Alina akhirnya dengan terpaksa pergi keluar vila hanya untuk mengantarkan makan siang untuk Zayyad. Bahkan neneknya juga berpesan padanya untuk menunjukkan bukti bahwa ia sudah mengantarkan makanan itu kepada Zayyad.
Alina sungguh ingin menghantuk kan kepalanya ke dinding.
'Sebenarnya yang menjadi cucunya itu aku atau Zayyad?'
"Bu, apakah anda ingin keluar?"
Alina melihat seorang pria mendekatinya, moodnya yang buruk semakin menjadi-jadi.
"Ada apa?" Tanya Alina ketus.
Pria tersebut menjadi gugup, menemukan sikap tidak bersahabat Alina. Ferdi yang sedang menyapu halaman, sekilas melihat pemandangan itu. Ia terus menggeleng kan kepalanya tak mengerti.
'Padahal Bu Alina terlihat sangat lembut dari luar, tapi kenapa kenyataannya tidak?'
"Saya supir yang di utus pak Zayyad untuk ibu. Kemanapun ibu pergi, saya dapat mengantar"
Jadi Zayyad sungguh memperkerjakan supir pribadi untuk membawanya pergi kemanapun?
Seandainya saja ia bisa mengendarai mobil. Mungkin ia hanya memerlukan mobil dan tidak butuh supir. Terlebih lagi itu adalah seorang pria.
"Antarkan saya ke perusahaan pak Zayyad"
"Baik bu"
Supir tersebut mempersilakannya naik kedalam mobil dan bergegas menuju ke perusahaan Zayyad yang letaknya lumayan jauh dari vila. Memang lokasi vila milik Zayyad agak jauh dari kota.
Setelah beberapa puluh menit perjalanan. Akhirnya Alina sampai di depan sebuah perusahaan yang sangat besar dan megah. Gedung bertingkat, yang entah berapa lantai di dalamnya.
Ketika Alina melangkahkan kaki kedalam. Ia segera menjadi pusat perhatian. Karena perusahaan besar itu sangat jarang kedatangan tamu wanita.
Alina mengacuhkan mereka semua dan berjalan ke meja resepsionis.
"Permisi bu, apakah ada yang bisa saya bantu?" Sapa seorang pria yang menjaga meja resepsionis.
Alina melihat seorang pria yang menyambutnya di tempat ini, terus mendengus kesal.
'Bahkan sampai di perusahaan pun orang pertama yang menyambut ku adalah pria?'
"Saya ingin keruangan Zayyad"
Pria tersebut sangat terkejut ketika mendengar Alina menyebutkan nama CEO mereka begitu langsung.
"Apakah anda sudah memiliki janji khusus sebelumnya dengan pak Zayyad?"
"Saya istrinya, apakah perlu janji temu?"
Pria itu memandangi Alina beberapa saat. Ia tau bahwa CEO perusahaan mereka di kabarkan baru saja menikah. Hanya saja ia tidak tau siapa istri CEO mereka itu. Karenanya ia merasa ragu dengan wanita berhijab di depannya. Bagaimana jika wanita di hadapannya ini berpura-pura mengaku sebagai istri CEO mereka?
"Maaf, tapi saya tidak bisa percaya begitu saja jika anda adalah istrinya pak Zayyad"
"Jadi anda meragukan saya?"
Pria itu perlahan mengangguk.
"Baik!" Ucap Alina santai sambil mengeluarkan ponselnya.
"Saya akan menelpon Zayyad sekarang untuk memecat karyawan yang bahkan tidak kenal istri CEO mereka sendiri"
"Jangan bu!" Seru pria penjaga meja resepsionis itu dengan raut wajah panik. Mendengar ancaman Alina, tentu saja ia menjadi takut. Bagaimana jika di hadapannya ini sungguh istri dari CEO mereka?
Melihat responnya, Alina tersenyum puas. Dalam hati ia merasa bangga karena berhasil menggertak seorang pria hari ini.
"Seseorang!" Pria tersebut terus menghentikan sembarang orang acak.
"Tolong antar kan ibu ini ke ruangan pak Zayyad"
"Baik!"
