Lanjutan ciuman sore itu...
Drrttt. Drttt.
Tetapi getaran ponsel itu semakin mengganggu mereka. Cakra sejenak menghentikan kegiatannya. “Sebentar.” Untuk menjawab telepon dari istrinya, Marin.
[Sayang, masih kerja?] Suara Marin di seberang sana menyadarkan Cakra. Spontan, tubuh lelaki itu selangkah menjauhi Arum yang masih duduk di atas meja, memandanginya.
Cakra berusaha menyetabilkan perasaannya. Ia mengendalikan tarikan napasnya supaya tidak terdengar seperti orang yang sedang dikuasai nafsu.
“Iya. Masih ada kelas yang harus aku isi habis ini. Mungkin aku baru sampai rumah nanti habis magrib, Sayang.”
Begitu suara Cakra menjawab dengan suara yang lebih tenang. Hasratnya berangsur pergi saat ia membayangkan wajah Marin di seberang telepon sana. Perlahan, Cakra membuat tubuhnya semakin menjauh dari Arum yang kini menatapnya bingung, bercampur waswas.
[Tidak usah buru-buru, Sayang. Aku juga masih mau pijat spa habis ini.]
“Oh ya? Baguslah. Kalau gitu aku tutup dulu ya teleponnya, kelasku sebentar lagi dimulai.”
Setelah itu Cakra langsung mematikan teleponnya dengan Marin. Suasana tak semenggairahkan tadi. Kewarasan Cakra telah kembali. Meski tak dapat dimungkiri kalau hasrat itu belum sepenuhnya pergi.
“Itu istri Bapak?” tanya Arum pasrah. Tahu kalau dirinya di situasi yang tidak menguntungkan, Arum melompat turun dari meja. Ia tahu semuanya sudah berakhir. Ia pun merapikan bajunya yang berantakan, juga melepas ikatan rambutnya. Gara gara rambutnya yang terikat itu semuanya menjadi seperti ini.
“Iya,” jawab Cakra lirih.
Kepala Arum menunduk dalam dalam. Ia sangat sadar dirinya itu tidak bisa bersaing dengan istri seorang Cakra. Yang mana hampir satu kampus ini semuanya tahu kalau istrinya Cakra adalah pemilik salah satu brand kecantikan ternama, yang beberapa kali diundang untuk mengisi acara seminar atau pun talk show di kampus ini.
“Maaf, Pak. Saya sepertinya sudah keterlaluan,” desus Arum lirih.
Sungguh aneh. Tidak seharusnya Arum meminta maaf atas kekhilafan yang Cakra perbuat.
“Tidak. Bukan kesalahanmu, Arum. Jangan meminta maaf, itu membuatku merasa semakin buruk,” ujar Cakra.
“Sebenarnya aku menyukaimu, Pak Cakra.”
Cakra terkejut oleh pengakuan Arum yang tiba-tiba itu. Ia yang merasa tercengang itu menganga selama beberapa saat sambil melihat Arum yang terus menundukkan kepalanya.
“Apa ... maksudmu?”
Perlahan Arum mengangkat kepalanya. Menatap Cakra yang dikerumuni kebingungan itu.
“Maaf. Saya tahu perasaan ini salah. Tapi saya tidak bisa berbohong, Pak. Saya tidak bisa membohongi perasaan saya sendiri. Saya menyukai Bapak sejak pertama kali kita bertemu, sejak pertama kali Bapak mengajar di kelas saya. Saya tahu perasaan ini tidak benar, makanya saya memendamnya selama ini, dan baru punya keberanian sekarang untuk mengungkapkannya.” Arum menjelaskan dengan kepalanya yang terus menunduk. Merasa tak kuasa untuk menatap Cakra setelah pengakuan cintanya ini.
Di sisi lain, Cakra merasa sungguh terkejut. Selama hampir enam tahun karirnya sebagai dosen pengajar, baru kali ini ia mendapat pengakuan cinta dari salah satu mahasiswanya. Dan, seumur hidup, baru pertama kali ini ia melihat ada seseorang yang menyatakan cinta padanya tapi mengakui sendiri kalau perasaan cinta itu tidak seharusnya ada.
Pengakuan Arum membuat Cakra measa sangat terkejut, tetapi juga membuatnya merasa sangat iba. Ia melihat bagaimana gadis itu menyalahkan dirinya sendiri, dan perasaannya. Juga melihat keluguan yang ada di bola mata gadis itu. Sungguh ... Arum mengingatkan Cakra pada Marin, sembilan tahun silam. Saat Marin masih menjadi gadis lugu yang sangat polos, dan tentunya sangat rentan. Rupanya, selama hampir sembilan tahun ia mengenal Marin, tiga tahun berpacaran, dan lima tahun menikah ini, ada banyak hal yang berubah.
