Kalang kabut.Hal itulah yang dialami Yasmen pagi itu. Bangun kesiangan, akibat begadang menikmati malam. Kalimat tidur cepat yang diutarakan Byakta malam tadi, ternyata tidak bisa pegang sama sekali. Tidak hanya Byakta, tapi Yasmen pun tidak kuasa menolak setiap sentuhan yang diberikan sang suami, hingga ia melupakan semua hal yang akan terjadi keesokan paginya.Alhasil, keduanya benar-benar melepas rindu hingga tidak tahu waktu.“Bee! Naik motor aja, ya!” pinta Yasmen sambil menyantap roti bakar yang ada di tangan. Ia tidak sempat duduk untuk sarapan, karena takut terlambat datang ke kediaman Pras. Bukan hanya Yasmen, tapi sang suami pun terpaksa tidak sarapan seperti biasanya. “Entar, sampe sana Mas Bee pinjam mobil ayah atau enda berangkat ke kantornya. Soalnya bakal telat ini, kalau kita naik mobil ke rumah ayah.”“Aku sudah bilang, nggak usah dandan.” Meskipun Byakta juga kesiangan, tapi ia masih bisa lebih santai daripada Yasmen. Byakta sudah terlihat rapi, dan tinggal menunggu
“Aku sudah mandi,” kata Yasmen sambil memasuki kamar Mai dengan berlari kecil. Ia menghampiri boks bayi, lalu menurunkan satu sisi pagarnya untuk membawa Rara ke dalam gendongannya.Hari kedua bekerja dengan Pras, ternyata tidaklah seburuk itu. Yasmen hanya harus membiasakan diri dengan kedisiplinan Pras yang terlalu ketat, dan tidak boleh lengah sedikit saja. Sangat jauh berbeda dengan didikan Bira yang sangat longgar dan memanjakan Yasmen sejak kecil.Mai memberi lirikan tajam pada Yasmen yang sudah membawa Rara. Gadis itu berjalan ke arahnya, lalu menidurkan Rara dengan perlahan tepat di tengah tempat tidur.“Kalau sampai Rara bangun terus rewel, kamu yang tidurin!” desis Mai lalu merebahkan diri di samping putrinya.“Tinggal kasih dot.” Yasmen terkikik sambil mengusap pipi dengan perlahan. “Entar biar aku yang pegangin dotnya.”Mai berdecak, lalu menoleh pada Yasmen yang hidupnya selalu saja ceria. Setiap bertemu Yasmen, Mai selalu melihat gadis itu tersenyum riang. Andaipun berse
“Hapeku …”Saat mobil Byakta baru saja berhenti di pekarangan rumah, Yasmen baru teringat jikalau ponselnya masih berada di tangan Pras. Karena ingin buru-buru pulang, Yasmen sama sekali tidak mengingat perihal ponselnya sama sekali.“Hapemu kenapa?” Byakta mematikan mesin mobil, kemudian melepas sabuk pengamannya sambil menatap sang istri yang tengah sibuk merogoh tas kerjanya.“Masih sama ayah.”“Ya sudah.” Byakta memutar tubuh untuk membuka sabuk pengaman Yasmen, dan memastikan pengaitnya kembali ke tempat semula tanpa mengenai tubuh istrinya. “Memangnya kamu mau nelpon siapa? Kalau papi, sama mami, kamu bisa pake hapeku.”“Nggak ada, sih.” Ucapan Byakta sepenuhnya benar, tapi, rasanya ada yang kurang jika Yasmen tidak memegang ponselnya ketika berada di rumah. Karena sepanjang jalan terlalu asyik menceritakan kisahnya bekerja dengan Pras, maka Yasmen baru teringat hal tersebut ketika sudah sampai di rumah. “Tapi rasanya aneh aja kalau nggak pegang hape. Apalagi seharian aku nggak
“Hun, dokter kandungannya nanti praktek jam tujuh malam,” ujar Byakta setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh mami mertuanya. “Dapat nomor antrian sembilan. Jangan telat, kalau nggak, nanti dilewati jadi ngantri belakangan.” Yasmen botol serum wajah yang baru dipakainya di meja rias. Ia menatap Byakta dari pantulan cermin sambil memberengut. Sejak kemarin sore, masalah dokter kandungan sudah membuat kesal hati Yasmen karena Bira tidak memberi akses khusus padanya. “Mami sama papi itu kayak nggak sayang lagi sama aku. Padahal mereka punya link biar kita nggak usah pake antri, tapi malah begitu.” Sejauh ini, Yasmen sudah menuruti semua titah yang dilontarkan oleh Bira, maupun Pras. Namun, mereka semua masih saja tidak berbaik hati pada Yasmen sama sekali. “Sudahlah, ikutin aja.” Byakta tidak mungkin bisa membantah, dan hanya bisa menurut dengan ucapan mertuanya. Karena Byakta tahu, Bira melakukan semua itu agar Yasmen bisa mengerti dengan kesusahan orang lain dan mengurangi sifat
