Share

BAB 3: Ciuman Sore Itu

Ciuman sore itu.

Untuk orang dewasa, apalagi yang sudah menikah seperti Cakra, seks menjadi kebutuhan biologis yang tidak boleh sampai ‘kekurangan’. Sama seperti kebutuhan makan, minum, istirahat. Seks adalah salah satu kebutuhan biologis yang tidak bisa dilewatkan karena bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Terutama dalam hal psikologis.

Mungkin itu yang terjadi pada Cakra.

Selama menikah dengan Marin, kebutuhan seksualnya selalu tercukupi dengan baik. Di tengah kesibukan pun Marin bersedia melayani suaminya. Sebab, yang memiliki kebutuhan seks tidak hanya laki laki saja, tetapi juga perempuan. Marin menyadari itu dan berusaha untuk melakukan pemenuhan kebutuhan seks tersebut dengan suami tercintanya. Satu sampai dua tahun di awal menikah, kebutuhan seks mereka sama sama terpenuhi. Tak hanya itu, hasrat keduanya seolah tidak pernah pudar. Hampir setiap malam mereka melakukan hubungan seks selayaknya suami istri yang lekat dan intim.

Tetapi setelah bisnis yang dimiliki Marin berkembang semakin besar, semakin banyak pula waktu Marin yang terkuras untuk mengurusi bisnis. Ia sangat kelelahan begitu pulang dari kerja. Cakra yang melihat itu pun merasa iba, dan memilih menahan diri supaya istrinya bisa beristirahat dengan baik. Meski ia memiliki kebutuhan biologis yang perlu dipenuhi, Cakra adalah laki laki yang terdidik dan rasional. Ia tidak akan memaksakan suatu hubungan seksual di saat Marin tidak menginginkannya.

Akibatnya frekuensi hubungan seks mereka berkurang. Terkadang seminggu tiga kali, terkadang hanya dua kali. Terkadang bahkan satu minggu sekali, atau parahnya dua minggu sekali. Jika sampai dua minggu, biasanya tidak cuman karena Marin sibuk mengurusi bisnis, tetapi karena ia sakit karena kelelahan.

Di tahun keempat setelah perkembangan bisnis Marin cukup stabil, intensitas hubungan seksual mereka kembali rekat. Namun, di tahun kelima ini, Marin kembali disibukkan dengan bisnisnya. Hebely, brand kecantikan yang dimiliki Marin, mengembangkan produknya sampai di beberapa lini. Hebely yang awalnya hanyalah produk make up yang didominasi oleh lipstik, palete, dan eye brow, mulai merambat ke produk make up yang lebih kompleks seperti foundation, concelear, bulu mata, dan seperangkatnya. Tidak hanya itu, tetapi bisnisnya juga melebar ke skincare dan body care. Dan sekarang, brand kecantikan Hebely akan merambat ke parfum. Semua itu tentu menyita waktu Marin sangat banyak sampai sampai ia tidak sempat menghabiskan banyak waktu bersama Cakra.

Itu salah satu alasan mengapa Cakra merasakan kekosongan yang begitu sunyi. Kekosongan yang membuatnya murung sepanjang jari. Kebutuhan biologisnya perlu dipenuhi, kalau tidak kepalanya akan pusing dan pikirannya menjadi carut marut serta stres. Hasrat tubuhnya harus disalurkan, jika tidak ia akan merasakan berbagai masalah psikologis, bahkan masalah fisik. Semangat hidup Cakra juga menurun disebabkan semua itu. Ia kurang memiliki semangat untuk melalui hari hari dengan penuh optimis sebagaimana yang dijalani oleh Marin.

Sore itu ia sedang berada di gudang penyimpanan jurnal jurnal lama milik jurusan. Ia sedang mencari sebuah jurnal riset tahun 2000 an untuk kembali dibahasnya di salah satu kelas yang ia ajar. Tentu saja di dalam gudang itu Cakra tak sendirian. Ia ditemani oleh asistennya, Arum, mahasiswa semester lima yang baru ia angkat menjadi asisten dosen untuk meringankan tugasnya di jurusan. Sebab, posisi Cakra saat ini juga merangkap sebagai wakil kepala program studi, yang membuatnya jauh lebih sibuk daripada sekadar menjadi mengajar di kelas kelas.

“Sayang sekali, rekam jurnal sebanyak ini akan dibuang?”

Seorang gadis dua puluh tahun yang sedang membantu Cakra mencari sebuah dokumen jurnal itu menggumam pelan mengamati rak sekeliling yang telah disesaki oleh tumpukan dokumen usang.

