Share

BAB 4: Ciuman Sore Itu 2

Lanjutan ciuman sore itu...

Drrttt. Drttt.

Tetapi getaran ponsel itu semakin mengganggu mereka. Cakra sejenak menghentikan kegiatannya. “Sebentar.” Untuk menjawab telepon dari istrinya, Marin.

[Sayang, masih kerja?] Suara Marin di seberang sana menyadarkan Cakra. Spontan, tubuh lelaki itu selangkah menjauhi Arum yang masih duduk di atas meja, memandanginya.

Cakra berusaha menyetabilkan perasaannya. Ia mengendalikan tarikan napasnya supaya tidak terdengar seperti orang yang sedang dikuasai nafsu.

“Iya. Masih ada kelas yang harus aku isi habis ini. Mungkin aku baru sampai rumah nanti habis magrib, Sayang.”

Begitu suara Cakra menjawab dengan suara yang lebih tenang. Hasratnya berangsur pergi saat ia membayangkan wajah Marin di seberang telepon sana. Perlahan, Cakra membuat tubuhnya semakin menjauh dari Arum yang kini menatapnya bingung, bercampur waswas.

[Tidak usah buru-buru, Sayang. Aku juga masih mau pijat spa habis ini.]

“Oh ya? Baguslah. Kalau gitu aku tutup dulu ya teleponnya, kelasku sebentar lagi dimulai.”

Setelah itu Cakra langsung mematikan teleponnya dengan Marin. Suasana tak semenggairahkan tadi. Kewarasan Cakra telah kembali. Meski tak dapat dimungkiri kalau hasrat itu belum sepenuhnya pergi.

“Itu istri Bapak?” tanya Arum pasrah. Tahu kalau dirinya di situasi yang tidak menguntungkan, Arum melompat turun dari meja. Ia tahu semuanya sudah berakhir. Ia pun merapikan bajunya yang berantakan, juga melepas ikatan rambutnya. Gara gara rambutnya yang terikat itu semuanya menjadi seperti ini.

“Iya,” jawab Cakra lirih.

Kepala Arum menunduk dalam dalam. Ia sangat sadar dirinya itu tidak bisa bersaing dengan istri seorang Cakra. Yang mana hampir satu kampus ini semuanya tahu kalau istrinya Cakra adalah pemilik salah satu brand kecantikan ternama, yang beberapa kali diundang untuk mengisi acara seminar atau pun talk show di kampus ini.

“Maaf, Pak. Saya sepertinya sudah keterlaluan,” desus Arum lirih.

Sungguh aneh. Tidak seharusnya Arum meminta maaf atas kekhilafan yang Cakra perbuat.

“Tidak. Bukan kesalahanmu, Arum. Jangan meminta maaf, itu membuatku merasa semakin buruk,” ujar Cakra.

“Sebenarnya aku menyukaimu, Pak Cakra.”

Cakra terkejut oleh pengakuan Arum yang tiba-tiba itu. Ia yang merasa tercengang itu menganga selama beberapa saat sambil melihat Arum yang terus menundukkan kepalanya.

“Apa ... maksudmu?”

Perlahan Arum mengangkat kepalanya.  Menatap Cakra yang dikerumuni kebingungan itu.

“Maaf. Saya tahu perasaan ini salah. Tapi saya tidak bisa berbohong, Pak. Saya tidak bisa membohongi perasaan saya sendiri. Saya menyukai Bapak sejak pertama kali kita bertemu, sejak pertama kali Bapak mengajar di kelas saya. Saya tahu perasaan ini tidak benar, makanya saya memendamnya selama ini, dan baru punya keberanian sekarang untuk mengungkapkannya.” Arum menjelaskan dengan kepalanya yang terus menunduk. Merasa tak kuasa untuk menatap Cakra setelah pengakuan cintanya ini.

