Damar mengernyit saat mendengar permintaan atasannya yang sangat tidak biasa. Ia diminta membeli bunga mawar berwarna pink sebanyak 99 tangkai. Andai saja Damar tidak mengetahui kondisi Hans yang tengah dipengaruhi oleh hormon kehamilan Diandra, sudah pasti ia akan menertawakan atasannya tersebut. Selain menjadi atasannya, Hans juga merupakan sahabatnya. Persahabatannya memang tidak sedekat antara hubungan Hans dengan Felix, mengingat perbedaan status mereka.
Damar menyadari jelas posisi dan statusnya. Ia hanyalah seorang anak asisten rumah tangga yang sangat beruntung diizinkan tinggal di kediaman keluarga Narathama. Sebelumnya ia tinggal bersama ayahnya yang menderita gagal ginjal di sebuah kontrakan kecil, sedangkan ibunya bekerja di kediaman orang tua Hans sebagai asisten rumah tangga. Awalnya orang tua Hans beberapa kali meminta ayahnya agar bersedia tinggal di salah satu paviliun keluarga Narathama yang letaknya di belakang kediaman utama, tapi sang ayah menolaknya karena merasa tidak pantas. Oleh karena itu, ibunya pun diizinkan pulang setelah menyelesaikan tugasnya agar bisa merawat ayahnya, berbeda dengan asisten lainnya yang harus tinggal di kediaman tersebut. Meski pernah mendapat penolakan dari ayahnya, tapi orang tua Hans tetap membantunya, terutama biaya pengobatan untuk sang ayah.
Sejak ayahnya meninggal, Damar dan ibunya akhirnya menyetujui permintaan majikannya untuk tinggal di kediaman Narathama. Bahkan, orang tua Hans juga membantu membiayai pendidikannya hingga jenjang universitas. Setelah lulus pun, ia diizinkan bekerja di perusahaan Narathama, dan kini dipercayai menjadi asisten Hans.
“Ada lagi yang Anda inginkan, Tuan?” tanya Damar sebelum mencari bunga mawar pink seperti permintaan Hans.
“Harus berapa kali aku mengingatkan dan mengatakannya padamu, Dam?” Hans menatap Damar tajam. “Berhenti berbicara formal padaku, dan jangan memanggilku dengan embel-embel Tuan jika kita hanya berdua. Mengerti?!” tegasnya ketika melihat Damar mengernyit.
Bukannya takut melihat tatapan tajam dan mendengar peringatan Hans, Damar malah terkekeh. “Baiklah, baiklah. Kalau begitu maafkan aku,” pintanya.
Damar tidak ingin membuat mood Hans jelek karena ia mendebatnya. Mengingat mereka masih berada di lingkungan kantor, makanya ia tetap berbicara formal dan memanggil Hans dengan sebutan Tuan. Hal itu ia lakukan untuk menunjukkan rasa hormatnya kepada atasan.
“Aku pergi sekarang, Hans,” pamit Damar sebelum Hans berubah pikiran dan permintaannya semakin aneh.
Hans mengangguk. “Cepat kembali,” perintahnya tegas yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Damar.
Setelah Damar menghilang di balik pintu ruangannya, Hans kembali melanjutkan pekerjaannya memeriksa laporan di atas mejanya yang sempat tertunda. Meski pening di kepalanya hilang muncul, tapi ia tetap memeriksa hasil pekerjaan Damar. Entah kenapa hari ini ia sangat ingin melihat bunga mawar berwarna pink menghiasi ruangannya, terutama meja kerjanya. Jumlahnya pun harus 99 tangkai.
Sebagai pewaris tunggal dari Narathama Corporation, Hans mengambil alih tanggung jawab perusahaan yang bergerak di bidang real estate dan property tersebut semenjak ayahnya meninggal lima tahun lalu. Meski tugas yang diembannya berat, Hans selalu mempunyai jalan keluar ketika kesulitan dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya menghampiri, sebab mendiang sang ayah telah melatihnya. Selain itu, sang ibu dan beberapa orang kepercayaan mendiang ayahnya juga banyak membantunya.
***
Setelah urusannya selesai di butik bersama Santhi, Diandra mampir ke kampusnya untuk melihat persiapan fashion show dalam rangka memeriahkan hari wisudanya nanti. Meski Diandra banyak mempunyai teman dan merupakan tipe orang yang mudah bergaul, tapi ia sangat tertutup dengan kehidupan pribadinya. Makanya, teman-teman kampusnya tidak ada yang mengetahui mengenai pernikahan dan kondisinya kini. Selain ia tidak mengundang teman-temannya, pesta pernikahannya pun dilangsungkan secara tertutup, hanya teman dekat dan relasi kedua belah pihak keluarga yang menjadi undangannya. Namun demikian, bukan berarti salah satu dari teman-temannya tidak ada yang mengendus atau mengetahui mengenai pernikahannya tersebut. Buktinya, kini Diandra mendengar beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik ketika melihat kedatangannya, tapi ia tidak menggubrisnya.
