Share

BAB 7: Kencan Pertama

Dari kejauhan Cakra melihat Arum melambaikan tangan. Lambaian tangan itu menyambut kedatangan Cakra beserta mobil yang lelaki itu kendarakan. Tepat setelah mobil itu berhenti di depan Arum, Cakra menurunkan kaca jendelanya. Kepalanya melongok ke luar.

“Langsung masuk aja,” seru lelaki itu.

Langkah Arum mendekat bersamaan dengan kaca jendela mobil Cakra yang kembali tertutup. Arum menaiki mobil yang dikendarakan Cakra. Tak lama kemudian mobil itu kembali melesat pergi menuju tempat yang ingin ia tuju.

Bye the way kita mau ke mana Pak? Tadi malam Bapak tidak bilang mau ditemenin ke mana.”

Arum membuka perbincangan sesaat setelah duduk di dalam mobil Cakra yang sedang melaju meninggalkan gerbang kampus.

“Pantai,” jawab Cakra singkat.

“Wah, pantai? Kebetulan sekali saya juga ingin ke pantai lok Pak. Sebenarnya minggu kemarin saya mau diajak ke pantai sama teman teman kos. Tapi saya tidak bisa karena harus temenin Bapak ngoreksi jawaban anak semester 3. Kebetulan sekali sekarang Bapak mau ajak saya ke pantai.” Arum yang medengar ke mana dirinya akan pergi bersama Cakra, seketika menceletuk girang. Sebenarnya bukan masalah mereka hendak ingin ke pantai atau bukan. Gadis itu hanya menyukai ke mana pun Cakra akan membawanya.

“Oh ya? Wah, kebetulan dong. Sebenarnya sudah lama aku pengen ke pantai buat refreshing. Tapi selalu tertunda. Dan baru bisa hari ini pergi ke pantai.” Cakra menanggapi sambil menoleh sekejab ke Arum.

“Kenapa Bapak nggak ajak istri Bapak saja? Kenapa kok saya yang diajak ke pantai?” Arum bertanya terus terang kepada Cakra. Ia bukan tipikal gadis yang bisa memendam rasa penasaran terlalu lama, dan memilih untuk berterus terang apa yang ada dalam pikirnya.

“Kalau bisa saya mau ajak dia. Tapi dia sibuk sekali. Jadi tidak punya waktu untuk menemani saya ke pantai.” Begitu pun Cakra yang berterus terang tentang apa yang ada dalam pikirannya.

Seketika itu Arum menghela napas ringan. Akan berbohong kalau dirinya tidak merasa sakit hati mendengar jawaban Cakra. Ia merasa terluka pada fakta bahwa yang menjadi prioritas Cakra tetaplah istrinya, Marin, dan bukan dirinya. Meski pada akhirnya dirinya yang menjadi teman lelaki itu pergi ke pantai.

Tetapi Arum pun tahu betul rasa sakit dalam hatinya itu adalah resiko mencintai seorang lelaki yang telah memiliki istri. Ia tahu. Dan ia tetap memilih mengambil resiko itu. Sore itu ia telah mengiyakan ajakan ciuman Cakra. Artinya ia telah membiarkan dirinya jatuh pada seorang lelaki yang telah beristri. Artinya ia telah merelakan tubuh dan hatinya untuk sering terluka karena mencintai seseorang yang sangat mustahil untuk ia miliki. Ia tahu keputusan yang ia ambil ini, dan konsekuensi yang akan menimpanya. Betapa pun ia tetap memilih mencintai lelaki bernama Cakra dan membiarkan dirinya terluka karena cinta yang telah ia pilih.

Fakta bahwa dirinya yang sekarang bersama Cakra menjadi penghibur atas hatinya yang terluka. Ia tidak membutuhkan hal lain kecuali keberadaan Cakra. Entah dirinya bukanlah prioritas. Dan entah lelaki itu telah memiliki seorang istri yang jauh lebih ‘berkelas’ dari dirinya. Ia hanya butuh berada di sisi Cakra. Itulah keputusan yang telah ia ambil sejak ciuman mereka sore itu. Sejak ia membiarkan Cakra menariknya jatuh ke dalam pelukannya, saat itu juga ia memilih terjebak dalam kisah cintanya yang rumit.

“Ngomong ngomong, itu apa yang kamu bawa, Arum?”

Perhatian Cakra tertarik pada sebuah benda dalam tas kain yang ada di pangkuan Arum. Sebuah tas misterius yang sejak tadi ditenteng Arum dan sepertinya bukan tas berisi ponsel dan peralatan perempuan.

“Oh ini. Saya tadi bikin roti di tempat kos, Pak. Ini saya bawa, siapa tahu Bapak nanti suka.” Arum menjawab dengan ceria.

“Oh ya? Itu buat aku? Kenapa kamu repot repot Arum? Aku yang sudah menyita waktu kamu hari ini. Tidak perlu repot repot,” sahut Cakra yang tiba tiba merasa tidak enak pada Arum.

Arum tersenyum semringah mendnegarnya. “Tidak repot kok Pak. Saya memang suka bikin roti kok. Daripada di kosan tidak ada yang makan kan mending saya bagi ke Bapak.”