Di sisi lain, Cakra merasa sungguh terkejut. Selama hampir enam tahun karirnya sebagai dosen pengajar, baru kali ini ia mendapat pengakuan cinta dari salah satu mahasiswanya. Dan, seumur hidup, baru pertama kali ini ia melihat ada seseorang yang menyatakan cinta padanya tapi mengakui sendiri kalau perasaan cinta itu tidak seharusnya ada.

Pengakuan Arum membuat Cakra measa sangat terkejut, tetapi juga membuatnya merasa sangat iba. Ia melihat bagaimana gadis itu menyalahkan dirinya sendiri, dan perasaannya. Juga melihat keluguan yang ada di bola mata gadis itu. Sungguh ... Arum mengingatkan Cakra pada Marin, sembilan tahun silam. Saat Marin masih menjadi gadis lugu yang sangat polos, dan tentunya sangat rentan. Rupanya, selama hampir sembilan tahun ia mengenal Marin, tiga tahun berpacaran, dan lima tahun menikah ini, ada banyak hal yang berubah.

Cakra termenung beberapa saat sambil terus menatap Arum yang terus menundukkan kepala. Kedua tangannya berpautan di depan, tepat seperti seorang anak yang sedang dimarahi pak gurunya.

“Aku sudah punya istri, dan sudah lima tahun menikah.” Cakra berucap kemudian.

“Saya tahu. Makanya, saya mengatakan maaf. Maaf, karena sudah menyukai Bapak yang tidak seharusnya saya sukai. Sekali lagi maafkan saya, Pak Cakra. Saya cuma ingin membuat perasaan saya sedikit lega setelah mengatakan itu semua. Selanjutnya, tolong lupakan pengakuan saya tadi. Anggap saja Bapak tidak pernah mendengarnya. Dengan begitu saya akan tetap memiliki keberanian untuk terus menjadi asisten Bapak.” Arum menjelaskan, sambil sesekali menaikkan pandangan. Menatap Cakra dengan bola matanya yang bergetar.

“Tidak ada yang salah dengan rasa suka. Kadang kita tidak bisa menentukan untuk suka pada siapa,” sahut Cakra.

Arum masih terus menundukkan kepalanya. Melihat gadis itu yang masih belum berani menatapnya, Cakra tersenyum.

“Angkat kepalamu. Kamu masih punya kesempatan menata kembali perasaanmu, Arum.”

Perlahan Arum mengangkat kepalanya. Bertatapan cukup lama dengan Cakra.

“Bagaimana kalau tidak bisa, Pak? Bagaimana kalau saya tidak bisa berhenti menyukai Bapak? Tanyanya khawatir, dengan suara yang bergetar lirih.

Cakra menarik napas dalam, mengembuskannya pelan pelan.

“Memang apa yang kamu sukai dariku?” tanyanya penasaran.

“Entah. Saya tidak yakin. Terkadang kita tidak memiliki alasan untuk jatuh cinta. Itu yang saya rasakan. Awalnya aaya hanya merasa kagum pada Bapak. Bapak salah satu dosen favorit, kan? Cara mengajar Anda menyenangkan, Anda juga bisa menyampaikan materi yang sulit dengan mudah. Saya selalu kagum pada laki laki yang cerdas dan menawan, seperti Bapak. Selain itu ... berada di dekat Bapak membuat saya merasa aman dan nyaman, saya merasa seperti dilindungi, karena sikap Bapak sangat gentle. Mungkin itu yang membuat rasa kagum dan pelan pelan berubah menjadi cinta. Tolong maafkan saya, Pak.”

Segera setelah mengutarakan semua itu, Arum memalingkan wajahnya. Matanya yang berkaca kaca itu tidak sanggup menatap Cakra lebih lama lagi. Rasa sukanya yang sudah pasti akan berakhir menjadi sakit hati. Ia tahu akan jatuh, tetapi tidak bisa menghentikan rasa sukanya pada Cakra.