“Tidak dibuang. Cuman dipindahkan ke tempat yang lebih besar.” Cakra meluruskan.

“Oh ya? Saya dengar dari Bu Arfin katanya mau dibuang,” jawab Arum sambil menyinggung nama salah seorang dosen pengajar.

“Setiap penelitian sangat berarti buat orang orang akademisi. Kalau pun mau dibuang ke tempat sampah, mestinya sudah disalin duluan, dijadiakn bentuk soft file, lalu diunggah ke drive penyimpanan milik kampus. Yang pasti kampus tidak akan menyia nyiakan jurnal penelitian sebanyak ini.” Cakra menjelaskan sambil terus mencari jurnal yang diingginkannya. Ia berdiri tepat di sebelah gadis berambut hitam lurus yang tingginya di bawah bahu Cakra.

“Oh, begitu rupanya. Terus, yang Bapak cari itu buat apa?” Arum kembali bertanya dengan begitu riangnya.

“Buat bikin soal ujian kelasmu.”

What?!” Arum yang tersentak seketika menoleh dengan menengadahkan kepalanya. Matanya yang bulat tampak bersinar sinar memandang dosennya yang tampan. “Jadi, itu buat bikin soal? Kenapa Bapak nggak bilang dari tadi? Kalau tahu gitu kan saya semangat bantuin carinya!” celetuknya penuh girang, yang seketika membuat Cakra tersenyum heran.

“Kamu tu sangat terobsesi sama nilai akhir ya?” sindirnya.

“Iya, dong! Tanpa nilai yang bagus beasiswa saya bisa dicabut loh Pak. Memannya Bapak mau biayain kuliah saya?” sahut Arum bercanda.

“Kalau gitu cari sampai ketemu dokumennya.”

“Siap, Pak!”

Arum yang hatinya menggebu gebu itu membulatkan tekadnya untuk membantu Cakra menemukan penelitian jurnal itu. Ia mengeluarkan ikat rambut yang menyusup di saku celana jeans nya. Lantas mulai mengikat rambutnya tinggi tinggi supaya bisa lebih ringan mencari dokumen itu.

Saat Arum masih sibuk mengucir rambutnya, tak sengaja Cakra melirik. Ia melihat ke arah Arum yang sedang mengikat rambut panjangnya tinggi tinggi. Melihat lekungan garis leher gadis mungil itu yang terlihat segar dan menggoda. Cakra yang jauh lebih tinggi dari tubuh Arum. Dari posisinya sekarang, lelaki itu bisa melihat lekungan payudara milik Arum yang sore ini memakai kaos oblong (karena sore ini ia cuma datang ke kampus buat bantuin Cakra, bukan untuk ikut kelas kuliahnya).

Lama lama memandangi itu, ada hasrat yang mulai memercik di tubuh Cakra. Rasa hausnya yang belum terpenuhi sebab sang istri yang sibuk bekerja. Melihat sesuatu seperti itu membuat tubuh Cakra seketika bereaksi.

Tetapi ia segera mengembalikan kesadaran otaknya. Ia tahu apa yang diperbuatnya saat ini salah. Ia langsung mengalihkan pandangan dari Arum yang masih giat mencari dokumen itu.

Lalu sesaat kemudian.

“Oh... yang ini ya Pak?!”

Arum menceletuk kegirangan. Saking senangnya ia melompat sambil menolehkan tubuh pada Cakra, yang membuat tubuh mereka bertabrakan. Pada waktu itu juga, tangan Arum tidak sengaja menyentuh sesuatu di antara selangkangan Cakra. Sesuatu yang terasa keras dan tampak menonjol.

“Agh!” pekik Cakra saat sesuatunya itu disenggol.

Selama beberapa detik tubuh Arum memaku. Kedua matanya yang bulat membelalak lebar, menatap Cakra yang juga terkejut akan apa yang baru saja terjadi di antara mereka.

“Ma ... maaf, Pak. Saya nggak sengaja,” desus pelan Arum.

“Tidak apa apa.” Cakra menjawab itu dengan sedikit kikuk. Ia setengah malu, setengah mempertahankan martabat. Bagaimana pun ia ketahuan kalau sesuatunya sedang menegang.

Seketika itu raut wajah Arum yang sebelumnya tampak polos spontan berubah. ia memandang Cakra dengan kedua matanya yang terkulai, seperti menunjukkan sisi lain dirinya. Sisi lainnya yang ‘liar’ dan berbeda dari kepolosan yang ia tunjukkan.