“Oh, gitu? Sebenarnya aku nggak pengen merepotkan kamu, Arum. Nanti aku bingung bagaimana membalasnya,” lanjut Cakra menggumam.

“Heihh, tidak repot kok Pak. Bapak juga tidak perlu membalas. Toh ini bukan pertama kalinya kan saya kasih roti ke Bapak?” kata Arum.

Kepala Cakra mengangguk pelan. Ini memang bukan pertama kalinya ia memakan roti buatan Arum. Sebab gadis itu beberapa kali pernah membawa roti saat mengerjakan sesuatu bersama Cakra sebagai asisten dosen. Lantas membagi roti itu untuk dimakan bersama Cakra.

“Okelah kalau begitu.”

Keduanya terdiam. Suasana mobil mendadak hening. Tetapi barangkali mereka tengah memikirkan yang sama. Yaitu sesuatu yang kali ini membawa sedikit kecanggungan di antara mereka.

“Semalam...”

Saat Cakra baru mulai pembahasan tentang itu, Arum lantas menyahut, “Bapak suka?”

Spontan Cakra menoleh menatap Arum. Meliriknya sekilas ke arah badan Arum. Pada sepasang benda menonjol dari balik kaus oblong yang Arum kenalan. Lantas pikiran Cakra kembal imelayang layang. Mengingat momen saat mereka berdua melakukan panggilan video seks semalam.

Wajah Cakra sedikit tersipu mengingat momen itu kembali. Sesuatu yang sangat baru dalam hidup Cakra. Sensasi yang baru dan terasa segar. Rasanya seperti ia kembali ke masa mudanya. Yaitu saat usianya sekitar dua puluhan awal.

“Tentu saja. Aku suka,” jawab Cakra lirih, setengah malu malu dan setengah mempertahankan martabatnya sebagai seorang dosen.

Begitu pula wajah Arum yang ikut tersipu. “Saya bisa memberikan kapan pun Bapak mau. Saya bisa melakukan apa pun untuk Bapak.”

Arum melontarkan kalimat itu sambil mencengkeram paha Cakra, yang seketika membuat sesuatu milik lelaki itu menegang di dalam sana. Cakra yang berusaha menjaga kewarasan sambil mengemudikan mobil pun menarik napas panjang.

“Kenapa kamu mau melakukannya untuk aku? Aku pikir rasa sukamu itu sudah berakhir.” Cakra menyahut lirih.

Dengan kedua matanya yang bergetar, Arum menjelaskan. “Saya tidak bisa lagi mengakhiri rasa suka saya terhadap Bapak. Ciuman kita kemarin, bukannya menghilangkannya, justru memperkuat rasa saya terhadap Bapak. Sekarang saya tidak sekadar suka pada Bapak. Tetapi saya mencintai Bapak. Saya ingin melakukan apa pun untuk Bapak.”

Tubuh Cakra terpaku mendengar pengakuan Arum. meski tidak cukup mengejutkan, tetapi bagi Cakra apa yang Arum ucapkan itu sungguh berani. Dan kini ia menyadari. Rupanya ciuman mereka itu justru membuat Arum terjebak dengannya. Bukan menyelamatkan gadis itu.

Mengerti Cakra yang hanya diam saja, Arum kembali menyahut, “Jangan paksa saya untuk berhenti menyayangi Bapak. Sekarang semuanya sudah terlanjur. Bapak yang membiarkan saya larut dalam perasaan ini. Jangan salahkan saya atas perasaan yang saya miliki. Bapak sendiri yang bilang kan? Kita terkadang tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa,” dengan kedua bola matanya yang berkaca kaca. “Saya merasa saya bisa memberikan semuanya untuk Bapak. Saya akan memberikan apa yang tidak Bapak dapatkan dari istri Bapak. Semuanya.”

Arum berkata penuh tekad. Seakan akan tidak ada hal yang bisa menghentikannya untuk mencintai Cakra.

Mendengarkan perkataan Arum yang penuh tekad itu, Cakra memasang wajah misterius, yang tak bisa Arum baca apa artinya. Tetapi kemudian lelaki itu meraih tangan Arum. Membawa tangan mungil gadis itu pada kecupan bibirnya. Ia mengecup manis tangan gadis itu. Sekarang semuanya sudah terlambat. Sebelum Cakra mengajak Arum berciuman, Arum masih memiliki kesempatan untuk menghentikan rasa sukanya. Tetapi sekarang rasa itu mustahil untuk berhenti. Cakra merasa bertanggung jawab atas hal itu. Merasa bertanggung jawab atas terjebaknya seorang gadis ke dalam persoalan dirinya, dan barangkali rumah tangganya bersama Marin.

Cup. Cup. Beberapa kali Cakra menciumi telapak tangan Arum yang mungil dalam genggamannya.

“Maafkan aku, karena sudah membuatmu terjebak dalam kehidupanku yang rumit ini, Arum.”

"Saya akan meringankan semua beban rumit Bapak. Saat bersama saya, saya ingin Bapak bahagia tanpa merasa terbebani."

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status