Sagara tersenyum mendengar pertanyaan itu. Hatinya bertabur bunga-bunga.
“Ya, aku sangat mencintaimu. Aku ingin belajar mencintaimu karena Allah.”
“Tapi kenapa kamu dulu menyakitiku?” Safira bertanya kembali, dia teringat lagi masa-masa kelam itu.
“Dulu mungkin cintaku padamu salah. Cintaku padamu hanya karena nafsu dan menjadi dosa besar. Sekarang aku ingin menebusnya dengan cinta suci. Dan aku harap kamu bisa memberiku kesempatan membuktikannya.”
“Maukah kamu memaafkanku?”
”Aku tidak janji. Tapi… aku akan terus belajar memaafkanmu,” balas Safira.
“Sekarang aku yang balik bertanya. Maukah kamu menerima cintaku?”
“Aku tidak janji. Tapi… aku juga akan belajar untuk mencobanya.”
“Makasih banyak, Sayang. Kamu sudah berikan aku kesempatan. Aku akan terus berdoa agar Allah menggerakkan hati dan perasaanmu, agar aku b
“Sayang, ini tidak seperti yang kamu bayangkan,” Sagara menghempas Granita dengan kuat, bahkan Granita nyaris terjatuh ke lantai. “Auww… Sialan, gara-wanita itu, kamu perlakukan aku seperti ini hah?” bentak Granita. Dia mengaduh sambil memegangi bagian tubuhnya yang sakit. “Sayang, biar aku jelasin. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia,” ucap Sagara sambil menggenggam jemari Safira. “Ayo pergi,” kata Safira. “Aku nggak ingin ada keributan di sini.” Safira melangkah cepat diikuti Sagara. “Hei, Fira kamu ke mana?” teriak Granita. “Urusan kita belum selesai. Dasar pelakor, Kamu udah rebut Sagara dariku. Awas, tunggu pembalasanku. Sagara pasti kembali ke pelukanku.” Safira tak pedulikan ocehan Granita. Dia ingin cepat-cepat sampa di mobil. Kepalanya terasa sangat pening. Safira tak tahan, dia memegangi kepalanya. Saat pintu lift terbuka, tubuh Safira nyaris ambruk. Beruntung Sagara berhasil menahan
Sagara tersenyum dengan tenang. Dia terus melangkah dan membopong Safira.Safira tak bisa menghindar lagi. Tubuhnya sudah kadung dibopong, dan dia hanya bisa menatap dagu dan wajah suaminya dari jarak terdekat.Sagara terus membopong Safira hingga masuk rumah, melewati ruang tamu.“Peduli padamu menjadi pahala bagiku sekarang. Aku ingin mencintaimu dan membahagiakanmu. Itu ibadah terindah bagiku saat ini.”Benar-benar kalimat belum pernah Safira dengar sebelumnya. Bahkan, Benua pun belum pernah mengatakan perkataan seperti itu.“Kamu masih bisa bersabar, sejak malam pertama itu kamu dan aku belum pernah melakukan ibadah biologis suami istri?”Sagara tersenyum. Pikirannya melayang jauh. Dia adalah lelaki normal pada umumnya. Sungguh dia sebenarnya tak sabar ingin menghabiskan malam-malam indah bersama istrinya.Namun dia pun tak akan pernah memaksa sampai istrinya rela. Menurutnya, memaksakan
Aku yakin, kamu pasti bisa nyaman bersamaku. Aku yakin pada akhirnya kamu akan mencintaiku sepenuh hati, kata hati Sagara.“Sekarang, kamu istirahat ya… Aku temani kamu,” kata Sagara.Safira mengangguk. Kemudian Sagara membetulkan posisi bantal.“Ayo tidur!” pinta Sagara sambil menepuk-nepuk bantal yang sudah disiapkannya.Safira membenamkan kepalanya di bantal. Sagara menatapnya dengan tersenyum.Pandangan Safira menatap langit-langit.“Tutup matamu, istirahatlah,” kata Sagara.“Bawel...” Safira memonyongkan bibirnya. Tak lama kemudian dia memejamkan mata.Sagara ikut berbaring di sampingnya. Dia tersenyum bahagia menatap istrinya lebih lama. Dia lebih leluasa menatap, karena Safira tak melihatnya. Dan yang lebih penting lagi, kini istrinya tak bisa memprotesnya.Sagara merasa tak bosan menatap wajah istrinya.Kenapa kamu kok nggak buka ke
