Share

11. Perseteruan Kecil Di Pagi Hari 2

"Karena pada nyatanya, sampai saat ini Alin masih terjerat dengan mimpi-mimpi buruk itu. Itulah kenapa sampai saat ini Alin-" Alina tak kuasa menyelesaikan kata-katanya lagi. Ia mulai merasa matanya memanas, rongga pernafasannya sesak, rasanya ia ingin menangis.

"Kebencian yang Alin miliki hanya membuat Alin berjalan di tempat, enggan maju mengahadapi realita dan hanya meyakini bahwa semua pria itu sama. Terkadang kebencian itu mendorong Alin untuk balas dendam, hanya saja nurani yang ada dalam diri alin menekannya cukup baik sejauh ini. Alin tidak mampu balas dendam dan tidak tau cara melampiaskannya harus bagaimana. karenanya kebencian itu rasanya semakin menyakitkan nek!" Itulah kenapa ia memutuskan untuk menjauhi bahkan menghindari interaksi apapun dengan pria. Karena dengan melihat mereka sekali saja, kebencian itu bangkit.

Dan itu membuatnya terluka setiap kali ia gagal melampiaskannya.

"Sebenarnya Alin tau!" Alina memandang ke langit-langit beberapa saat. Ketika ia merasakan pelupuk matanya mulai tergenang air.

"Sebenarnya yang menjadi alasan besar nenek mendesak Alin menikah, itu bukan karena nenek takut Alin menjadi perawan tua. Tapi nenek khawatir kalau Alin akan selamanya hidup sebagai-" Sesaat ia tercekat. Merasakan dirinya yang hampir saja terisak.

"Seorang yang membenci pria, yang melebihi batas normal, misandris! Bukankah begitu nek?"

"Alin-"

"Nenek tenang saja! Sejauh ini aku hanya membenci pria tapi tidak pernah melebihi itu. Jadi jangan pernah berpikir kalau Alin ini seorang misandris, karena rasanya itu sangat buruk-iks" Pada akhirnya Alina tidak mampu lagi menahan isakan nya.

"Alin nenek-"

Alina terus berbalik, ia berlari pergi meninggalkan kamar.

Erina terdiam. Sebenarnya apa yang di katakan Alina itu tak sepenuhnya salah. Alasan terbesarnya ia mendesak Alina menikah, itu karena ia mengkhawatirkan Alina menjadi seorang misandris.

"Maafkan nenek Alin..." Lirihnya. Mata tuanya berkaca-kaca.

Di samping itu Alina sudah duduk di meja makan. Awalnya ia sangat bergairah untuk melahap roti bakar keju yang sangat menggiurkan itu. Tapi kejadian tadi membuat nafsu makannya berkurang. Setelah mengusap kedua sudut matanya yang berair. Alina berusaha keras untuk tidak menangis.

Mengambil sepotong roti, ia menggigitnya. Rasa asin manis keju yang pas dan sedikit creamynya susu pecah di mulutnya. Tidak tau kenapa, perlahan ia tersenyum.

"Ini cukup enak!" Mood buruknya perlahan membaik seiring ia menguyah roti itu. 

Koki yang di datangkan Zayyad sudah pasti koki ternama dengan bayaran yang sangat mahal. 

Yah dia punya banyak uang, itu sangat wajar.

Setelah menyelesaikan sarapannya, ia meminum habis segelas susu vanila.

Alina pun membereskan semua piring di meja dan membawanya ke tempat cuci piring. Tepat ketika ia hendak mencucinya.

Seseorang datang dari belakang menghentikan.

"Tidak apa bu, biar saya saja!"

Alina berbalik dan menemukan seorang pria paruh baya sudah berdiri di hadapannya. Ia membungkuk sedikit, tersenyum sopan kepadanya.

"Saya Ferdi, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja untuk pak Zayyad. Saya bekerja dari pagi sampai sore di vila ini. Maaf karena hari ini baru dapat menyapa ibu, karena beberapa hari yang lalu saya mengambil cuti karena cucu saya sakit"

Ferdi sangat terkejut melihat betapa cantik istri tuannya dan bahkan ia berkerudung. Tuannya sangat beruntung di takdir kan bersama seorang istri shalihah seperti itu. Ia mengira, vila besar ini akan sangat menyedihkan karena hanya di tempati oleh tuannya seorang yang menolak menikah.

Tapi kenyataan di depannya membuatnya merasa bahagia untuk tuannya. Pada akhirnya tuannya menikah dan kemungkinan tamu kecil akan segera hadir untuk meributkan vila besar yang hening ini.

Alina yang melihat tatapan tersenyum Ferdi padanya, menautkan sepasang alisnya tak suka. Seperti biasa, ia selalu mempersepsikan senyum seorang pria kepada nya itu adalah sesuatu yang menjijikkan.

"Untuk apa kau menatap ku seperti itu?"

Itu terdengar ketus dan sinis.

Ferdi sangat terkejut. Dalam pandangannya sekilas, nyonya barunya tampak lembut dan sopan. Tapi kenapa ia merasa kenyataannya berbeda setelah wanita itu berbicara?

"M-maaf Bu! Saya tidak bermaksud membuat ibu tidak nyaman"

Alina malas mempedulikannya lagi. Dalam hatinya semua pria sama. Mereka menyedihkan dan memuakkan.

Alina terus mengangkat kaki, pergi meninggalkan tempat itu dengan angkuh.

Ferdi entah bagaimana menggigil di tempat. Ia berpikir, sepertinya nyonya barunya seseorang yang cukup sulit dihadapi.

