Okay?”
Aku mengangguk. Sepertinya, untuk suami, Mira tidak ingin berbincang terlalu jauh. Ada sesuatu yang tidak ingin ia ungkapkan. Sepertinya, ya, sepertinya begitu. Ada raut kecewa ketika ia mengucapkan kalimat barusan.
”Anak?” Tanyaku lagi.
”Hemm?” Mira balas tanya.
”Sudah punya anak?”
********
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan