“Kau siap mengubah takdirmu?” Suara itu terdengar bahkan sebelum Anora membuka matanya.
Anora membuka matanya, menatap langit-langit apartemen yang berwarna abu-abu pucat. Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, menyorot debu-debu kecil yang menari di udara. Dia melihat ke sekeliling yang tidak asing lagi baginya — apartemennya, tidak ada yang berubah. “Kau siap, mengubah takdirmu?” ucap suara itu sekali lagi setelah Anora membuka matanya. Anora menatap kucing itu, dia bertolak pinggang. Wajahnya menegang, kedua alisnya bertaut seolah tengah menantang musuh. Namun, ada gurat penasaran di matanya yang tak bisa dia sembunyikan. “Mengapa aku tanpa sadar menurut denganmu! Seharusnya aku yang memimpin!” ujar Anora. “Kau harus mendengarkanku agar tidak salah! Aku yang seharusnya marah kepadamu...” “Mengapa?” “Karena kau satu-satunya vampir yang menyebalkan, bodoh, tidak jelas!” ucap kucing itu yang berjalan untuk membaringkan tubuhnya di sofa. “Sial, aku tidak sebodoh itu!” sentak Anora, dia berjalan untuk mendekati kucing hitam dan duduk di single sofa. “Kalau tidak seharusnya kau tahu akan dikhianati.” “Mana aku tahu, semuanya juga pasti pernah melakukan kecerobohan itu. Lagian ini pertama kalinya aku hidup,” ucap Anora menatap kucing hitam itu yang meregangkan badannya, sudah nyaman sepertinya. “Aku ingatkan, kau sudah berumur 170 tahun...” Anora berdecak kesal, “untuk golongan vampir, umur 170 itu masih dianggap muda!” “Kau yang bodoh, tidak tahu seperti itu... Huh!” lanjut Anora menatap sinis ke arah kucing hitam. Kucing hitam itu memutar bola matanya malas, “baiklah, anak kecil. Kau harus tahu beberapa hal untuk mengubah takdirmu. Aku akan beri tahu...” “Anak kecil? Aku sudah dewasa,” ujar Anora tak terima, dia memotong ucapan kucing itu. “Huh, ternyata begini merawat vampir yang belum matang...” gumam kucing hitam dengan menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Bisa-bisa dia akan darah tinggi setelah selesai dengan tugasnya. “Baiklah, pertama-tama... Dengarkan ini, oke?” Anora dengan malas mengangguk, “cepat!” “Kau adalah seorang vampir, namamu Anora Draven dan kau harus memisahkan tokoh utama perempuan dengan tokoh utama prianya, lalu–“ “Tunggu, jadi aku bukan tokoh utamanya?” potong Anora dengan menunjuk dirinya sendiri, Anora menatap kucing hitam itu dengan wajah tidak setuju. “Bukan,” balas kucing hitam itu malas, dia bahkan sudah malas menatap wajah Anora. “Why?” “Kau diam dahulu bisa tidak!” ucap kucing hitam itu yang sudah sangat kesal dengan Anora. Dengan malas Anora mempersilahkan kucing hitam itu untuk melanjutkan perkataannya yang terpotong oleh dirinya. “Lalu, kau harus mencari ‘tabung darah’ untuk mengisi energimu, ingat kau dikhianati oleh tabung darahmu dahulu. Jadi, cari orang yang berbeda...” ucap kucing hitam melanjutkan. “Untuk orang-orang yang tadi aku jelaskan, aku akan memberi tahunya ketika nanti kita bertemu mereka,” lanjutnya. “Sekarang poin penting yang harus kau tahu, kau baca sendiri saja di buku itu. Aku sudah meringkasnya, aku malas bicara....” ujar kucing hitam itu dengan menunjuk sebuah buku yang ada di atas meja menggunakan dagunya. Anora berdecak kesal hingga akhirnya mengambil buku itu dan membacanya. “Katanya sudah diringkas, tetapi bukunya sangat tebal...” gumam Anora, dengan membolak-balik buku untuk menelitinya. “Baca saja, tidak usah ribet!” A. Awal Vampir lahir dari orang mati yang tidak dimakamkan dengan benar, atau orang yang dikutuk. Untuk Vampir bangsawan: mereka sering digambarkan punya kode etik seperti tidak sembarang membunuh manusia, menjaga keseimbangan dunia, atau punya hukum kuno. 3 Keluarga Vampir yang masuk jajaran bangsawan: • Valemont • Draven • Graveson Poin-Poin Penting yang Harus Diketahui (Vampir) 1. Darah bukan Cuma nutrisi, tetapi sarana menyerap jiwa, ingatan, bahkan emosi. 