“Kira-kira bagaimana ya rasanya menjadi menantu seorang desainer ternama?”
Diandra pura-pura tidak mendengar celetukan Monica, salah satu penghuni kampus yang lebih suka menghabiskan waktu untuk bergosip dibandingkan membuat desain. Sehingga menurutnya, Monica lebih cocok menjadi host acara gosip dibandingkan seorang desainer.
“Mentang-mentang status dan derajatnya sudah naik ke tingkat yang jauh lebih tinggi, sekarang jadi sombong ya?”
Diandra hanya mendengkus mendengar kembali celetukan Monica. Meski kini menjadi pusat perhatian oleh orang-orang di sekitarnya gara-gara celetukan Monica, Diandra tidak merasa terganggu. Dengan tetap tenang ia berjalan menuju ruangan yang digunakan untuk mempersiapkan acara fashion show wisudanya.
“Dee,” panggil Ratih, salah satu teman akrab Diandra yang juga datang ke kampus untuk melihat persiapan acara wisuda mereka. Meski mereka berteman, tapi tidak sedekat dengan Sonya.
Diandra menoleh dan tersenyum tipis menanggapi panggilan Ratih. “Kamu baru datang atau sudah mau pulang?” tanyanya ketika memerhatikan wajah Ratih yang terlihat lelah.
“Tentu saja aku baru datang,” jawab Ratih sambil mereka melanjutkan langkahnya menuju ruang persiapan. “Mumpung satu arah, jadi aku mampir saja ke sini,” sambungnya.
“Memangnya kamu dari mana?” tanya Diandra kembali.
“Aku dari sebuah kantor majalah fashion untuk menandatangani kontrak kerja. Kantor majalah yang kamu rekomendasikan waktu itu. Aku diterima di sana setelah lulus menjalani serangkaian persyaratan,” beri tahu Ratih. “Terima kasih ya, Dee,” ujarnya.
“Aku turut senang mendengarnya, Tih. Selamat ya dan semoga kelak kamu menjadi seorang fashion photographer yang profesional,” ucap Diandra tulus yang langsung diangguki oleh Ratih.
“Dee, aku dengar Monica dan pasukan nyinyirnya tengah membicarakan mengenai pernikahanmu,” ucap Ratih hati-hati.
“Biarkan saja mereka membicarakanku sepuasnya. Kalau mulut mereka sudah lelah, tanpa disuruh pun pasti akan berhenti,” Diandra menanggapinya dengan santai.
Ratih memberikan dua jempol tangannya atas sikap Diandra. “Dee, aku pikir kamu tidak akan menghadiri wisuda karena masih asyik berbulan madu,” celetuknya. “Jangan-jangan kalian belum berbulan madu ya?” tanyanya penasaran.
Ratih memang terkejut ketika pertama kali mendengar kabar pernikahan temannya ini. Setahunya Diandra tidak pernah terlihat menjalin hubungan dengan lawan jenis, apalagi sekelas putra seorang desainer ternama.
Diandra hanya mengendikkan bahunya. “Siapa juga yang ingin berbulan madu dengan laki-laki itu,” jawabnya dalam hati.
“Usai wisuda saja kalian berbulan madu sepuasnya. Lagi pula bulan madu tidak terlalu penting, asalkan malam pengantinnya jangan sampai terlewatkan.” Ratih Mengedipkan sebelah matanya setelah melihat reaksi Diandra atas pertanyaannya. Ia terkekeh ketika Diandra memelototinya. “Dee, bagaimana rasanya setelah menikah?” tanyanya kembali tanpa terintimidasi sedikitpun.
Ingin rasanya Diandra membekap mulut Ratih agar berhenti menanyakan seputar pernikahannya, tapi tidak mungkin ia melakukannya. Ia memang mengetahui jika Ratih mempunyai impian ingin menikah muda. “Menurutku biasa saja,” jawabnya jujur.
Untung saja mereka sudah sampai di ruang persiapan, jadi keduanya langsung berbaur dengan teman-teman yang lain, sehingga Ratih tidak mempunyai kesempatan bertanya lagi kepada Diandra.
