Sepulang dari makan mie ayam bersama di luar, Tanisha kembali berkutat dengan laptopnya. Menyelesaikan beberapa naskah pesanan yang belum selesai. Sementara itu, Aqlan pun membuka-buka buku pelajaran untuk menyiapkan materi yang akan diberikan pada murid-muridnya esok hari. Sepanjang keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Aqlan tak henti-hentinya menggoda Tanisha seperti saat ia menggoda sang istri di luar tadi. Laki-laki itu seolah tak main-main dengan ucapannya bahwa ia ingin sekali menahan perempuan itu di kamarnya karena saking gemasnya. Tentu saja hal itu membuat Tanisha dilanda rasa kesal. "Abang, ih, jangan godain aku mulu! Nggak ada kerjaan banget, sih!" gerutunya dengan jari-jari yang sibuk menari di atas keyboard. "Kerjaan Abang bentar lagi juga selesai. Jadi Abang mau gangguin kamu terus. Salah sendiri kenapa gemesin," balas Aqlan. Ia berdiri di belakang istrinya dan terus-menerus memainkan pipi tembamnya. "Bang Aqlan!" pekik Tanisha. Namun, laki-laki itu tetap
Sejak Aqlan pulang ke rumah, raut wajah laki-laki itu nampak selalu murung. Bahkan ia yang biasanya memberikan senyum pada Tanisha pun kini justru tak diberikannya. Tentu hal tersebut membuat Tanisha kian penasaran mengingat saat berangkat tadi pun Aqlan terlihat tengah menahan tangis. Tanisha tak berniat menanyakannya pada Aqlan karena ia rasa itu bukanlah urusannya. Ia memilih untuk menonton sebuah film movie di laptopnya dan tak mencoba mendekati Aqlan untuk saat ini karena takut terkena amukan darinya. Tak lama kemudian, giliran Tanisha yang mendapat panggilan telepon dari seseorang saat ia tengah asyik menonton. Dengan mata yang terfokus pada jalannya film, ia geser begitu saja tombol hijau di ponselnya tanpa melihat layar ponselnya terlebih dahulu. "Halo?"Wajah Tanisha berubah tak suka setelah mendengar jawaban dari seberang sana. "Ketemu? Ngapain?""Aku nggak ada waktu.""Oke, oke. Baik. Besok, kan? Baiklah, besok."Secepat kilat Tanisha langsung mematikan ponsel dengan wa
Tanisha berjalan lunglai memasuki kamarnya. Seluruh tubuhnya basah kuyup karena tadi ia nekat menerobos hujan. Pasalnya, hujan tak reda-reda, angkutan umum pun tak ada yang lewat. Ia juga tak sanggup jika harus terus-menerus dekat dengan Rezvan. Tanisha segera melepas pakaian basahnya lalu menutupi tubuhnya dengan handuk. Hawa dingin seolah masih menerpanya sehingga membuat sekujur tubuhnya terasa menggigil. Setelah ia selesai mengeringkan tubuh basahnya, Tanisha pun mengoleskan minyak kayu putih ke bagian-bagian tubuh yang cenderung terkena penyakit jika sudah hujan-hujanan. Tanisha menghirup udara dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya perlahan. Ada sensasi lega dan hangat yang menyapa tubuhnya. Baju piyama dengan lengan panjang terpasang di tubuhnya yang agak kurus itu. Tanisha pun melanjutkan kegiatannya dengan mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil. Bersamaan dengan itu, pikirannya menjadi melayang pada kejadian di halte tadi. Masih dapat ia rasakan sisa-sisa b
Hari ini Rezvan pergi menemui Kalandra di tempat biasa mereka berdua. Entah dorongan dari mana ia begitu teringin menceritakan tentang perasaannya pada teman lamanya itu. Ia berpikir, apa salahnya berbagi kebahagiaan kepada orang lain mengenai betapa berbunga-bunga hatinya. Apalagi Rezvan sudah berbaikan dengan Kalandra soal ia yang tiba-tiba memukuli laki-laki itu saat tengah berada di JPO. Rezvan berjalan dengan penuh sukacita menuju sebuah tempat rekreasi yang berlokasi di sebuah danau. Ia begitu tak sabar untuk bercerita banyak hal pada Kalandra mengenai Tanisha. Walaupun Rezvan belum sepenuhnya mengakui tentang perasaannya pada Tanisha yang kembali tumbuh, tetapi hatinya tak dapat berbohong bahwa sejatinya ia telah jatuh cinta kembali pada perempuan itu. Di lubuk hatinya yang terdalam, Rezvan begitu berharap Tanisha pun merasakan hal yang sama meskipun kemungkinannya sangat kecil mengingat perlakuannya di masa lalu yang tak bisa dimaafkan semudah itu. Namun, apa salahnya berj