2. Tidak takut salib, bawang putih, atau matahari. 3. Dia tidak punya bayangan atau pantulan karena roh mereka tidak utuh, tetapi bisa berpura-pura seakan punya dengan trik ilusi, (hanya beberapa yang bisa.) 4. Hanya bisa mati kalau dikhianati oleh orang yang dia percaya sepenuh hati. 5. ... Anora menutup buku itu setelah membaca bab awal, dia tersenyum miring. “Jadi aku termasuk bangsawan? Hahaha,” ucapnya dengan tawa angkuh. Kucing hitam itu berekspresi lelah saat melihat tingkah Anora, “karena kau bangsawan maka jaga tingkah lakumu jangan sembarangan. Kau akan mencoreng nama baik moyangmu karena tingkah lakumu itu!” “Aku tahu, aku hanya bercanda,” ujarnya, dia melempar buku itu ke atas meja. “Aku akan membacanya lagi nanti,” lanjutnya. “Kau harus baca sampai selesai, karena ada hal penting lainnya. Apalagi masih banyak hal untuk vampir sepertimu,” ucap kucing itu memberi tahu. “Besok kau harus kembali berbaur dengan manusia. Itu bagian dari takdirmu, nona Draven,” lanjut kucing hitam itu. “Baiklah, aku mengerti. Jadi, hari ini aku akan mengurus perpindahan sekolah?” tanya Anora, membaringkan tubuhnya di sofa. “Hmmm, bersiaplah...” “Besok, kau akan kembali ke sekolah,” ucap kucing itu pelan. “Di sana, takdirmu dimulai lagi.” Anora mengangkat alis. Sekolah?Butuh puluhan menit dia berkendara di tengah keramaian kotanya yang padat itu, agar sampai ke tempat tujuannya.Saat sudah sampai di tempat tujuannya, Anora memarkirkan mobilnya. “Apakah dia mengikutiku?” gumam Anora melirik sekitar sebelum turun dari mobilnya. “Sepertinya–“Ucapan Anora terpotong saat mendapat telepati dari suara seseorang yang dia kenal. ‘Baiklah, tunggu sebentar!’Pintu mobil terbuka, dan Anora melangkah keluar dengan tenang. Jaket kulit hitam dia jinjing di lengan kiri, beriringan dengan tas selempangnya. Kaus putih yang melekat di tubuh rampingnya berpadu dengan celana kulit hitam, menonjolkan lekuk proporsional yang membuat setiap gerakannya tampak anggun sekaligus berwibawa.Anora melangkahkan kakinya dengan anggun memasuki bangunan yang bernuansa putih di luar maupun di dalam. Ada taman kecil yang sengaja dibuat di depan halaman bangunan ini, sehingga membuat nyaman untuk orang yang menginap atau sekada
Langit sore membara jingga, awan tipis bagai kabut dari pertempuran lama. Angin membawa aroma tanah basah dan kehidupan yang mulai bersembunyi malam. Dari atas balkon, Anora dapat mendengar detak jantung bahkan aroma dari semua makhluk yang terdeteksi oleh radarnya. Saking banyaknya aroma makhluk lain dan suara detak jantung mereka membuat Anora tidak bisa fokus, keahliannya melemah, menjadi tidak setajam jika hanya mencium beberapa aroma saja. Dia tidak bisa menebak aroma makhluk apa yang berada dekat ataupun jauh dengannya. Hanya aroma yang familier saja yang dapat dengan kuat radarnya deteksi. Seperti, Ink... “Kau ingin terus di sana?” tanya Ink yang tengah bersantai di atas sofa, setelah menghabiskan dua kaleng tuna. Anora melirik sekilas Ink yang berwujud kucing itu, dia mengabaikan pertanyaan Ink dan terus menatap langit yang menurutnya indah, seperti darah. “Hey, aku berbicara denganmu, anak kecil!” Anora mengabaikan itu, dia bahkan bergumam sendiri dengan tidak jelas,
