LOGIN“Bangun. Ini pertama kalinya kau masuk sekolah... lagi.”
Suara itu terdengar bahkan sebelum kesadaran Anora sepenuhnya pulih. “Kalau kau terlambat lagi, musuhmu tak akan ragu menghabisimu sebelum kau sempat melawan,” lanjut suara itu tajam. Anora membuka matanya perlahan. Langit-langit abu-abu pucat menatapnya kembali. Apartemen itu sama seperti kemarin—dingin, rapi, dan terlalu sunyi. Tirai otomatis berwarna hitam legam menutup rapat jendela besar, menolak cahaya matahari yang mencoba menerobos. Hanya lampu LED redup di sudut ruangan yang hidup, memantulkan bayangan samar di dinding putih. Heningnya apartemen hanya dipatahkan oleh dengungan halus mesin pendingin ruangan. Tak ada suara kota, seakan lantai tinggi ini sengaja dijadikan menara sunyi tempat Anora bersembunyi dari dunia luar. Bagi manusia, pagi berarti kehidupan baru. Bagi Anora, pagi hanyalah kelanjutan dari gelap yang dia pelihara. “Cepat, kau akan terlambat nanti!” seru suara itu lagi, kali ini dengan sedikit lebih keras. “Hmm, nanti!” gumam Anora yang memunggungi kucing hitam itu dan kembali memejamkan matanya. “Pemalas! Cepat bangun dan mengapa apartemenmu gelap sekali!” ucap kucing hitam itu, dia melihat keseluruhan isi kamar Anora yang menurutnya gelap. Interior apartemen itu minimalis—sofa abu-abu, meja kaca bening, rak buku hitam yang tersusun rapi. Namun, di antara semua kerapian itu, ada hal-hal yang menyimpan rahasia: sebuah kulkas kecil dengan kunci digital, botol-botol kaca berisi cairan merah pekat tersimpan di dalamnya; dan di meja dapur, segelas cairan sama masih meninggalkan noda di permukaan. “Sederhana saja, karena aku vampir,” balas Anora. “Kalau begitu, cepat bangun!” suara makhluk kecil yang imut, mengisi indera pendengaran Anora. Anora meregangkan tubuhnya sambil berbaring, mengabaikan ucapan kucing hitam itu. “Baru kali ini aku melihat vampir pemalas...” ucap kucing hitam itu sambil berjalan menaiki perut Anora “Selamat kau beruntung...” gumam Anora dengan memejamkan mata. “Yang ada aku sial, bukan beruntung!” sergah kucing itu sambil menekan perut Anora dengan kaki mungilnya. “Aw—kukumu tajam sekali. Apa kau mau aku balas dengan taringku...” desis Anora dengan refleks mendudukan dirinya, membuat kucing hitam itu terjatuh di pangkuannya. “Ingat peraturan. Tidak boleh menyakiti makhluk lain,” ucap kucing itu mengingatkan. Anora memutar bola matanya malas, “Terserah, aku akan bolos sekolah!” gertak Anora kembali menidurkan dirinya di atas ranjang. “Nona Draven!” “Jangan ulangi kesalahanmu lagi, Anora. Musuhmu sudah bergerak.” “Baiklah, baiklah, aku akan pergi...” Anora dengan terpaksa bangun dari tidurnya dan kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk berganti pakaian, seragam sekolah. “Ayo, berangkat!” ajak Anora yang sudah selesai berganti pakaian. “Kau jangan pakai kekuatan seperti ini di sekolah, ingat harus rahasia!” perintah kucing hitam itu dengan serius. “Aku tahu... untuk bayanganku, bagaimana?” ucap Anora yang melihat tidak ada pantulan dirinya di kaca ruangannya. Kucing hitam itu melihat kaca panjang yang pinggirnya berwarna hitam, terpasang di kamar Anora. “Kau buat apa membeli itu, kau saja tidak memiliki bayangan...” “Entah, dahulu aku membelinya karena apa, ya?” ucap Anora yang juga bingung, dia tidak memiliki ingatan untuk hal ini. Kucing itu menatap Anora sekilas kemudian berjalan ke arah pintu kamar, “Kau bisa memunculkan bayangan dengan sihir.” Anora melihat ke arah kucing hitam itu dengan mengangkat satu alisnya. “Bagaimana caranya?” “Trik ilusi yang hanya vampir bangsawan saja yang bisa menggunakannya...” “Mantra atau benda yang bisa membuat bayangan kalian muncul, itu