Share

Ketika Kepercayaan Mulai Terkelupas

Call Me ka 

Gue khawatir banget, kenapa sudah hampir satu minggu dia nggak ngabarin gue. Handphonenya juga nggak aktif gue hubungin. Gue khawatir banget Nges, kak Deon udah curiga mulu ke gue. Tanya-tanya terus, lo jangan ngomong apa-apa ke kakak gue ya! Kak Deon bakalan lebih khawatir kalau dia tahu kak Nevan lama nggak hubungin gue kek gini.”

Aileen tidak bisa konsentrasi belajar, tidak bisa dibohongi dia khawatir dengan keadaan Nevan. Memang, setelah beberapa waktu lalu, dia izin menjadi pendamping mahasiswa junior semester tiga untuk mengikuti olimpiade. 

Mulai itu, Nevan seolah hilang, bahkan teman satu tim di olimpiade juga tidak ada yang tahu bagaimana keadaan Nevan. Tidak seperti biasanya, sesibuk apapun Nevan pasti ada waktu menghubungi Aileen untuk memberinya kabar.

“Aneh banget sih kak Nevan, masa iya punya Hp nggak bisa buat komunikasi. Bukannya dia orang kaya raya ya? Hpnya nggak mungkin cuma satu kale?”

Daisha spontan nyeletuk dan membuat Aileen menatap tajam.

“Maksud lo? dia pakek Hp lain buat komunikasi sama yang lain gitu, berarti dia hindarin gue, gitu?”

“Ya mana gue tahu, kan aku hanya berpikiran, mana mungkin dia punya Hp cuma satu. Udahlah lo do’a aja, sabar aja positif thinking kemungkinan dia lagi sibuk ngurusin kegiatannya. Nanti dia juga pasti hubungin lo.”

Mendengar penjelasan Daisha, Aileen sedikit tenang. Tapi entah kenapa perasaannya menjadi semakin tidak enak. Pikirannya meracau kemana-mana, bahkan materi olimpiade yang akan dia pelajari dia letakkan kembali di meja. 

Dia tinggalkan meja belajarnya dan berbaring di kasur. Daisha keheranan, tidak biasanya sahabatnya itu nggak semangat belajar. Padahal kalau sudah masalah buku pasti dia ratunya, diulek-ulek mulu sampai kucel itu buku.

Melihat sahabatnya yang lagi bad mood dan hari sudah sore, Daisha memutuskan pulang dan mengakhiri belajarnya sore itu.

Setelah melihat Aileen tidur, Daisha tidak berani membangunkan. Dia langsung pulang sebelum di hadang Deon di teras rumah.

“Cunges, lo tahu nggak kenapa Aileen kek gitu? Gue tanya jawabnya nggak ada apa-apa muluk, males gue tanya ma dia. Sekarang dia suka sembunyiin masalah dari gue, padahal dulu enggak.”

“Eh kak sini, sini!”

Daisha menyuruh Deon lebih mendekatinya, dia berbisik hal penting ke Deon.

“Kakak kan pernah bilang kalau ada sesuatu yang mengganjal pada kak Nevan, nah menurut kakak apa yang mengganjal itu?”

“Sikap dia?”

“Nah, jangan bilang ke Aileen. Sudah hampir satu minggu itu orang nggak ngabarin Aileen. Makanya Aileen khawatir kek gitu.”

“Udah gue duga dari awal ini bakal dirasain adek gue lagi. Anjir.”

Sebelum mereka selesai ngobrol, tiba-tiba Aileen berteriak,

“Cungessssssss”

Memanggil Daisha setelah bertanya kepada ibunya kemana Daisha. Teriakan Aileen membuat Daisha dan Deon langsung berjauhan, macam orang pacaran dan ketahuan.

“Apa?” Jawab Daisha.

“Kak Deon, ngapain di situ?”

Tanya Aileen yang kaget melihat kakaknya ada di samping Daisha.

“Ngapain? Ya duduklah nih sambil ngopi makan roti, nggak lihat lu?”

Aileen menarik Daisha ke dalam rumah dan di bawa ke dalam kamar, lalu pintu di kunci.

“Lo ngapain sih? ini dah sore, gue pulang telat emak gue ngomel-ngomel pasti.”

Daisha mencoba kabur.

“Nih lo harus lihat, sumpah, sumpah .…” 

Tiba-tiba Aileen menangis kebingungan, rambutnya dia acak-acak, mondar-mandir, sekali-kali jarinya dia gigitin.

Daisha langsung melihat apa yang ditunjukkan Aileen kepadanya. Setelah beberapa menit membaca dan memahami apa yang ada di handphone tersebut, kini berubah Daisha yang syok berat.

“Ini, ini, ini apa Ai … kenapa kek gini? ini serius nggak? Informasinya bener nggak? Jangan-jangan hoax.”

“Lihat itu ada namanya, jelas banget itu siapa. Lo nggak bisa ngenalin apa?” 