Cakra termenung beberapa saat sambil terus menatap Arum yang terus menundukkan kepala. Kedua tangannya berpautan di depan, tepat seperti seorang anak yang sedang dimarahi pak gurunya.
“Aku sudah punya istri, dan sudah lima tahun menikah.” Cakra berucap kemudian.
“Saya tahu. Makanya, saya mengatakan maaf. Maaf, karena sudah menyukai Bapak yang tidak seharusnya saya sukai. Sekali lagi maafkan saya, Pak Cakra. Saya cuma ingin membuat perasaan saya sedikit lega setelah mengatakan itu semua. Selanjutnya, tolong lupakan pengakuan saya tadi. Anggap saja Bapak tidak pernah mendengarnya. Dengan begitu saya akan tetap memiliki keberanian untuk terus menjadi asisten Bapak.” Arum menjelaskan, sambil sesekali menaikkan pandangan. Menatap Cakra dengan bola matanya yang bergetar.
“Tidak ada yang salah dengan rasa suka. Kadang kita tidak bisa menentukan untuk suka pada siapa,” sahut Cakra.
Arum masih terus menundukkan kepalanya. Melihat gadis itu yang masih belum berani menatapnya, Cakra tersenyum.
“Angkat kepalamu. Kamu masih punya kesempatan menata kembali perasaanmu, Arum.”
Perlahan Arum mengangkat kepalanya. Bertatapan cukup lama dengan Cakra.
“Bagaimana kalau tidak bisa, Pak? Bagaimana kalau saya tidak bisa berhenti menyukai Bapak? Tanyanya khawatir, dengan suara yang bergetar lirih.
Cakra menarik napas dalam, mengembuskannya pelan pelan.
“Memang apa yang kamu sukai dariku?” tanyanya penasaran.
“Entah. Saya tidak yakin. Terkadang kita tidak memiliki alasan untuk jatuh cinta. Itu yang saya rasakan. Awalnya aaya hanya merasa kagum pada Bapak. Bapak salah satu dosen favorit, kan? Cara mengajar Anda menyenangkan, Anda juga bisa menyampaikan materi yang sulit dengan mudah. Saya selalu kagum pada laki laki yang cerdas dan menawan, seperti Bapak. Selain itu ... berada di dekat Bapak membuat saya merasa aman dan nyaman, saya merasa seperti dilindungi, karena sikap Bapak sangat gentle. Mungkin itu yang membuat rasa kagum dan pelan pelan berubah menjadi cinta. Tolong maafkan saya, Pak.”
Segera setelah mengutarakan semua itu, Arum memalingkan wajahnya. Matanya yang berkaca kaca itu tidak sanggup menatap Cakra lebih lama lagi. Rasa sukanya yang sudah pasti akan berakhir menjadi sakit hati. Ia tahu akan jatuh, tetapi tidak bisa menghentikan rasa sukanya pada Cakra.
Mendapat pengakuan cinta dari seorang gadis muda, rasanya seperti membuat Cakra kembali ke masa mudanya. Terasa baru, dan menyegarkan. Ia yang mulai lelah oleh rutinitas dan pekerjaan sebagai ‘orang dewasa’ merasakan angin segar setelah mendengar pengakuan cinta dari gadis lugu yang cukup ‘liar’ itu. Liar dalam artian, Arum memiliki keberanian yang cukup luar biasa untuk menyatakan cintanya pada lelaki yang sebelas tahun lebih tua darinya, yang notabenenya adalah dosen pengajarnya. Juga memiliki keberanian fantastis untuk ‘merangsang’ seorang laki laki dewasa.
Kini Cakra yang merasakah keanehan. Melihat gadis itu yang terlalu menyalahkan diri sendiri membuat insting melindungi seorang laki laki keluar. Cakra, seperti yang dikatakan Arum tadi, memang seorang yang tidak tegaan. Hatinya sangat lembut untuk seorang lelaki, bahkan lebih lembut dari Marin yang kepribadiannya sungguh kaku itu. Cakra juga gampang merasa iba, terlebih pada wanita yang tampak begitu rentan seperti Arum (sama seperti Marin sembilan tahun silam, yang tampak begitu rentan dan mudah terluka).
“Mau berciuman?” ajak Cakra sesaat kemudian. Ajakannya itu seketika membuat Arum menoleh bingung.
“Apa maksud Bapak?”