Safira berpikir. “Boleh, tapi kamu nggak bisa terus-terusan nyuapin aku ya. Kalau lagi sibuk kan pastinya bikin makannya jadi lebih lama.”“Lagian siapa yang mau nyuapin kamu,” Sagara pura-pura cuek. Dia ingin menggoda lagi istrinya.“Iih. sebel deh. Ya udah. Terserah,” Safira cemberut.“Maaf deh.. Maaf ya, Sayang,” kata Sagara sambil mengelus-elus rambut istrinya.“Oke… tenang, besok-besok, pake sendok dan garpunya sepasang. Jadi tetap makan sepiring dan menyuap masing-masing hehe,” lanjut Sagara.Sepiring nasi pun akhirnya habis.“Nggak kerasa ya, kok udah abis lagi,” ujar Sagara.“Kamu masih laper?”“Enggak ah. Udah kenyang kok...”“Jangan boong ah… mana mungkin kamu udah kenyang. Dedek bayi di perut juga pasti belum kenyang. Kamu harus makan banyak. Lagian aku juga masih laper,” kata
“Aku … nggak ngapa-ngapain. Cuma betulin selimut kamu aja takut kamu kedinginan,” Safira menjawab terbata-bata saking gugupnya. Tubuhnya mendadak meriang.Duuh, kok jadi meriang begini, ya, pikir Safira.“Jangan pergi! Ayo lanjutkan,” pinta Sagara.“Apaan, sih kamu ini nakal!” Safira memukul tangan Sagara.“Nakalan siapa sama yang diam-diam nyium pas lagi orangnya lagi tidur hayo?”“Iiih… kamu ini,” Safira memukul-mukul dada dan bahu Sagara.Seperti biasa, Sagara mengedipkan sebelah matanya ke arah Safira.“By the way, kenapa kamu tadi kamu kok kayak niat banget ya nyium aku?” tanya Sagara sambil menahan tawanya.Sekali lagi Safira melayangkan pukulan ke arah bisep suaminya.“Puas banget kamu. Puas? Dasar!”“Gimana rasanya, seneng nggak?” Lagi-lagi Sagara mencoba menahan tawanya.&ldqu
“Pa, dia juga sama kayaknya sibuk juga. Dia juga lagi ngejar revisian skripsi.”“Ma, Pa.. makasih banyak ya. Berangkat dulu,” ucap Sagara sambil mencium tangan mertuanya satu per satu.“Assalamualaikum,” ucap Sagara. Dia berlalu meninggalkan mertuanya.Beberapa menit kemudian dari dalam rumah terdengar suara mobil dinyalakan dan melaju keluar dari halaman rumah kediaman Pak Indra.Sementara di dalam kamar, sayangnya di sela kesibukannya merevisi naskah skripsi, Safira malah kepikiran obrolannya tadi dengan Sagara.Kasihan banget Papa dan Mamanya pengen liat foto wisuda dia. Apa masih mungkin ya, dia untuk mendaftarkan diri ikutan wisuda? Safira bertanya sendiri dalam hati.Mungkin, usai sidang, aku kan nanti daftar wisuda. Aku coba tanya-tanya deh, mudah-mudah masih bisa. Kalau bisa bersyukur banget jadi bisa wisuda bareng-bareng.Safira pun kembali fokus menatap layar laptop. Saking f
Berliana menyaksikan Safira yang mematung. Suasana hatinya tak nyaman. Dia merasa yakin, dari tadi kakaknya mendengar percakapannya dengan Benua.Berliana menatap Safira agak lama.“Lian kamu kenapa, kok diam?” tanya Benua.“Kak, nanti ngobrol-ngobrolnya dilanjutin ya,” kata Berliana. “Kami mau berangkat jalan-jalan ke taman nih. Mau refreshing setelah seminggu ini kami disibukkan sama revisian hehe.”“Oke… kamu bilang kami. Berarti kakakmu mau sidang juga?”“Iya, Kak. Kita barengan.”Benua tampak berpikir lagi.“Oh, oke. Selamat berjuang ya. Semoga kamu dan kakakmu dilancarkan.”“Amiin. Makasih ya, Kak.”“Salam buat Fira.”“Oke, Kak. Nanti aku sampaikan. Pamit ya, Kak. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam warahmatullah.”Percakapan keduanya pun berakhir.
Safira bertanya seperti itu karena masih penasaran karena tadi dia tidak mendengar atau melihat Mamanya ngobrol dengan Papanya di telepon.Kalau saja mama tidak ingat putrinya sedang hamil, dia ingin sekali memarahinya. Tadi kamu ke mana aja sih? Masa nggak denger obrolan Mama dan Papa di telp. Hari ini kamu benar-benar aneh, Mama hanya bisa menggerutu dalam hati.Setelah mereka sampai rumah, Mama segera ke kamar mencari suaminya. Rupanya suaminya sedang berbaring dengan tertutup selimut.Safira dan Berliana pun ikut masuk.“Badanmu sangat panas, Pa,” kata sang istri setelah memegang kening dan tangan suaminya.“Iya, meriang, Ma,” kata Papa pelan“Lian tolong ambilkan termometer ya..” pinta Mama.Berliana pun segera mengambil termometer di kotak P3K.“Sini aku yang pasang,” kata Safira.Kemudian Safira memasangkannya di ketiak ayahnya.Beberapa saat , S