Oceh Aileen dengan muka memerah, bukan tersipu malu tapi memendam amarah plus matanya yang mulai berkaca-kaca tapi dia tahan.

Sambil mengepalkan tangan, menarik napas dan mengeluarkannya perlahan berharap tidak melakukan hal berlebihan.

Daisha juga syok dan bingung mau melakukan apa.

Malam itu Aileen nggak berani keluar kamar buat makan, sebab mata dia sembab habis menangis dari sore. Apalagi dia juga sedang haid.

Jadi tidak kehilangan akal membuat alasan untuk tidak keluar kamar. Dia cukup bilang kalau perutnya sakit dan keluarganya memahami. 

Aileen hanya tiduran di kasur, bukunya masih berantakan di atas meja belajar belum dia bereskan sedari sore.

Deon juga curiga, kenapa tiba-tiba Aileen menarik Daisha dan setelah itu Daisha cepat-cepat pulang tanpa berpamitan terlebih dulu, seperti ada yang disembunyikan.

Namun, ayah ibu tidak ngeh dengan kejadian itu, hanya Deon yang ngeh.

***

Malam harinya Daisha berusaha menghubungi Aileen, tapi tidak ada balasan dan jawaban kemungkinan besar kalau nggak nangis iya tidur. Sebab, Daisha sudah paham saat Aileen bad mood itulah hal yang kemungkinan akan dia lakukan. 

Daisha menghubungi Agam dan bercerita semuanya ke kekasihnya itu, tapi jawaban Agam  membuat Daisha lebih syok. Bagaimana tidak, hal itu sudah diprediksi oleh Agam juga Deon.

“Nggak kaget juga sih gue lo beri tahu ini. Gue sama kak Deon juga udah berpikir ini akan terjadi, tapi kak Deon tahu masalah ini belum?”

“Hah belum. Kalau kak Deon tahu, yang ada habis itu orang. Tadi aja kak Deon udah macam petugas kepolisian introgasi ini introgasi itu.”

“Lo tidur ini sudah malem! Besok kuliah. Dukung Aileen jangan sampai dia kek dulu lagi, lama-lama gue kasihan lihat dia nggak pernah ada beruntungnya masalah cowok.”

Kalimat salam dan selamat malam menjadi akhir komunikasi Agam dan Daisha malam itu. Tapi nenek sedari tadi mendengar apa yang dibicarakan cucunya dengan Agam. 

Meski membuat Daisha syok karena tiba-tiba nenek muncul, dia malah mengajak sang nenek curhat tentang masalah Aileen dengan Nevan yang baru saja terjadi.

“Gini ya nak, kenapa kita itu perlu ngati-ngati. Ojo ndeleng uwong ko jobone tok, sopo ruh jobone moloikat jerone ulo[1]. Jadi ya itu, harus berhati-hati dan jangan asal percaya saja. Sudah malam ini adik-adikmu juga sudah tidur. Besok kuliah, dengar apa yang dikatakan Agam juga.”

Mendengar apa yang dikatakan nenek. Daisha mulai berpikir kalau sebenarnya apa yang dia dan Aileen lihat dari seorang Nevan adalah luarnya saja belum kenal mendalam tentang sikap, sifat, dan hatinya. 

Daisha mengambil handphonenya dan mengirim pesan yang lumayan panjang kepada Nevan. Serasa emosinya memuncak malam itu, Daisha berusaha mengatakan apa yang mengganjal di hatinya demi Aileen.

Bukan berarti ikut campur, bagi Daisha itu adalah salah satu bentuk dukungannya kepada Aileen. Setelah memencet tombol kirim, Daisha meletakkan Hpnya di meja dan dia hilang di telan selimut.

Seperti biasanya, pagi harinya Daisha gantian menjemput Aileen untuk pergi  ke kampus. Namun, sampai di depan gerbang rumah sudah di hadang Deon yang begitu penasaran dengan tingkah Daisha dan adiknya kemarin.

Bahkan semalaman Aileen seolah mengurung diri di kamar tidak menampakkan diri keluar. Rasa curiga kalau Aileen sedang tidak baik-baik saja semakin kuat saat pukul satu malam dia mendengar ada tangisan dari kamar Aileen.

“Eh lo bilang, ada apa sama Aileen! Tadi malem jam satu gue kira kuntilanak nangis, eh tahu-tahu dari kamar dia, ada apa ha?” 

Sebelum selesai bertanya, Aileen sudah keluar rumah duluan sehingga pertanyaan Deon ditangguhkan dan dia kembali meneruskan kegiatannya menyiram tanaman.

“Kakak yang rajin ya! Gue kuliah dulu, itu yang sana belum. Awas kalau nggak rata nanti dimarahi enyak lho, wkwkwk.”

Aileen menggoda kakaknya sambil menjulurkan lidah.