“Jangan terlalu menyalahkan dirimu. Perasaanmu masih bisa diperbaiki. Kamu masih sangat muda Arum. Semua hal bisa terjadi saat kamu masih muda,” jelas Cakra yang sebenarnya tak menjelaskan maksud ajakannya tadi.
“Apa hubungannya itu dengan Bapak yang ingin mengajak saya berciuman?” serobot Arum.
“Jadi, maksudku ... aku tidak ingin membuatmu merasa sangat buruk. Hm ... barangkali ciuman bisa membuatmu merasa lebih baik, dan berpikir lebih jernih nantinya.”
Cakra menjelaskan. Arum tahu niat itu baik. Tapi, Cakra tidak menyadari kalau hal itu justru akan menguatkan rasa suka yang ada dalam hati Arum.
Arum tahu, apabila ia mengiyakan ajakan ciuman itu, hatinya akan lebih tersudutkan. Pasti perasaannya pada Cakra akan semakin berkembang tanpa pernah bisa ia kendalikan lagi. Berpikir jernih tidak akan bisa dilakukan jika itu semua sudah terjadi. Tetapi Arum yang tahu semua itu, tidak bisa mengalahkan keinginannya untuk merasakan kembali lumatan bibir Cakra yang lembut. Ia hanyut dalam bayang bayang cinta ‘terlarang’nya. Dan menganggukkan kepala, pelan.
Seketika Cakra pun mendekatkan tubuhnya, sambil menyondongkan tubuh untuk menyelarasi tinggi tubuh Arum. Kedua tangan Arum pun mulai mengalung di leher Cakra. Tepat sebelum bibir mereka bertempelan, Cakra menggumamkan sebuah kalimat lirih.
“Hanya ciuman, jangan memberiku rangsangan berlebih. Aku hanya ingin membuat perasaanmu lebih baik, Arum.” Ditatapnya lekat kedua bola mata yang bening dan bulat itu. Dan Arum hanya menganggukkan kepala tanda setuju.
“Baik.”
Setelah itu bibir mereka berpautan lembut. Cakra mencium bibir Arum dengan lembut tanpa ada hasrat berlebih untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar ciuman. Begitu pula Arum yang hanya mengikuti alunan bibir Cakra yang membawanya rasa lembut di mulut dan di hati. Mereka hanyut dalam ciuman yang lembut itu sampai sepuluh menit kemudian. Ciuman mereka harus berakhir. Cakra memiliki jadwal mengajar tepat setelah itu.
*
Sebenarnya ia telah merencanakan sejak lama untuk memiliki seorang asisten pribadi yang nantinya akan banyak membantunya melakukan pekerjaan. Hanya saja ia masih mempertimbangkan hal itu matang matang. Tetapi beberapa bulan terakhir ini pekerjaannya sangat banyak. Ia hampir tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri karena terlalu larut dalam pekerjaan. Ia juga jadi tak memiliki banyak waktu untuk bersama suaminya, Cakra, yang entah mengapa sikapnya menjadi sangat sensitif dan aneh.Siang ini, setelah meeting nya dengan klien dari Grasse itu selesai, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang merupakan calon asistennya. Di mana calon asisten itu merupakan rekomendasi langsung dari salah satu manajer yang Marin percaya di kantornya.Tok tok tok.Suara ketuk pintu terdengar. Sepertinya itu adalah calon asistennya yang siang ini akan melakukan wawancara dengan Marin. Untuk memastikan kecocokan mereka berdua. Karena, posisi sebagai asisten adalah posisi yang sa
“Mphh!” Arum hanya bisa mengerang pelan saat telinga kanannya mendapatkan gigitan gemas beserta ciuman panas dari Cakra. Sudah hampir sepuluh menit saat mereka tiba di pantai ini. Cakra membawa mobilnya memasuki area pantai, dan memaskirkannya di tempat yang jauh dari keramaian. Kaca mobil satu arah itu membantunya ‘bersembunyi’ baik baik dari beberapa orang lain yang melewati mobilnya tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Tangan tangan kekar itu tengah mengerayapi tubuh bagian atas Arum. Menyelinap masuk ke sana dan ke mari. Merayap rayap di punggung. Lantas ke perut. Kemudian meremas remas kedua benda kenyal yang bersarang di balik kaus Arum. Sementara tangannya berkeliaran menamah tubuh Arum, bibirnya giat mengecupi setiap inci tubuh gadis itu. Bibir hingga dagunya. Leher indahnya hingga ke pundak. Bahkan anting yang terpasang di cuping telinga Arum sampai terlepas di bibir Cakra. “Ahhh... mphh....” Sementara Arum menikmati tiap sentuhan yan