Alina merasa sangat kesal. Kenapa harus pria lagi?
Apakah di perusahaan besar ini sama sekali tidak memiliki karyawan wanita di dalamnya?
Tiba-tiba Alina teringat pembicaraannya dengan Maya lewat telepon semalam. Maya sempat mengatakan bahwa perusahaan PT Jaya Sejahtera seratus persen karyawan yang bekerja didalamnya adalah seorang pria.
"Silahkan Bu, lewat sini"
Sopan pria itu memberi jalan pada Alina. Lalu mereka berjalan kearah lift. Alina sebenarnya claustrophobic, akan tetapi itu tidak begitu parah sampai ia tidak berani menggunakan lift.
"Ruangan Zayyad ada di lantai berapa?"
"Lantai 50, khusus untuk CEO"
Zayyad di kenal sebagai bos besar yang sangat tertutup. Di lantai 50 itu sudah seperti wilayah pribadinya karena memang tidak ada sembarang karyawan yang boleh mendatangi tempat itu kecuali memiliki keperluan khusus. Itupun mereka harus melaporkannya lebih dulu kepada asisten yang merangkap sekretaris pribadinya, Bakri.
"Khusus? Kalau begitu cukup antar saya sampai disini"
Karena Alina sudah berkata demikian, pria itu hanya mengangguk dan pergi. Alina terus masuk kedalam lift. Menekan tombol 50.
Ting! Pintu lift tertutup rapat.
Meskipun claustrophobic yang Alina derita tidak begitu parah. Tetap saja ia masih merasa sedikit gelisah jika terlalu lama berada di tempat sempit dan tertutup. Salah satu kakinya mengetuk-ngetuk lantai, merasa tidak sabaran menanti pintu lift terbuka.
Ting! Pintu lift terbuka.
Alina bergegas keluar dari lift sembari menghela nafas lega. Setelah mendapatkan oksigen baru di tempat terbuka, ia merasa lebih baik.
"Bu Alina"
"Astaghfirullah"
Alina hampir saja jatuh karena terkejut.
"Maaf Bu! Saya tidak bermaksud—"
"Kenapa kamu seperti penampakan makhluk halus? Mendadak muncul begitu saja" Gerutu Alina kesal.
"Maaf Bu, karena sudah mengagetkan anda"
Bakri mendapatkan perintah dari Zayyad untuk membawa Alina ke ruangannya.
Resepsionis baru saja melaporkan bahwa seseorang datang mengakui sebagai istri CEO mereka.
Setelah Bakri melihatnya ternyata itu benar.
"Bu, ada perlu apa anda kemari?"
Mendengar pertanyaan Bakri, Alina semakin bertambah kesal.
'Dipikirnya aku mau melangkah kemari kalau bukan karena nenek?'
"Memangnya saya berkewajiban untuk memberitahu mu?"
"Maaf Bu, bukan itu maksud-"
"Cepat antarkan aku keruangan Zayyad"
Bakri merasa sangat kesal. Kelakuan Alina yang angkuh semakin terasa menyebalkan semenjak menyandang status istri Zayyad, bosnya.
'Kenapa bosnya itu harus di takdir kan dengan wanita seperti ini?'
"Baik bu, silahkan"
Bakri mengulas senyum terpaksa, membawa Alina pergi pada sebuah pintu.
Tepat ketika pintu di buka, Alina langsung di sambut dengan pemandangan seorang pria tampan berjas putih bersih, duduk dengan tegap memperhatikan map yang ada ditangannya.
"Bakri tinggalkan kami berdua" Titah Zayyad, tanpa memalingkan wajahnya yang menunduk memperhatikan map di tangannya.
Sikap Zayyad yang sangat serius itu, membuat Alina nyaris saja tersihir dengan betapa tampannya dia...
"Baik pak!"
Bakri pun keluar dan menutup pintu. Tinggal lah Alina dan Zayyad di dalam ruangan.
"Nenek menyuruh ku untuk mengantarkan makan siang untuk mu"
"Letakkan saja di meja kopi" Jawab Zayyad yang masih fokus sama pekerjaannya.