ada di bukumu kemarin!” lanjutnya saat melihat Anora yang bertambah kebingungan. “Buku? Aaa aku lupa melanjutkan membacanya, tunggu sebentar...” Anora berjalan menuju laci di samping tempat tidurnya, dia membuka lorong laci yang kedua dan mengambil buku rahasia kemarin. Anora membukanya dan membaca buku itu dengan teliti, “Di halaman berapa?” tanya Anora pada kucing hitam. “Delapan puluh lima.” Anora menatap kucing itu sekilas sambil berdecak dengan sinis. “Katanya sudah kau ringkas. Lihat ini, bukunya setebal hidupku yang tidak habis-habis!” “Itu sudah paling ringkas...” “Gila! Sebanyak apa sebelum ini?” gumam Anora, yang sudah menemukan bacaan yang dia cari. Dia membacanya dengan bergumam, sesekali mengerutkan dahinya bingung. “Aku pakai kalung saja,” lanjutnya menutup buku itu dan berjalan ke arah lemari. Dia mengambil brankas yang berisi kalung peninggalan nenek moyangnya. “Jaga kalung itu, jangan sampai hilang!” peringat kucing itu dengan serius. “Aku tahu, ini penting kan agar aku ada bayangan,” ucap Anora. “Tetapi, apa ada hal penting lain?” lanjutnya, Anora penasaran saat melihat raut wajah kucing hitam itu yang serius. “Karena kalung itu bukan sekadar perhiasan dan tidak sesederhana itu!” balas kucing itu dengan menatap mata Anora dalam. Tepat setelah kata-kata itu, batu biru di kalungnya bergetar…Pagi hari terasa sedikit lebih riuh dari biasanya. Poster-poster kecil tertempel di dinding koridor, beberapa siswa mondar–mandir sambil memegang daftar peserta.Selvara berdiri di tengah aula, menata meja pendaftaran dengan dipenuhi senyuman."Kak Al, ayo ke sini!" panggilnya sambil melambaikan tangan.Alaric menghampiri dengan langkah santai, tatapannya berputar mengamati dekorasi sederhana, pita biru, buket bunga kering, dan panggung kecil."Aku pikir event-nya besar," komentar Alaric.Selvara tersenyum tipis. "Bukan besar, tapi penting."Dia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun pelan seperti menyimpan sesuatu."Aku… mungkin butuh pertolonganmu nanti," gumamnya, semakin memainkan ujung rambutnya.Alaric mengangkat alis. "Pertolongan seperti apa?"Selvara tidak menjawab. Dia malah menoleh ke arah pintu masuk—tempat Anora baru saja muncul sambil memandang ruangan dengan tatapan datar.Anora mendekat, suara sepatu sekolahnya terdengar pelan di lantai aula."Jadi ini event yan
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Selvara. Gadis itu masih sempat memperbaiki rambutnya sebelum turun, lalu menoleh ke Alaric dengan senyum yang lembut."Besok… jangan lupa ya, Kak Al," ucapnya lambat, seolah ingin memastikan Anora yang duduk di belakang mendengarnya.Alaric hanya mengangguk kecil. "Iya."Selvara menatap Anora sekilas—senyum tipis, seperti kemenangan kecil—lalu menutup pintu.Begitu pintu tertutup, sunyi memenuhi mobil.Alaric menarik napas panjang, seolah baru bisa bernapas setelah Selvara pergi. "Akhirnya…" gumamnya pelan.Anora memiringkan kepalanya. "Kau tidak suka dia ikut?"Alaric berdehem pelan."Kau bisa saja tadi menolaknya, tch..." lanjut Anora sambil tersenyum sinis."Aku hanya terpaksa, jika aku tolak kau akan dapat omongan murid lain."Anora mengalihkan pandangan ke jendela. "Hmm."Mobil kembali berjalan. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memantulkan cahaya oranye lembut ke interior mobil. Untuk beberapa saat, hanya suara mesin yang mengisi ruang.Sam