Deon melihat adiknya kembali ceria yang ternyata bisa ditebak oleh Deon hanyalah bentuk manipulasi saja. Adiknya menyembunyikan sebongkah kesedihan dalam candanya. 

Daisha yang melihat keceriaan Aileen pagi itu bukannya ikut tertawa, tapi ujung-ujungnya malah sedih.

Aileen dan Daisha berboncengan menuju kampus, selama diperjalanan Aileen kembali hening tidak seperti waktu dia akan berangkat tadi yang ceria.

Meski sudah beberapa kali diajak ngobrol Daisha, Aileen tetap hening dan melamun sepanjang jalan. Kurang lebih sepuluh menit perjalanan, akhirnya Aileen mau bicara tepat di parkiran kampus.

“Nges, nanti siang temenin gue ketemu Olivia!” 

Mendengar ucapan Aileen, Daisha seketika syok bagaimana bisa dia sudah tahu tentang Olivia.

“Tadi malam gue hubungi dia liwat sosmed, ternyata benar dia pacarnya Nevan dan sudah jadian sejak semester awal dan ternyata gue disini orang kedua di hubungan mereka.”

Mendengar penjelasan Aileen, Daisha hanya bisa melongo, hatinya nggak bisa dibohongin ikut greget dan kesal dengan apa yang barusan dia dengar.

Melihat Aileen mulai berkaca-kaca lagi dengan muka memerah, dia paham bahwa kemarahan telah menumpuk di hati sahabatnya itu. 

Daisha berusaha menenangkan Aileen dengan mengajaknya membeli minum di kantin, sebab jam masuk masih lumayan lama.

Aileen mencoba tersenyum dengan hatinya yang remuk etah untuk yang berapa kalinya. Sama seperti yang pernah dilihat Daisha ketika Aileen harus menerima kenyataan tentang Zahir.

***

Perkuliahan pagi, siang dan sore selesai pukul tiga sore dan setelah itu Aileen menarik Daisha untuk menemaninya bertemu Olivia di kantin kampus.

“Siapakah Olivia?”

Daisha sendiri juga masih bertanya-tanya.  

Dengan langkah terburu-buru Aileen mencoba menarik dan menghembuskan napas.

Selama perkuliahan berlangsung tadi, nampak Aileen tidak menunjukkan kesan tenang. 

Raganya benar di kelas tapi pikirannya nggrambyang kemana-mana dan orang-orang yang tidak mengenal Aileen pasti tidak akan ngeh, namun bagi Daisha, Elina, Ghina, Iva, Genta, dan Brian mereka tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh Aileen.

“Ai, janganlah lo lari-lari kek gini! Maksud gue, iya lo boleh buru-buru pengen cepat ketemu si Oliv, gue tahu lu marah. Tapi, istighfar dulu tenangkah hati lo. Soalnya kalau apa-apa pake amarah yang ada nggak akan kelar masalahnya.”

Aileen memperpelankan langkah dan menarik napas, membuang napas sambil baca istighfar.

“Nges, posisinya gue disini itu ketiga lho. Gue jadi orang ketiga mereka. Gue nih malu banget sebenarnya ngadepin Oliv, tapi ya bagaimana ini harus diluruskan. Nevan harus banget milih gue atau Oliv, nggak bisa dua-duanya kek gini.”

“Kalau Nevan lebih milik Oliv?”

Tatapan Aileen tajam setelah mendengar apa yang dikatakan Daisha. Aileen meninggalkan Daisha yang masih menatap menunggu jawabannya.

Sampai di kantin kampus, Aileen melihat ke penjuru arah dan menemukan satu wanita dan itu adalah Olivia. 

Aileen mendekat dan Daisha menunggunya di meja yang agak jauh.

“Kenapa hal ini harus terjadi sama lo sih Ai? Padahal lo baru saja merasakan bahagia dan bisa menutup luka lama. Namun … Gue nggak tega lihat kondisi lo Ai.”

Daisha menatap dalam langkah setiap langkah berat Aileen yang berusaha mendekati Olivia. Gadis itu belum sadar dengan kehadiran wanita yang juga pacar dari pacarnya.

“Olivia pasti juga begitu sedih dan kecewa, wajah dan air matanya jelas menggambarkan semuanya. Kenapa ada laki-laki buruk seperti ini yang hadir di hidup dua wanita yang tidak berdaya itu?”

Daisha prihatin, memandang Olivia dari kejauhan.

Terlihat Olivia perlahan menyeka air matanya juga. Sama seperti Aileen yang dalam langkahnya juga menyeka air mata. 

Daisha hanya bisa melihat dari kejauhan, sesekali Daisha menahan diri supaya lebih tenang dalam kondisi yang real ada di depan matanya itu.

SWASTAMITA apakah kini kau sedang tidak bercanda lagi dengan Aileen?

[1] jangan melihat manusia dari luarnya saja, siapa tahu luarnya malaikat dalamnya ular

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status