Alina berjalan ke meja kopi dan dengan santai duduk di sofa. Menyadari Alina yang sepertinya tidak berniat pergi, Zayyad mengerutkan dahinya.
"Apa ada hal lain?" Tanya Zayyad sembari membalikkan halaman map yang sedang dibacanya.
"Nenek tidak mengizinkan ku pulang sebelum melihat mu menghabiskan makanan ini"
Tangan Zayyad yang memegang map menegang.
"Dan aku juga harus mengambil rekaman mu yang memakan habis makanan ini dan menunjukkannya ke nenek sebagai bukti kalau aku sudah menjalankan tugas ku..." Terang Alina.
Zayyad menutup map di tangannya, menoleh kearah Alina "Apakah harus?"
"Kau pikir aku mau melakukan hal konyol ini jika bukan karena nenek? Cepatlah menurut saja. Jika kali ini kau tidak bekerja sama, maka jangan salah kan aku karena juga menolak bekerja sama dengan mu"
Zayyad merajut sepasang alisnya, tatapannya berubah menjadi tajam, "Maksud mu?"
"Jangan salah kan aku jika membocorkan rahasia terbesar mu pada publik kalau kau itu sebenarnya-"
"Cukup!"
Zayyad akhirnya berdiri. Mata coklatnya sekilas melempar tatapan membunuh pada Alina.
Alina mengerutkan bibirnya nyaris ingin tertawa mengejek, 'Menatap diriku seperti itu, pelukan ku semalam saja dia sudah hampir pingsan!'
Zayyad berjalan ke sofa tunggal dan duduk.
Alina tau pria itu menjaga jarak darinya.
Zayyad mengambil kotak nasi yang Alina bawa dan membukanya. Tepat ketika ia mengambil sesendok suapan ke dalam mulutnya. Kunyahan pertama, hampir membuatnya ingin muntah, "Makanan apa ini?"
Itu sangat asin, nyaris seperti memakan sesendok garam.
Alina melipat bibirnya rapat, menahan tawa yang hampir saja meledak.
Zayyad menatap nanar ke kotak makanan di tangannya, "Kau sengaja melakukannya?"
"Sengaja atau tidak, peraturannya tetap sama! Kau harus menghabiskan makanannya atau-"
Zayyad dengan terpaksa mengambil sesendok makanan itu lagi ke mulutnya. Bahkan kali ini tangannya bergerak sangat cepat, berusaha keras untuk segera menghabiskan makanan itu.
Zayyad sama sekali tidak sadar kalau Alina sedang merekamnya sembari terkikik kecil.
Aksi seorang bos besar di depannya itu sungguh sangat menghibur.
"Selesai!" Zayyad meletakkan kotak nasi yang sudah kosong di atas meja.
"Ugh"
Menutup mulutnya Zayyad bergegas ke kamar kecil.
"Pfft.."
Detik itu Alina sudah tidak mampu lagi menahan gelak tawanya.