“Tapi kenapa punya Bapak tegang?” tanya Arum. Dari nada bicarnaya, terdengar seperti gadis itu sudah cukup matang untuk membahas seksualitas dengan lawan jenis.

“Egm,” sambil menjaga wibawanya, Cakra berdeham deham. “Tidak usah kamu urusin.”

“Apa karena saya?” sahut Arum kemudian. Gadis itu langsung menurunkan pandangan. Tangan kanannya meraba raba lehernya yang tiba tiba terasa merinding. “Saya pikir cuma saya yang merasa aneh saat berada di dekat Bapak. Rupanya Bapak juga merasakan itu saat ini. Perasaan aneh yang membuat ‘itu’ Bapak menegang,” gumam Arum sambil menggigit bibirnya. Wajahnya tampak sedang berusaha mengembalikan kewarasan.

“Memang ... apa yang kamu rasakan saat ada di dekatku?” Dengan bodohnya Cakra justru bertanya.

Lirih, Arum menjawab, “Basah.”

“Ahh.”

Tanpa diduga Cakra justru mendesah mendengar jawaban tidak terduga itu. Jawaban yang membangkitkan fantasinya akan sesuatu yang lembab; sesuatu yang ia rindukan.

Tetapi desahan itu justru membuat Arum kembali menaikkan pandangan. Ia menatap Cakra yang bola matanya memperlihatkan fantasi yang sedang ada di dalam otaknya.

“Bapak jawab jujur ... apa yang Bapak rasakan?” Arum lanjut bertanya, sambil perlahan mendekat ke arah Cakra. Cakra yang tidak bisa berdiam, pelan pelan memundurkan langkahnya.

“Entah. Aku tidak yakin,” desah Cakra.

Arum menghentikan langkahnya. Kedua bola matanya yang jernih menatap bibir Cakra seperti sangat menginginkannya.

“Aku ingin.”

Lalu pandangannya segera turun. Arum menyadarkan kepalanya dari bayang bayang yang membuat sesuatunya di bawah terasa mulai lembab.

“Tidak, tidak. Maafkan saya, Pak. Saya lagi ngaco!”

Tetapi melihat Arum yang sedang berjuang melawan nafsunya sendiri membuat Cakra semakin tidak tahan dibuatnya. Suara Arum yang mengatakan ‘basah’ seolah masih terus menggema gema di telinganya. Membuatnya tidak bisa berhenti memikirkannya. Kepalanya terus terusan berfantasi tentang itu.

Karena tidak tahan, Cakra langsung menarik tangan Arum.

Tubuh Arum yang mungil semakin memudahkan Cakra untuk mengangkat tubuhnya. Lelaki itu pun mengangkat tubuh Arum dan mendudukkannya ke atas salah satu meja yang terisi dokumen dan beberapa lampu hias tak terpakai.

“Pak Cakra ... Anda mau apa?” desus pelan Arum saat tubuhnya disentuh oleh Cakra saat sudah duduk manis di atas meja.

“Tadi ... yang kamu inginkan apa?” tanya Cakra. Sorot matanya telah dikerubuti nafsu.

Kiss—”

Tanpa menunggu lama Cakra langsung menyambar bibir Arum. Merasakan kelembutan bibir itu dan melumatnya dengan rakus. Rasa haus Cakra yang mengenaskan membuatnya melampiaskan pada bibir yang saat ini bisa ia cumbu.

“Mpphh... mph.”

Desahan dari mulut Arum justru membuat Cakra semakin gelap mata. Ia melepaskan bibir itu, dan mulai menjelajari leher Arum yang terekspos.

Saat lehernya di kecup dengan ganas, saat itu juga salah satu tangan Cakra melerobos masuk ke dalam kaus oblong yang dipakai Arum.

“Aahh... basah ... basah.”

“Basah?” Cakra yang mendengar dengan jelas desahan itu merasa semakin tidak tahan. Ia melepaskan ciumannya dari leher Arum. Menatap kedua mata yang jernih itu. “Basah?”

Dengan pasrah Arum menganggukkan kepalanya. “Bapak mau sentuh?”

“Hahh.”

Di waktu itu juga ponsel di dalam saku celana Cakra bergetar. Ia berniat mengabaikan telepon itu karena Arum yang berada di posisi sama seperti Cakra (sedang dikuasai libido) meraih tangan kekar Cakra dan menggesekan tangan itu di luar bagian yang ia sebut ‘basah’.

Drrttt. Drttt.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status