Sudah dari beberapa menit yang lalu Anora meninggalkan perpustakaan. Kini, dia berada di taman sekolah, duduk termenung sendirian di bangku panjang yang berada tidak jauh dari rindangnya pohon flamboyan.Taman itu kontras dengan hiruk-pikuk sekolah. Dari kejauhan terdengar tawa siswa dan langkah tergesa di koridor, tapi di sudut taman, sunyi seolah hanya menyisakan dirinya. Angin sepoi menyapu kulitnya, mengibaskan anak rambut yang lolos dari ikatan. Daun-daun berguguran menari sebelum jatuh ke tanah, sementara udara sejuk membawa aroma rerumputan basah dan bunga mekar di tepi jalan.Anora memejamkan mata, menikmati kesejukan taman. Tak ada aroma makhluk lain, hanya harum pepohonan, bunga, dan kehidupan kecil di sekitarnya.“Jadi, mereka...” gumam Anora menggantungkan kalimatnya. Dia menatap hamparan di depannya dengan tatapan kosong. Anora masih mencerna dari apa yang dia ketahui baru-baru ini. “Sial! Aku kalah dengan serigala itu!” gumam Anora kesal setelah beberapa detik sudah me
Anora melangkah mantap ke perpustakaan, menelusuri rak demi rak. Matanya fokus, tapi hidungnya menangkap aroma makhluk-makhluk yang membingungkan sejak perjalanan tadi.Sepertinya dia akan mencari tahu tentang aroma makhluk-makhluk yang, sejak perjalanan tadi, beberapa di antaranya tidak bisa dia tebak.‘Benar kata Ink, aku harus belajar,’ batin Anora.‘Karena pengalaman hidupmu masih kurang, banyak makhluk yang tidak kau tahu,’ ucap Ink yang membaca pikiran Anora.‘Kau ikut campur sekali...’‘Rak kedua dari sini, buku yang kau cari,’ Ink menunjukkan buku yang Anora butuhkan.Anora yang mendengar Ink dengan malas menuruti perkataan Ink sekali lagi, saat sampai di rak yang dia inginkan. Tidak jauh dari sana ada 4 orang yang duduk di meja panjang untuk membaca buku di sana.Di sana ada Sebastian dan Alaric, di depan mereka ada dua perempuan yang aroma tubuhnya membuat Anora pusing. ‘Ugh, serigala bau. Makhluk itu lagi...’ ucap Anora memutar bola matanya malas, dia sangat anti dengan se
Bel istirahat baru saja berbunyi. Suara kursi bergeser dan tawa siswa segera memenuhi ruangan.Anora menatap layar ponselnya dengan earphone di telinga—menyendiri di tengah keramaian. Di sampingnya, Sebastian masih sibuk menulis catatan dengan fokus berlebihan.‘Bener-bener my type,’ gumam Anora dalam hati, meliriknya diam-diam.‘Mulai lagi!’ Suara Ink menggema di pikirannya.‘Kenapa kau selalu masuk di pikiranku, aku jadi seperti tidak memeiliki privasi!’ keluh Anora yang merasa sedikit kesal dengan Ink.‘Agar aku bisa mengawasimu!’ ujar Ink dengan santai.Anora mendecak pelan—sayangnya cukup keras untuk menarik perhatian Sebastian. Dia merutuki kebodohannya sendiri, bisa-bisanya terulang lagi!Anora menatap Sebastian yang ternyata sedang menatapnya juga dengan wajah bingung,“Aaa... maaf, aku berbicara ke ponsel...” ucap Anora dengan menunjuk ponselnya sendiri.Sebastian hanya mengangguk tipis lalu kembali menulis.‘Apakah dia jodohku Ink?’ celetuk Anora sambil mencuri pandang ke a
Di saat yang sama, batu biru di kalungnya bergetar halus — nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Anora menahan napas.Entah kenapa, setiap kali dia mendekati orang tertentu… kalung itu selalu bereaksi.“Sudah sampai, ayo masuk. Alaric kau bisa duduk di tempatmu. Untuk Anora ikut Ibu untuk memperkenalkan diri ya,” ucap Ibu itu dengan ramah, dia berjalan terlebih dahulu kemudian disusul Alaric yang langsung duduk di kursinya.Anora yang melihat Ibu guru itu menatapnya, dengan mantap berjalan masuk dan berdiri di samping guru itu.“Selamat pagi anak-anak...” ucap guru itu yang di balas sapaan juga dari murid di kelas.“Hari ini kelas kita kedatangan murid baru, ayo perkenalkan dirimu sayang,” ucap guru itu menatap Anora sambil mengangguk kecil.“Saya–“ ucap Anora terpotong.‘Ingat, jangan sebut marga keluargamu!’ peringat Ink yang mungkin sudah empat kali selama di perjalanan mengucapkan itu.Anora terdiam sebentar, dia jadi tidak fokus gara-gara Ink. ‘Ink sialan!’“Ayo, sayang.