***
Diandra yang sudah segar sehabis membersihkan diri sepulangnya dari kampus, kini tengah berkutat di dapur membuat nugget ayam. Ia tidak sendirian di dapur, melainkan ada Bi Harum juga yang tengah sibuk memasak untuk makan malam. Sambil menunggu nugget ayamnya yang masih dikukus matang, Diandra membuat jus alpukat untuk melepas dahaganya. Selain diminumnya sendiri, ia juga membuatkan untuk Bi Harum.
“Sudah lama bekerja di kediaman Narathama, Bi?” tanya Diandra setelah memberikan Bi Harum segelas jus alpukat buatannya. “Silakan diminum, Bi,” suruhnya.
“Terima kasih, Nyonya.” Meski merasa tidak enak hati, tapi Bi Harum tetap menerima jus alpukat buatan Diandra. “Sudah, Nyonya. Lebih tepatnya sejak Tuan Hans masih kecil,” jawabnya jujur dan mulai mencicipi jusnya.
Diandra manggut-manggut. “Pantas Bibi terlihat biasa saja ketika menghadapi sikap laki-laki itu. Sudah hafal ternyata,” ucapnya frontal.
Bi Harum hanya menyunggingkan senyum mendengar ucapan frontal Diandra. “Nyonya, besok-besok kalau menginginkan sesuatu biar Bibi saja yang membelikannya. Bibi kasihan melihat Nyonya seperti tadi,” ujarnya mengalihkan topik pembicaraan.
Diandra terkekeh dan tetap menikmati jus buatannya. “Tidak apa, Bi. Lagi pula jarak antara mini market dan rumah cukup dekat, jadi berjalan kaki sebentar tidak akan membuatku kelelahan,” ucapnya menenangkan.
“Keadaan Nyonya kini tengah hamil muda, apalagi tadi matahari masih lumayan terik. Bibi hanya khawatir Nyonya pingsan di jalan.” Bi Harum yang tadi tengah menyapu halaman terkejut melihat kedatangan Diandra bercucuran keringat. Setelah ditanya, ternyata Diandra berjalan kaki dari mini market menuju rumah seusainya membeli buah alpukat.
Diandra mengangguk, mengerti kekhawatiran Bi Harum. “Baiklah, Bi. Besok-besok aku akan bilang pada Bibi jika butuh sesuatu,” putusnya tanpa ingin memperpanjang urusan yang menurutnya sepele. “Ngomong-ngomong, sekarang Bibi mau masak apalagi?” tanyanya ketika melihat Bi Harum kembali meracik bumbu.
“Udang saus tiram, Nyonya. Tadi sebelum berangkat ke kantor, Tuan meminta Bibi membuat masakan berbahan dasar udang sebagai menu makan malam. Bibi harap Nyonya juga menyukainya,” harap Bi Harum.
Dengan penuh rasa bersalah Diandra menggeleng. “Maaf, Bi,” pintanya pelan. “Aku alergi udang, jadi tidak mungkin untuk memakannya,” imbuhnya menjelaskan.
Bi Harum terkejut mengetahui keadaan Diandra. “Kalau begitu setelah menyelesaikan masakan ini, Bibi akan membuatkan menu makanan yang lain untuk Nyonya.”
“Tidak usah, Bi. Aku sudah membuat nugget ayam dan sebentar lagi juga matang,” Diandra menolak tawaran Bi Harum. “Lagi pula aku jarang mengonsumsi nasi saat makan malam,” sambungnya.
Bi Harum mengerutkan kening mendengar perkataan Diandra. “Bibi sarankan sebaiknya Nyonya jangan diet, apalagi dalam keadaan tengah hamil. Tidak baik untuk kesehatan Nyonya sendiri dan janin,” Bi Harum menasihati.
Diandra tertawa mendengar nasihat Bi Harum. “Dari dulu aku tidak pernah diet, Bi. Apalagi dengan keadaanku seperti sekarang, sangat tidak mungkin bagiku untuk melakukannya. Sejak menginjak remaja aku memang jarang mengonsumsi nasi, terutama saat sarapan dan makan malam,” akunya jujur. “Mungkin karena aku tidak mengalami fase ngidam, jadi kehamilanku ini tidak memengaruhi pola makanku, Bi,” lanjutnya memberi penjelasan.
Bi Harum mengangguk setelah mendengarkan penjelasan Diandra. Obrolan mereka terhenti ketika mendengar deru mesin mobil memasuki halaman rumah. “Sepertinya Tuan sudah pulang, Nyonya,” beri tahunya.
Diandra memeriksa nugget ayamnya yang masih dikukus setelah menanggapi pemberitahuan Bi Harum dengan anggukan kepala. Ia langsung mematikan kompor saat mengetahui nugget ayamnya sudah matang. Ia akan mendinginkan nugget ayamnya sebentar supaya tidak panas saat dipotong-potong dan dibaluri tepung roti sebelum digoreng.