Sore hari sepulang sekolah terasa hangat tapi tidak lagi menyengat. Matahari condong ke barat, memantulkan cahaya ke kaca kelas dan membuat bayangan panjang di halaman. Suara langkah siswa bercampur dengan obrolan kecil, sementara angin sore membawa aroma debu jalan dan rumput yang sejak pagi terpanggang matahari.Di dekat gerbang, beberapa siswa berjalan santai sambil menyeret tas atau sibuk memeriksa ponsel. Bunyi mesin motor yang dinyalakan satu per satu memenuhi area parkiran. Langit tetap cerah, memberi kesan lega—seolah sore hari memberikan jeda sebelum masuk ke sisa hari yang lebih tenang.Anora berjalan ke parkiran, di sampingnya ada Alaric yang sejak kemarin mereka sudah berangkat dan pulang bersama."Bagaimana keadaan Sebastian tadi?" tanya Alaric sambil melirik Anora sekilas."Sudah membaik," balas Anora sambil membuka ponselnya, melihat notifikasi yang masuk."Kau tidak menjenguknya tadi?" lanjutnya sambil membaca pesan dari Kael."Tidak, dia tidak ada di uks saat aku ingi
Siang hari sekitar pukul sepuluh membuat lapangan basket bersinar terang. Cahaya matahari jatuh langsung ke lantai lapangan, membuat garis-garis putih tampak tajam. Angin lewat pelan, cukup untuk menggerakkan ujung rambut tapi tidak cukup untuk mengusir hangat yang menempel di kulit.Latihan mandiri sudah dimulai, suara pantulan bola dan langkah-langkah cepat terdengar dari tengah lapangan. Anora duduk di tribun, masih mengatur napas setelah sesi latihan bersama guru tadi. Dari tempatnya, dia bisa melihat laki-laki di kelasnya berlarian, sementara dirinya menikmati jeda singkat dalam kilau siang yang menyilaukan.Beberapa siswi juga ada yang duduk bersama dengannya, ada juga yang ikut bermain."Bukankah Sebastian sangat tampan jika seperti itu," celetuk temannya yang berada di sampingnya."Benar," balas teman satunya sambil menatap Sebastian yang berkeringat, sehingga membuat rambutnya basah. "Benar kan, Anora?" Anora menatap orang di kiri dan kanannya, lalu menatap ke arah Sebastia
Hari berganti hari, dan malam kembali menyambut dengan langkah pelannya. Cahaya senja meredup perlahan, seolah menyerahkan dunia pada gelap yang datang tanpa suara.Anora berbaring sembarangan di atas ranjang, rambutnya berantakan di bantal, jemarinya sibuk memutar-mutar kalung giok yang selalu menempel di lehernya.Ketika kelopak matanya hampir menutup, pintunya tiba-tiba didorong keras hingga memantul ke dinding.Brak!"NORA!" suara Ink menggema begitu keras sampai Anora otomatis melonjak dari tempat tidur."Apa—! Kau bisa santai tida—" protesnya kesal, wajahnya masam.Ink mengangkat tangan, menghentikan protesnya."Ada yang mencarimu. Cepat, ikut aku.""Siapa?" tanya Anora, masih malas tapi mulai merasa aneh melihat wajah Ink.Ink menarik napas pendek, lalu menjawab dengan nada datar yang justru membuat Anora menoleh penuh."Orang tuamu, Nora. Mereka datang."Anora membeku sebentar."…Apa?" suaranya kecil, hampir tak percaya.Ink mengangguk pelan. "Mereka ada di ruang tamu. Baru sa
Angin siang menyusup lembut melalui sela jendela, membawa hangat matahari yang menempel di kulit seperti bisikan samar. Cahaya terang menerobos masuk, memantul di meja-meja kantin yang mulai lengang. Kantin sudah sepi, hanya beberapa suara langkah jauh yang bergema samar. Selvara berdiri tidak jauh dari tempat Alaric, menatapnya dengan tatapan yang terlalu lama untuk disebut kebetulan.Alaric tidak berkomentar. Dia hanya mengangguk kecil ketika Selvara mulai berbicara—ringan, basa-basi, tapi dengan nada yang dibuat seolah tanpa sengaja manis di ujung.Anora melihat semua itu dari kejauhan. Ekspresi datarnya tidak berubah banyak, dia melipat tangannya di dada dan menyandarkan tubuhnya pada salah satu dinding di sana. Dan saat itulah suara Ink masuk begitu tiba-tiba.'Alurnya bergeser lebih cepat. Dia mempercepat langkahnya pada Alaric.''Sepertinya begitu... Kau tidak memberiku kisi-kisi lagi, selain ini?'Ink tidak menjelaskan lebih jauh, seolah tidak boleh. Dia hanya memberi peringa