“Hati-hati.” Yasmen melambai dengan wajah cemberut pada Sila, yang hendak memeriksakan kandungannya sore itu. Tidak hanya pada Sila, tapi Yasmen juga menampilkan wajah tertekuknya itu pada Sinar yang berdiri di sebelahnya. “Endaaa!”“Apa?” Bila Yasmen sudah merengek seperti ini, pasti gadis itu akan meminta sesuatu padanya. “Mau minta apa?”Yasmen menunjuk Sila yang baru saja memasuki mobil. “Sila periksa hamil pake jalur VVIP, kenapa aku nggak dibolehin?”“Siapa yang nggak ngebolehin?” Sinar meraih bahu Yasmen dan membalik tubuhnya. Ia membawa gadis itu kembali masuk ke dalam rumah, dan menunggu Byakta di dalam.“Papi. Tapi, pasti ada ayah juga di belakangnya, kan?” tebak Yasmen dengan seluruh keyakinannya. “Aku sekarang itu kayak anak tiri. Nggak disayang sama sekali.”Sinar tersenyum dan menahan tawanya sekaligus. “Kalau nggak disayang, nggak mungkin mamimu ngingatkan buat konsul? Nggak mungkin sampai didaftarin ke dokter kandungan.”“Tapi, kan, bisa pake jalur dalam, Ndaaa!” Yasme
Begitu keluar dari ruang praktek dokter, Yasmen langsung bergidik. Ia meraih tangan Byakta, lalu segera mengajak sang suami untuk menebus resep di apotek rumah sakit.“Aku nggak mau lagi di USG kayak tadi,” ujar Yasmen bukan bermaksud mengeluh. Sejak Byakta mengancam akan tidur di kamar tamu, Yasmen lebih berhati-hati ketika mengeluarkan kata-kata, apalagi saat keduanya antre menunggu giliran periksa. Suka tidak suka, Yasmen harus menunggu giliran dan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. “Kalau yang di perut nggak papa, tapi kalau yang dimasukin tadi itu, rasanya nggak enak banget. Aku nggak mau lagi.”“Dokternya sudah nyuruh relaks, tapi kamunya malah tegang.” Byakta mengajak Yasmen berbelok, lalu menghampiri kursi tunggu di depan apotek yang tampak ramai.Hasil pemeriksaan Yasmen beberapa saat yang lalu, baik-baik saja dan tidak ada masalah sama sekali. Mereka hanya tinggal berusaha, dan menyerahkan hasilnya pada keputusan Tuhan. Lagi pula, mereka juga baru menikah, jadi tidak
“Kenapa?”Byakta baru saja keluar dari walk in closet, dan melihat Yasmen duduk ujung tempat tidur sambil bersedekap. Kedua kaki jenjang yang memakai celana pendek itu menyilang, dan terlihat begitu seksi di mata Byakta. Namun, jika dipikir lagi Yasmen memang selalu memakai pakaian kurang bahan seperti itu ketika di rumah. Tidak pernah, tidak.Yasmen akan selalu memamerkan seluruh lekuk tubuhnya, dan untungnya hal tersebut hanya dilakukan sang istri ketika berada di rumah mereka. Yasmen bisa berpakaian sedikit sopan, ketika berada di rumah orangtua Byakta, ataupun di rumah Bira. “Jadi tidur di kamar tamu, kan?” Yasmen mengerling manja, lalu menunjuk ke arah pintu dengan dagunya. “Tolong tutup pintunya kalau keluar.” Byakta yang masih tampak segar karena baru saja selesai mandi segera menghampiri sang istri. Ia duduk di sebelah Yasmen, dan terdiam sebentar menatap suguhan yang tidak pernah bosan untuk di santap, yakni tubuh istrinya. “Katanya mau punya bayi seperti Rara, tapi kenapa
“Berhenti!” Yasmen menahan dada Byakta yang mengikutinya sejak tadi. Mendorongnya sekuat tenaga, agar pria itu menjauh dari dirinya. “Jangan diikutin, aku mau masak!”“Justru itu.” Byakta kembali menipiskan jarak. “Aku mau lihat kamu masak. Jaga-jaga, siapa tahu kamu curang, dan minta bu Susi yang bikin capcai.”Akhirnya, setelah seminggu bekerja dengan tegang bersama Pras, Yasmen bisa menikmati hari libur pertamanya. Sungguh hal sangat menyenangkan, melebih hari libur yang didapatnya ketika masih bekerja di Casteel High.“Nggak!” sanggah Yasmen yang memang sudah berniat memasak untuk Byakta. Sesuai ucapannya tempo hari, Yasmen akan membuat capcai untuk sang suami. Tidak hanya itu, Yasmen juga akan mencoba membuat ayam goreng, serta mi goreng seperti permintaan Byakta. “Aku yang masak sendiri. Bu Susi cuma bantu.”Bahu Byakta terangkat sebentar. Ia tetap tenang, dan tidak mengacuhkan ucapan Yasmen sama sekali. Byakta justru meraih pinggul sang istri lalu membaling tubuhnya. Detik beri