Share

Jenuh

Sepeninggal suaminya, Zahra memilih untuk membereskan kamar. Sebenarnya kamar itu sudah rapi, sangat rapi malah. Namun karena tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan, ia mencoba menata ulang kamar tersebut. Mengganti sprei dan sarung bantalnya, mengganti korden, dan apapun yang bisa ia lakukan. 

Kegiatan itu lumayan bisa membunuh waktu sehingga kejenuhan yang mendera bisa terobati. Terbiasa bekerja di kantor, berdiam diri di rumah sangat membosankan. Terlebih segala sesuatu di sini dikerjakan pembantu, Zahra nyaris tak memiliki aktivitas selain melayani suaminya. Namun ketika sang suami keluar seperti saat ini, ia bingung mau melakukan apa. Ingatkan dia untuk meminta izin kembali bekerja. 

Di saat gadis itu hendak mendudukkan dirinya di sofa sambil menonton TV, gawainya berdering. Nama Intan, teman sekantornya terpampang di layar depan handpondnya. 

"Assalamualaikum, Tan."

[Ya ampun, Ra ... kenapa mengundurkan diri nggak bilang-bilang, sih? Jahat banget, kamu]

"Sorry, Tan, semuanya serba mendadak. Aku juga nggak ada niat buat mengundurkan diri sebenarnya." 

Terbersit penyesalan di dada Zahra ketika mengingat ia sudah tak lagi bekerja di kantor yang membuatnya nyaman. Jarang ada perusahaan yang menerima karyawan yang memakai pakaian syar'i seperti dirinya. Rata-rata setiap perusahaan memberlakukan peraturan untuk karyawan perempuan memakai pakaian rapi dan berpenampilan menarik. Tentu memakai gamis dan kerudung besar bukan termasuk di dalam kategori tersebut. 

[Ra, kok diam, sih? Kamu masih di sana, 'kan?]

"I--iya, masih. Itu ... suamiku yang mengurus semuanya. Aku tidak diperbolehkan bekerja lagi," balas Zahra akhirnya. 

[Hah, suami? Kamu udah nikah?]

Sesaat tidak terdengar suara apapun dari seberang telepon. Sepertinya gadis bernama Intan itu shock mendengar kabar pernikahan Zahra. Memang Zahra tidak memberitahu kepada teman-temannya kalau dia keluar karena menikah. Semuanya terkesan buru-buru, sehingga tak ada kesempatan baginya untuk mengatakan pada rekan sekantornya.

"Tan, Intan, kamu masih di sana?"

[Ih, kok kamu jahat banget sih, Ra? Menikah gak bilang-bilang! Sama siapa? Pak Andika, ya? Pantesan dua hari ini beliau gak datang]

Kini giliran Zahra yang bengong. Bagaimana bisa sahabatnya menyimpulkan demikian? Padahal dia tahu kalau Zahra tidak pernah dekat dengan lelaki manapun sebelumnya termasuk orang yang disebutkannya. Terlebih Pak Andika adalah seorang general manager perusahaan tempatnya bekerja dulu. Sangat tidak mungkin menurut Zahra.

"Jangan ngaco kamu, Tan. Pak Andika mana mau saya aku?"

[Jadi bukan sama Pak Andika?]

Zahra menghembuskan napas beratnya. Dari mana Intan punya pikiran seperti itu? Dasar aneh. 

Keduanya berbincang cukup lama. Bahkan Intan rela menghabiskan separuh waktu istirahatnya untuk teleponan dengan Zahra demi memuaskan rasa keponya yang meronta. Padahal, gadis yang selalu bersama Zahra itu paling anti menyia-nyiakan waktu istirahatnya. Banginya, itu adalah kesempatan emas untuk makan dan merelaxkan saraf-sarafnya yang kaku ketika diporsir di depan komputer. 

Tanpa Zahra ketahui, aktivitasnya berbincang dengan teman di telepon membuat seseorang meradang. Terlebih melihat raut bahagia dan senyum yang sesekali terpampang di wajahnya. 

"Apa dia selalu tebar pesona pada siapa saja?" gumam pria berwajah tampan itu dengan tatapan tajam menyorot laptop di hadapannya. 

"Cari tahu dengan siapa dia telepon! Saya nggak suka barang yang sudah saya bayar mahal diincar oleh orang lain," ucapnya datar pada salah seorang anak buahnya.

"Baik, Pak." 

Sepeninggal anak buahnya, pria dengan manik cokelat madu itu menggeram kesal. Membayangkan gadis yang ditatapnya melalui layar monitor berbicara dengan laki-laki lain. 

"Tunggu hukuman apa yang akan kamu dapatkan nanti, gadis nakal," ucapnya dengan senyum smirk yang mengerikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status