Mendapat pengakuan cinta dari seorang gadis muda, rasanya seperti membuat Cakra kembali ke masa mudanya. Terasa baru, dan menyegarkan. Ia yang mulai lelah oleh rutinitas dan pekerjaan sebagai ‘orang dewasa’ merasakan angin segar setelah mendengar pengakuan cinta dari gadis lugu yang cukup ‘liar’ itu. Liar dalam artian, Arum memiliki keberanian yang cukup luar biasa untuk menyatakan cintanya pada lelaki yang sebelas tahun lebih tua darinya, yang notabenenya adalah dosen pengajarnya. Juga memiliki keberanian fantastis untuk ‘merangsang’ seorang laki laki dewasa.

Kini Cakra yang merasakah keanehan. Melihat gadis itu yang terlalu menyalahkan diri sendiri membuat insting melindungi seorang laki laki keluar. Cakra, seperti yang dikatakan Arum tadi, memang seorang yang tidak tegaan. Hatinya sangat lembut untuk seorang lelaki, bahkan lebih lembut dari Marin yang kepribadiannya sungguh kaku itu. Cakra juga gampang merasa iba, terlebih pada wanita yang tampak begitu rentan seperti Arum (sama seperti Marin sembilan tahun silam, yang tampak begitu rentan dan mudah terluka).

“Mau berciuman?” ajak Cakra sesaat kemudian. Ajakannya itu seketika membuat Arum menoleh bingung.

“Apa maksud Bapak?”

“Jangan terlalu menyalahkan dirimu. Perasaanmu masih bisa diperbaiki. Kamu masih sangat muda Arum. Semua hal bisa terjadi saat kamu masih muda,” jelas Cakra yang sebenarnya tak menjelaskan maksud ajakannya tadi.

“Apa hubungannya itu dengan Bapak yang ingin mengajak saya berciuman?” serobot Arum.

“Jadi, maksudku ... aku tidak ingin membuatmu merasa sangat buruk. Hm ... barangkali ciuman bisa membuatmu merasa lebih baik, dan berpikir lebih jernih nantinya.”

Cakra menjelaskan. Arum tahu niat itu baik. Tapi, Cakra tidak menyadari kalau hal itu justru akan menguatkan rasa suka yang ada dalam hati Arum.

Arum tahu, apabila ia mengiyakan ajakan ciuman itu, hatinya akan lebih tersudutkan. Pasti perasaannya pada Cakra akan semakin berkembang tanpa pernah bisa ia kendalikan lagi. Berpikir jernih tidak akan bisa dilakukan jika itu semua sudah terjadi. Tetapi Arum yang tahu semua itu, tidak bisa mengalahkan keinginannya untuk merasakan kembali lumatan bibir Cakra yang lembut. Ia hanyut dalam bayang bayang cinta ‘terlarang’nya. Dan menganggukkan kepala, pelan.

Seketika Cakra pun mendekatkan tubuhnya, sambil menyondongkan tubuh untuk menyelarasi tinggi tubuh Arum. Kedua tangan Arum pun mulai mengalung di leher Cakra. Tepat sebelum bibir mereka bertempelan, Cakra menggumamkan sebuah kalimat lirih.

“Hanya ciuman, jangan memberiku rangsangan berlebih. Aku hanya ingin membuat perasaanmu lebih baik, Arum.” Ditatapnya lekat kedua bola mata yang bening dan bulat itu. Dan Arum hanya menganggukkan kepala tanda setuju.

“Baik.”

Setelah itu bibir mereka berpautan lembut. Cakra mencium bibir Arum dengan lembut tanpa ada hasrat berlebih untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar ciuman. Begitu pula Arum yang hanya mengikuti alunan bibir Cakra yang membawanya rasa lembut di mulut dan di hati. Mereka hanyut dalam ciuman yang lembut itu sampai sepuluh menit kemudian. Ciuman mereka harus berakhir. Cakra memiliki jadwal mengajar tepat setelah itu.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status