___Tanpa merasa bersalah sama sekali, Alina membereskan kotak makan. Dan menyuruh Bakri yang masih menunggu di luar untuk mengambil segelas air."Ini Bu!"Bakri menyerahkan segelas air putih padanya."Em!"Alina mengambil gelas tersebut dan sama sekali tidak mengatakan terimakasih atas Bakri yang sudah membawakan nya air.Bakri tidak terlalu mempedulikan nya. Ia segera keluar lagi, menutup pintu dan memberi privasi sepenuhnya untuk dua orang itu. Tepat ketika ponselnya berdering, ia mengambil beberapa langkah menjauh untuk menjawab panggilan."Iya?""Baik, kalau begitu saya akan segera ke sana"Karena ada keperluan, Bakri pun pergi meninggalkan tempat itu.Alina yang melihat Zayyad sudah keluar dari kamar kecil masih tak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.Zayyad terus memalingkan muka darinya. Wajahnya sama sekali tidak terlihat baik."Ini minumlah!"Alina dengan murah hati meletakkan gelas air
Zayyad meraba saku jasnya mencari ponsel, detik itu ia teringat ponselnya sudah rusak. Ruangan sempit ini tampak semakin menyesakkan dalam keadaan gelap. Setidaknya sedikit cahaya, mungkin dapat menenangkan Alina yang nyaris hampir mati ketakutan. Jadi Zayyad berpikir untuk mendapatkan sedikit sumber cahaya. Meraba-raba sekitar lantai, Zayyad menemukan tas tangan Alina. Zayyad membukanya dan mengambil ponsel Alina. Zayyad segera menyalakan senter dari ponsel milik Alina. Cahayanya lebih dari cukup untuk menerangi ruangan kecil ini. Saat itulah Zayyad dapat melihat jelas wanita yang jatuh pingsan di lengannya perlahan membuka mata. Detik itu...Zayyad kehilangan kontrol akan— "Ugh!" Seteguk cairan asam tumpah mengotori pundak Alina. Zayyad terkesiap, langsung meletakkan pelan Alina ke lantai. Menutup mulutnya, Zayyad berusaha keras menekan gejolak asam dari perutnya agar tidak melakukan kesalahan kedua kalinya. "Maaf!" Zayyad memasang tampang menyesal.
"Hah...hah.." Alina menepuk dadanya yang terasa sesak tidak tertahankan. Keringat dingin sudah memenuhi pelipis hingga punggungnya. Bayang-bayang ia terkurung dalam lemari kecil, pengap, gelap serta celah udara yang kecil. Menghantuinya lagi, membuat ia kembali larut dalam perasaan sesak karena kehabisan oksigen. "H-ha...h-haaa..h" "Alina bertahan-" Bruk! Ujung dasi yang di pegang wanita itu itu jatuh mencium lantai. Zayyad tercenung. Tangannya yang perlahan bergetar juga telah menjatuhkan ujung dasi yang di pegangnya. 'Dia tidak akan mati kan?' batin Zayyad sembari memandang Alina yang sudah jatuh tak sadarkan diri lagi. Keadaannya pun jauh lebih buruk dari sebelumnya. Zayyad perlahan membungkuk, mengulurkan tangannya kebawah. Meletakkan dua jarinya tepat di depan hidung Alina, "Masih bernafas..." Tapi itu sangat pelan. Sangat halus. Dan samar-samar. Zayyad mulai panik. Bagaimana jika terlambat sedikit saja itu
Dokter pribadi Zayyad sudah tiba di perusahaan dan sedang memeriksa keadaan Alina. Zayyad pergi duduk di sofa, menunggu dan termenung. 'Aku sungguh baru saja menggendong seorang wanita?' Zayyad tak dapat mempercayai fakta itu. Merenungi kedua tangan yang baru saja mengangkat Alina, itu masih bergetar. 'Apakah ada kemajuan dari pemulihan ku?' Sudah bertahun-tahun Zayyad berusaha keras untuk menghilangkan phobia nya terhadap wanita. Bagaimana pun, ia tidak akan pernah bisa hidup sebagai pria normal pada umumnya selama memiliki ketakutan itu. "Pak Zayyad, keadaan istri anda baik-baik saja! Tidak lama lagi ia akan segera siuman" Zayyad tersentak dari lamunannya. Mendengar apa yang di katakan dokter, Zayyad mengangguk pelan. "Kalau begitu saya permisi" "Baik dok, terimakasih" Setelah mengantarkan dokter itu keluar. Zayyad kembali ke bilik kecil pribadinya. Zayyad melihat keadaan Alina yang jauh lebih baik. Wa