Dari kejauhan Cakra melihat Arum melambaikan tangan. Lambaian tangan itu menyambut kedatangan Cakra beserta mobil yang lelaki itu kendarakan. Tepat setelah mobil itu berhenti di depan Arum, Cakra menurunkan kaca jendelanya. Kepalanya melongok ke luar.“Langsung masuk aja,” seru lelaki itu.Langkah Arum mendekat bersamaan dengan kaca jendela mobil Cakra yang kembali tertutup. Arum menaiki mobil yang dikendarakan Cakra. Tak lama kemudian mobil itu kembali melesat pergi menuju tempat yang ingin ia tuju.“Bye the way kita mau ke mana Pak? Tadi malam Bapak tidak bilang mau ditemenin ke mana.”Arum membuka perbincangan sesaat setelah duduk di dalam mobil Cakra yang sedang melaju meninggalkan gerbang kampus.“Pantai,” jawab Cakra singkat.“Wah, pantai? Kebetulan sekali saya juga ingin ke pantai lok Pak. Sebenarnya minggu kemarin saya mau diajak ke pantai sama teman teman kos. Tapi saya tidak bisa k
Lantas Marin menarik napas panjang. Mengembuskannya teratur. “Tidak masalah. Biar adil, kan? Karena nggak adil kalau hanya kamu yang tahu sisi gelapku. Biar kita tahu sisi gelap masing-masing. Dan karena kamu sudah mengakui sifat asliku, biar aku perjelas. Besok aku nggak bisa ke pantai. Ada meeting penting yang nggak bisa aku hindari. Sekarang Sayang mau lanjutin kerjaan atau mau tidur, teserah. Aku nggak peduli.”Setelah itu Marin berjalan pergi meninggalkan Cakra di ruang kerja ini. Keluar ruangan dengan menutup pintu keras keras. Cakra yang masih duduk di kursi kerjanya, menarik napas panjang panjang. Ia meletakkan kedua tangannya tepat di depan wajah. Suasana hatinya benar benar kacau dan buruk.Dering telepon sesaat itu membuat fokus Cakra teralihkan. Ia menerima panggilan video dari Arum. Dengan pikirannya yang kacau pun Cakra menjawab panggilan video tersebut. Kedua matanya seketika terbelalak. Betapa kaget dirinya melihat pemandangan
Sekitar pukul dua malam. Cakra baru terbangun setelah dua kali sesi bercintanya bersama sang istri. Tubuhnya masih rebah di atas kasur. Dipeluk Marin yang tubuh bagian atasnya terekspos tanpa pakaian. Perlahan Cakra melepaskan pelukan Marin. Mengecup pelipis sang istri yang seketika membuat Marin mengeliat kecil. Lantas ia bangun. Turun dari ranjang tidur mereka.Di antara gelap kamar tidur keduanya, Cakra mengenakan celana boxer dan menggunakan sendal slipnya. Berjalan meninggalkan kamar mereka, menuju ruang kerjanya. Ia baru teringat untuk menyelesaikan pekerjaannya membuat soal ujian. Ia berniat menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari terbit. Sebab Minggu esok ia memiliki rencana menghabiskan weekend bersama Marin ke pantai setelah rencana itu selalu tertunda hingga berbulan bulan.Memasuki ruang kerjanya, Cakra menyalakan lampu temaram kuning yang menyala sejuk. Lantas duduk ke atas kursi kerja sambil menyalakan laptopnya.Seketika itu
Lanjutan ciuman sore itu...Drrttt. Drttt.Tetapi getaran ponsel itu semakin mengganggu mereka. Cakra sejenak menghentikan kegiatannya. “Sebentar.” Untuk menjawab telepon dari istrinya, Marin.[Sayang, masih kerja?] Suara Marin di seberang sana menyadarkan Cakra. Spontan, tubuh lelaki itu selangkah menjauhi Arum yang masih duduk di atas meja, memandanginya.Cakra berusaha menyetabilkan perasaannya. Ia mengendalikan tarikan napasnya supaya tidak terdengar seperti orang yang sedang dikuasai nafsu.“Iya. Masih ada kelas yang harus aku isi habis ini. Mungkin aku baru sampai rumah nanti habis magrib, Sayang.”Begitu suara Cakra menjawab dengan suara yang lebih tenang. Hasratnya berangsur pergi saat ia membayangkan wajah Marin di seberang telepon sana. Perlahan, Cakra membuat tubuhnya semakin menjauh dari Arum yang kini menatapnya bingung, bercampur waswas.[Tidak usah buru-buru, Sa