"Fathan!" Rezvan berjalan cepat sambil menyingkapkan lengan bajunya. Deru napasnya memburu, kedua matanya menatap jalang. Raut wajah laki-laki itu nampak begitu marah hingga membuat siapa pun yang melihatnya merasa ketakutan. Fathan yang sedang duduk santai dan berbincang-bincang dengan teman-temannya lantas menoleh ke arah suara tersebut. Keningnya mengernyit heran. Ia berdiri seraya menatap Rezvan penuh tanda tanya. Dengan tangan yang terkepal kuat, Rezvan melayangkan satu pukulan mematikan ke wajah Fathan. Kemudian, tanpa ampun ia menyusulnya dengan pukulan-pukulan lain. Lawannya hanya menatap bingung dan tak sanggup membalas karena pukulan yang mengenainya terlalu tiba-tiba. "Bangsat lo, Than! Banci! Beraninya sama cewek doang!" bentak Rezvan dengan ekspresi yang begitu terlihat sangar. Ia kembali memukul beberapa bagian tubuh Fathan hingga membuat sang empu merasa kewalahan. Laki-laki itu bahkan sampai terbatuk-batuk seraya memegangi perutnya yang tadi terkena pukulan hebat R
Tanisha mendorong pintu yang terbuat dari kaca hingga terbuka lebar. Saat ia memasuki rumah bagi para buku itu, matanya langsung disambut dan dimanjakan oleh ratusan—bahkan mungkin ribuan buku—yang tersusun rapi di rak-rak yang berjejer dengan rapi pula. Kedua mata bulatnya berbinar senang. Perasaannya begitu antusias dan tak sabar untuk menyusuri setiap rak buku yang ada di sana. Tanisha langsung berjalan menuju rak yang khusus buku-buku non-fiksi hingga yang fiksi. Hatinya amat gembira, ia seolah tengah memasuki surga dunianya. Mungkin saat ini kausudah dapat menebak sedang berada di manakah Tanisha. Ya, gramedia. Alasan perempuan itu pergi ke tempat ini adalah untuk mencari buku yang akan ia jadikan referensi bagi cerita yang hendak digarapnya. Entah kunjungannya yang ke berapa kali ke tempat ini, bahkan buku-buku yang sebelumnya pun sudah begitu banyak tersimpan di rak buku miliknya. Buku memang selalu menjadi sumber informasi yang sangat valid dan dapat dipercaya mengenai apa
Derap kaki Tanisha bergerak begitu cepat. Wajahnya tertekuk menahan tumpukan kekesalan yang menggunung di dalam hatinya. Sementara itu, dengan wajah tak berdosanya, Rezvan terus mengikutinya dan tak henti-hentinya menyamakan langkah kakinya dengan Tanisha. Rezvan seolah tak ingin menyerah begitu saja. Sebelum perempuan itu menerima permintaan maafnya, ia tak akan berhenti untuk terus mendekati Tanisha dan mengucap kata maaf berkali-kali. Padahal, tanpa ia sadari, hal itu justru membuat empunya merasa makin dilanda rasa kesal. "Cha, maafin gue, ya? Ya, ya, ya? Gue janji gak akan gitu lagi." Ditatapnya Tanisha dari samping yang ia rasa malah makin mempercepat langkah kakinya. Perempuan itu nampak tak menghiraukan ucapannya hingga membuat Rezvan merasa tak tenang dan tak enak hati. "Acha, jangan gini, dong. Gue janji gak akan mukulin orang sembarangan lagi, deh. Ya? Ntar cantiknya ilang, lho, kalo ditekuk mulu kek gitu mukanya," ujar laki-laki tersebut dengan niat membujuk Tanisha. Na
Tumpukan kitab di atas meja turut menemani keheningan yang dirasakan oleh perempuan berusia 23 tahun itu. Cahaya remang-remang dari lampu belajar menyoroti salah satu kitab yang tengah dibacanya. Kedua matanya sedari tadi terus mengerjap. Wajar saja, gadis itu sudah duduk di tempat itu sekitar 2 jam. Merasa kedua matanya menjadi perih, ia pun lantas menutup kitabnya lalu mengusap kelopak matanya. Matanya itu terasa berat, mungkin karena sudah tak sanggup menahan kantuk. Gadis bernama April itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada sebuah buku diari yang berada di tumpukan buku lain dan terletak paling atas. Diari dengan sampul putih itu kemudian ia buka dan ia baca halaman demi halamannya. Tulisan-tulisan ia goreskan beberapa tahun lalu itu ia baca kembali. Sesekali tawa renyahnya bergema menghilangkan suasana sepi sejenak. Diari itu berisi tulisan-tulisan tentang Aqlan. April memang telah mengagumi laki-laki itu sedari dahulu. Namun, perbedaan antara dirinya dan Aqlan membuatnya