Alina perlahan membuka matanya. Kejadian tadi masih membuatnya mati lemas. Padahal sebenarnya ia sudah memperoleh kesadaran nya beberapa jam yang lalu. Karena masih tak sanggup mengontrol syok beratnya, ia memutuskan untuk menenangkan diri dengan tidur lebih lama. Sesaat pikirannya masih terkenang dengan kejadian di lift tadi siang.Terjebak dalam ruang persegi yang gelap. Rasanya seperti ia baru saja bangun dari mimpi buruk yang panjang.Ia mengelus dadanya pelan, mencoba mengontrol tekanan dalam dirinya. Rasa sesak dan tercekik dalam ruang sempit itu, masih membekas sampai sekarang. Dan yang paling ia benci, kenangan buruk masa lalunya kembali menghantui nya karena kejadian sialan itu!"Aku harus mandi untuk membuang semua kesialan ini!" Alina perlahan bangun, menggeser selimut kesamping dan menurunkan kakinya ke lantai. Ia melihat ada paper bag di atas nakas serta ada note kecil yang tertempel di depannya.*Maafkan aku!*Ia mengambil paper bag itu
"Hah!" Alina tersentak dari mimpi buruk yang hampir mencekiknya mati. Masa kelam itu menghantuinya kembali. Insiden lift itu pasti pemicunya. Sepertinya berendam bukan pilihan yang tepat. Mungkin mandi dibawah pancuran air shower baru dapat membuang semua hal-hal buruk itu. Alina menyeka keringat yang membasahi pelipisnya. Nafasnya perlahan stabil begitu pula dengan detak jantungnya. Jika terus seperti ini, ia bahkan bisa mati hanya karena mimpi buruk. "Ah, sepertinya aku tidak bisa tidur malam ini!" Gumam Alina sambil menghela nafas berat. Tepat ketika Alina ingin bangun, ia merasa seperti ada beban berat yang menindihnya. Menurunkan pandangannya kebawah, mata Alina nyaris hampir melompat keluar. "Aaaa..." Jerit Alina. 'Kenapa pria itu bisa ada disini?' Tunggu! Ia sekarang dalam keadaan tanpa sehelai benang apapun ditubuhnya dan kepala pria ini jatuh tepat— "Dasar mesum! Cepat minggir.." Alina terus mendorong kepala Zayyad men
"Minggir!" Sesampai di depan pintu bilik kecil itu, Alina terus mendorong Zayyad ke samping. Ia tampak sangat terburu-buru masuk kedalam. Zayyad memegang lengannya yang agak sakit karena kebentur gagang pintu. Ia tertawa miris dalam hati, melihat tingkah laku wanita itu. "Kasur ini adalah milikku!" Alina melompat keatas kasur. Membentang kedua tangannya lebar-lebar menguasai kedua sisi kasur yang lumayan luas. Zayyad yang melihat itu, mengerjapkan matanya terheran-heran. "Dan kau mesum-" Zayyad membulatkan matanya. "Tidur di bawah!" Zayyad setelah mendengar itu, mukutnya setengah terbuka. Kedua tangannya terkepal, menekan rasa kesalnya. "Tapi aku adalah pemilik tempat ini, kenapa jadi kau yang mengatur?" "Aku tidak mengatur! Aku hanya mengatakan aku akan tidur di sini dan kau tidur di bawah" Itu sama saja! Zayyad memutar bola matanya. "Tidak! Kau yang tidur di bawah, aku tidur di sini" Zayyad menarik selimut, memaksa Alina yang
Pagi harinya, Zayyad baru memperoleh kesadaran nya kembali. Menjepit sepasang alisnya, ia masih merasa agak pusing. "Mimpi buruk itu sungguh merusak tidur ku" Gumam nya yang mengira kejadian semalam hanyalah mimpi buruk. Karena matanya masih sangat mengantuk, ia memilih untuk tidur lagi. Merasakan ada benda yang bertumpu di atas perutnya, ia pun menyingkirkan benda itu. Tapi setelah di singkirkan, benda itu malah jatuh memukul lehernya. Ia pun tersentak. Matanya terbuka lebar dan tangan nya terus menarik benda yang melilit lehernya. "Apa ini?" Karena suasana bilik yang gelap, ia setengah bangun untuk menekan saklar lampu yang dapat di jangkau dari tempat nya tidur. Lampu menyala dan ia dapat melihat benda yang di pegang nya dengan jelas. Itu adalah tangan! 'Ini tidak mungkin ada hantu di vila kan?' Batin nya. Jantungnya sudah berdetak kencang. Ia berusaha keras untuk tetap tenang dan berpikir logis. Matanya dengan gugup menerawang ke langit-lang