***
Bi Harum yang tengah menyiapkan hidangan di atas meja makan terkejut ketika mendengar perintah Hans. Begitu juga dengan Diandra yang baru saja selesai menggoreng beberapa potong nugget ayamnya, sedangkan sisanya ia taruh di kulkas. Bagaimana tidak, mereka mendengar Hans memberi perintah kepada Damar agar menaruh bunga mawar berwarna pink yang dibawanya ke ruang kerjanya. Yang lebih mengejutkan mereka adalah jumlah bunga tersebut. Bi Harum mengangguk pelan saat melihat Damar hanya mengendikkan bahu sebelum menaiki anak tangga menuju ruangan yang dimaksud. Sementara Hans langsung menuju kamarnya untuk membersihkan diri sebelum makan malam.
“Ada apa dengan Tuan, Dam?” Bi Harum langsung bertanya kepada Damar yang telah selesai menjalankan perintah Hans dan kini tengah meminta air minum.
“Ngidam, Bu,” jawab Damar sebelum meminum air yang diberikan Bi Harum. “Apakah Nyonya bersikap baik pada Ibu?” bisiknya karena takut didengar oleh Diandra, meski yang dibicarakan tersebut kini tengah berada di kamarnya sendiri.
“Baik, Nak. Nyonya orangnya mandiri dan jarang meminta bantuan atau menyuruh Ibu,” jawab Bi Harum sekaligus ibu kandung Damar dengan jujur. “Kamu sudah makan malam, Nak?” tanyanya.
Damar menggeleng. “Setelah Tuan dan Nyonya selesai saja, kita makan malam bersama, Bu,” ajaknya. “Nyonya tidak menemani Tuan makan, Bu?” tanyanya ingin tahu setelah Bi Harum menyetujui ajakannya.
“Nyonya dan Tuan tidak pernah duduk bersama di meja makan,” beri tahu Bi Harum dengan ekspresi sedih. Mereka memang mengetahui alasan Hans dan Diandra menikah, tapi tetap saja keduanya menginginkan rumah tangga majikannya bahagia.
Bi Harum dan Damar menghentikan obrolan ketika melihat Hans berjalan ke arah meja makan. Tidak ingin mengganggu ibunya menjalankan tugas, Damar pun memilih menyiram tanaman yang ada di halaman dan taman samping rumah.
Kehamilan kedua Diandra kini telah berusia tujuh bulan. Jika sesuai dengan perkiraan dokter, maka dua bulan lagi Diandra akan melahirkan anak keduanya. Diandra merasakan perbedaan yang sangat mencolok antara kehamilannya yang sekarang dengan sewaktu mengandung Hara. Saat mengandung Hara dulu, ia masih bisa leluasa bergerak walau kandungannya sudah tergolong tua. Namun, kini yang terjadi adalah kebalikannya. Selain nafsu makannya yang meningkat drastis, ia pun sekarang tergolong pemalas, termasuk dalam urusan berdandan. Jika saat mengandung Hara dulu Diandra sangat suka menggunakandressbermotif, tapi tidak dengan sekarang. Pada kehamilannya sekarang ia lebih suka dan nyaman menggunakanjumpsuittanpa motif. Warna-warna yang lebih diminatinya kini pun warna netral, terutamanavy.Kehamilan Diandra kini juga membuatnya sungguh berat membuka mata, apalagi beranjak dari ranjang. Bahkan, sekarang ia sangat mudah sekali mengantuk
Setelah permintaan maaf Hans saat Hara demam, hubungan Diandra dengan suaminya tersebut kembali seperti sedia kala. Kini sudah dua bulan Diandra dan Hans mempekerjakan seorangbabysitteruntuk Hara, sejauh ini kinerjanya pun terlihat memuaskan. Walau Hara terlihat nyaman dengan Fitri,babysitter-nya, tapi Diandra dan Hans tetap ikut mengawasi putrinya tersebut. Dengan adanya Fitri, Diandra menjadi sangat terbantu. Contohnya saat mengajak Hara bertemu dengan klien, karena sudah ada Fitri yang akan menemani anaknya tersebut. Namun, hari ini Diandra terpaksa harus membawa Hara ke kantor suaminya karena Fitri tengah pulang kampung, sedangkan dirinya ada pertemuan penting dengan salah satu klien eksklusifCatharina Queen.Setelah usai bertemu dengan klien dan menyelesaikan urusan lainnya, Diandra langsung melajukan mobilnya kembali ke kantor Hans guna menjemput Hara. Ia sangat berharap Hara tidak merecoki Papanya b