___

Seharian ini Alina merasa sangat bosan. Menjadi nyonya rumah membuatnya tidak tahu harus berbuat apa. Dia sudah bersantai di sofa berjam-jam lamanya sambil menonton televisi. Tapi tidak ada siaran yang menarik perhatiannya.

Sudah berkali-kali ia mengganti siaran. Lelah ia memencet tombol remote, tetap saja ia tidak menemukan yang memuaskan.

"Alin"

Alina sedikit terkejut, meletakkan remote di atas meja. Ia bergegas bangun untuk membantu neneknya duduk. Walau sebenarnya masih agak canggung, jika mengingat kejadian pagi tadi.

Alina dapat melihat neneknya yang tampak semakin pucat, ada bintik-bintik merah di bawah kulitnya yang semakin menyebar dan melakukan aktifitas sedikit saja wanita tua itu sudah lelah. Dan lagi, kejadian pagi tadi itu ia pasti sangat membebaninya. Alina merasa menyesal karena gagal mengontrol emosinya.

"Apa nenek merasa bosan? nenek mau jalan-jalan berkeliling vila? Ada kebun bunga kecil di belakang, kalau nenek mau kita dapat melihatnya"

"Alin nenek minta maaf!"

"Ah, nenek tidak perlu membahasnya lagi. Itu karena Alin terlalu terbawa perasaan"

"Tapi nenek sungguh minta ma-"

"Nek" Potong Alina. "Tidak perlu membahasnya lagi, oke?"

"Em!"

"Jadi, nenek mau Alin ajak keliling vila?"

Vila milik Zayyad sangat besar dan luas. Di dukung dengan beberapa fasilitas mewah. Seperti ada kolam besar, pustaka kecil, studio musik dan juga ada gym.

Diluarnya Alina tidak terlalu tahu. Karena ia belum habis mengelilingi tempat besar ini. Tapi ia pernah melihat kebun bunga kecil yang ada di belakang vila. Dan itu sangat indah.

"Tidak perlu!"

Karena neneknya menolak, Alina tidak terlalu memaksa. Ia juga mengerti keadaan neneknya saat ini yang mudah sekali lelah.

"Ini sudah hampir mendekati jam makan siang"

"Tenang saja nek! Bentar lagi koki-koki akan datang memasak makanan yang lezat untuk kita. Atau nenek sudah sangat lapar? Kalau begitu aku akan memasak sekarang"

Erina terus menggeleng. Bukan itu yang ia maksud.

"Alin masak tapi bukan untuk nenek"

Menautkan sepasang alisnya, Alina bertanya, "Lalu untuk siapa?"

"Untuk suami mu!"

Apakah neneknya sedang bercanda? Ia menyuruhnya memasak untuk seorang pria?

Alina menekan ketidakpuasannya dalam hati. Menarik kedua sudut bibirnya ia tersenyum, mencoba mengatakan alasannya dengan halus.

"Nenek kurasa itu tidak perlu! Perusahaan besar seperti itu sudah menyiapkan makan untuk karyawannya, apalagi untuk CEO seperti Zayyad! Paling tidak jika ia tidak makan di sana, ia memiliki makan yang nyaman di luar bersama rekannya"

Memperkuat senyum di wajahnya, Alina ingin sekali berteriak.

Ayolah nek! Tidak perlu memasak, yaa?

"Tapi Irsyad pernah mengatakan Zayyad itu terlalu sibuk mengurus perusahaan sampai lupa makan. Bahkan lambung nya sering sekali sakit karena itu. Alin kau harus memasak sesuatu untuknya"

"Tapi nenek-"

"Jika Alin tidak mau, biar nenek saja yang masak! nenek tidak akan memaksa Alin" Erina masih merasa bersalah untuk kejadian tadi pagi.

Mendengar hal itu, Alina merasa sangat kesal. Rasanya ia akan cemburu jika nenek terus memperhatikan Zayyad seperti ini.

"Baiklah!" Akhirnya Alina menyerah. Ia tidak boleh terlalu terbawa perasaan seperti tadi pagi. "Alin akan memasakkan sesuatu untuk Zayyad sekarang, jadi nenek istirahat saja di sini atau nonton lah beberapa acara yang nenek suka"

Ia tidak bisa membiarkan neneknya berkutat di dapur. Kondisi tubuhnya masih sangat lemah.

"Sungguh?"

"Em!"

"Kalau begitu setelah Alin memasak, antarkan itu ke perusahaannya Zayyad"

Mengepalkan tangannya, Alina ingin sekali menolak. Memaksakan senyum, ia berkata dengan perasaan tertekan.

"Iya nek, akan aku lakukan" Tapi ia memutuskan untuk berdamai dengan neneknya.

Alina bangkit dari sofa, bergegas ke dapur.

Sesampai di dapur, senyum palsu di wajahnya langsung lenyap. Tangannya yang terkepal tanpa sadar meninju pintu kulkas untuk meluapkan emosinya.

"Huh! Kalau bukan karena nenek, aku tidak ingin melakukan ini"

Alina sama sekali tidak sadar, ulahnya tadi sudah membuat pintu kulkas itu menjadi cacat. Kepalan tangannya membekas jelas di sana.

"Memasak untuk seorang pria, mimpi buruk apa yang ku alami semalam?"

Alina membuka pintu kulkas dengan kasar. Lalu mengeluarkan beberapa sayuran dan daging ayam.

Akhirnya dengan berat hati ia memasak.

___

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status