Sejauh ini liburan Hans bersama Diandra dan Hara di pulau Lombok berjalan lancar. Hans sangat menikmati setiap kebersamaannya dengan istri dan sang anak. Dari bangun tidur hingga matanya terpejam kembali, ia bersama istri dan anaknya tak pernah berjauhan. Selain itu, Hans juga berhasil membujuk Diandra agar mempekerjakan seorangbabysitteruntuk Hara. Setelah kembali ke Jakarta nanti, ia dan Diandra akan mendatangi yayasan penyalurbabysitteryang terdidik serta terlatih untuk dipekerjakan. Selama enam hari berada di Lombok Hans bersama keluarga kecilnya sudah banyak mengunjungi tempat wisata, tentu saja yang aman untuk Hara. Selesai makan siang nanti ia sudah harus mengajak istri dan anaknya kembali ke Jakarta, mengingat waktu liburan mereka telah usai.Berhubung Hara telah bangun, Hans dan Diandra akan mengajak buah hatinya tersebut berenang sambil menikmatifloating breakfast. Hans memang sengaja mencari vil
Diandra tak pernah mengetahui cerita rumah tangganya akan seperti apa dan bagaimana. Yang ia lakukan hanyalah menjalani sekaligus menikmati setiap kebersamaan dengan suami, anak, dan keluarganya. Dalam hidupnya kini tak ada yang lebih penting dari kebersamaannya dengan suami dan anaknya. Walau mendapat dukungan penuh dari Hans untuk dirinya menjadi wanita karier, tapi ia tetap harus memprioritaskan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu. Kedua tugas tersebut sudah menjadi harga mati dalam hidupnya, terutama tumbuh kembang sang buah hati. Ia tidak ingin keegoisan menghancurkan keharmonisan rumah tangganya, merenggut tawa bahagia sang anak dan suaminya.Diandra terkejut sesaat ketika sepasang tangan tiba-tiba meremas penuh kelembutan kedua pundaknya. Ia menerima kecupan di bibirnya setelah mendongak untuk melihat wajah suami tercintanya di belakang tubuhnya yang sedang berkutat dengansketchbook. Diandra memejamkan mata saat menerima pijatan lembut d
Tidak terasa sudah enam bulan Diandra dan Hans menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya. Walau Hans dan Diandra sepakat menunda memberikan adik kepada Hara, bukan berarti tidak ada agenda percintaan dalam hari-hari mereka menjalani kehidupan sebagai suami istri. Sejak itu pula Hans membuat kamar pribadinya bersama Diandra menjadi kedap suara.Seperti sekarang, cucuran keringat telah membasahi tubuh Diandra dan Hans setelah keduanya berhasil meraih puncak pelepasan bersama, sekaligus menyudahi kegiatan panas mereka dalam menggapai kenikmatan. Lenguhan pelan Diandra terdengar saat Hans memutuskan untuk melepas penyatuan bagian bawah tubuh mereka secara perlahan. Hans menghela napas, kemudian menjatuhkan tubuhnya di samping sang istri. Dengan sisa tenaganya, Hans menarik tubuh Diandra dan membawa ke dalam dekapannya. Tidak lupa ia juga mendaratkan kecupan penuh kelembutan di kening dan bibir sang istri, sebagai ungkapan rasa terima kasihnya atasservice
Berhubung hari ini Hans tidak pergi ke kantor, ia mengambil alih tugas Diandra dalam mengurus Hara. Seusai memandikan dan mendandani Hara, ia menemani sang buah hati bermain sambil menunggu kedatangan istrinya dari membeli kebutuhan rumah tangga bersama Lavenia. Awalnya, ia menawarkan diri ingin mengantar sekaligus menemani Diandra berbelanja, tapi tawarannya tersebut ditolak oleh istrinya dengan alasan Hara tidak ada yang menjaga di rumah. Sebenarnya Hara bisa saja mereka ajak, tapi Hans lebih memilih mengalah dan menuruti keinginan sang istri daripada berdebat hanya karena hal sepele.Meski sudah mendapatkan haknya sebagai seorang suami dari Diandra, Hans tetap memegang teguh komitmennya. Ia tidak akan pernah memaksakan keinginannya kepada sang istri. Buktinya, ia menyetujui saat Diandra mengutarakan niatnya ingin memakai kontrasepsi sebagai upaya dalam menunda kehamilan. Bahkan, ia sendiri yang mengantar sang istri ke rumah sakit dan ikut menemui dokter untuk berkonsultasi