Share

BAB 5: Bibit Obsesi

Sekitar pukul dua malam. Cakra baru terbangun setelah dua kali sesi bercintanya bersama sang istri. Tubuhnya masih rebah di atas kasur. Dipeluk Marin yang tubuh bagian atasnya terekspos tanpa pakaian. Perlahan Cakra melepaskan pelukan Marin. Mengecup pelipis sang istri yang seketika membuat Marin mengeliat kecil. Lantas ia bangun. Turun dari ranjang tidur mereka.

Di antara gelap kamar tidur keduanya, Cakra mengenakan celana boxer dan menggunakan sendal slipnya. Berjalan meninggalkan kamar mereka, menuju ruang kerjanya. Ia baru teringat untuk menyelesaikan pekerjaannya membuat soal ujian. Ia berniat menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari terbit. Sebab Minggu esok ia memiliki rencana menghabiskan weekend bersama Marin ke pantai setelah rencana itu selalu tertunda hingga berbulan bulan.

Memasuki ruang kerjanya, Cakra menyalakan lampu temaram kuning yang menyala sejuk. Lantas duduk ke atas kursi kerja sambil menyalakan laptopnya.

Seketika itu pandangannya tertuju pada ponsel yang ia geletakkan tepat di sebelah laptop. Ia melihat beberapa pesan masuk. Salah satu pesan yang menarik perhatiannya adalah pesan teks dari Arum.

‘Pak Cakra, saya tidak akan melupakan ciuman kita sore tadi.^^’

Cakra membaca pesan itu. Sekelibat rasa bersalah menyembul dalam benaknya. Rasa bersalah terhadap dua wanita sekaligus. Pertama yang jelas adalah rasa bersalah pada istrinya, Marin. Kali pertama di kehidupan pernikahan ini Cakra merasakan hasrat yang tertuju untuk wanita lain dan bukan istrinya sendiri. Kenyataan itu membuatnya merasa bersalah. Dan yang kedua adalah rasa bersalah pada Arum, yang begitu muda dan rapuh, yang ia tolak cintanya lantaran dirinya sudah beristri.

Saat masih sibuk meresapi perasaan bersalah dalam dadanya, ada beberapa pesan masuk sekaligus dari nomor yang sama.

Sepertinya saya tidak bisa menghentikan rasa suka pada Bapak.’

‘Maafkan saya, Pak. Ciuman Bapak tidak membuat saya merasa lebih baik. Justru ciuman tadi sore membuat saya merasa semakin terikat dengan Bapak.’

‘Saya tidak bisa mengendalikan perasaan ini. Maafkan saya, Pak.’

‘Sekarang saya tidak tahu bagaimana harus menghadapi Bapak lagi. Setiap kali melihat Bapak saya merasa ingin menangis. Bapak seseorang yang tidak akan bisa saya miliki.’

Cakra menghela napas panjang membaca setiap pesan yang Arum kirimkan. Jauh dari dugaannya. Ia merasa aneh. Ia merasa bersalah karena telah membuat Arum terjebak dalam perasaan itu. Bagaimanapun, Cakra yang mengajak gadis itu unutk berciuman setelah menolaknya. Ciuman mereka adalah ajakan Cakra, atas keinginan Cakra, atau barangkali hasrat Cakra yang masih meletup letup. Ciuman itu adalah keegoisan seorang Cakra. Sekarang ia merasa bersalah. Ia telah membuat Arum terjebak dalam perasaan itu gegara ciuman lembut yang Cakra mulai.

Meski ia membaca setiap pesan yang dikirim Arum, Cakra tidak berniat membalasnya. Bukan karena ia tidak mau membalas. Ia hanya tidak tahu harus berkata apa kepada Arum.

‘Saya tahu Bapak membaca pesan teks saya ini.’

‘Baiklah. Bapak tidak harus membalas setiap pesan saya.’

‘Saya hanya ingin bilang, kalau Bapak yang memulai semuanya. Sebelum Bapak mengajak saya berciuman, saya merasa bisa mengendalikan perasaan saya. Tetapi Bapak telah menjebak saya ke dalam ciuman itu. Sekarang saya tidak bisa mengendalikan perasaan saya lagi. Ini semua salah Bapak. Saya terjebak dalam situasi ini karena Bapak. Mulai sekarang jangan salahkan saya kalau saya bertindak sesuka hati saya.’

Tersirat emosi yang meletup letup dalam jiwa Arum yang tidak terkendali akibat kejadian sore tadi. Usianya baru dua puluh. Konon katanya seorang wanita di usia itu masih kesulitan mengontrol emosi. Cakra tahu betul akan hal itu. Dan berusaha bersikap setenang yang ia bisa.

Hati-hati, Cakra pun membalas pesan teks Arum. Tepat hanya satu kalimat singkat.

‘Tenangkan diri kamu dulu.’

Lantas Arum tak membalas lagi pesan teks itu. Cakra pun menggeletakkan ponselnya ke meja. Kemudian mulai melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Tepat lima belas menit kemudian, suara ketukan pintu terdengar. Tak lama setelah itu, Marin, yang mengenakan lingerie satin warna ungu berjalan mendekati Cakra.

“Sayang ngapain?” tanyanya dengan nada suara dingin.

“Lanjutin pekerjaanku, Yang.”

“Ngapain kerja malem-malem? Besok kan hari Minggu. Aku kesepian tidur sendirian di kamar. Nggak ada yang aku peluk,” protes Marin sambil berdiri di sebelah Cakra.

“Besok kan kita mau ke pantai. Aku pengen quality time sama kamu besok, nggak mau ngurus pekerjaan. Jadi biar aku selesaiin sekarang.” Cakra menjelaskan singkat.

“Besok kita ke pantai? Siapa yang bilang?”

Seketika itu pandangan Cakra menaik. Menatap Marin yang ekspresinya tidak begitu senang.

“Kamu lupa? Kita kan ada janji mau ke pantai besok Minggu. Janji itu udah lama banget loh. Masak Sayang udah lupa?” cetus Cakra.

“Iya, aku ingat janjinya. Tapi siapa yang bilang kalau kita ke pantai besok? Besok itu aku ada meeting sama orang-orang dari Grasse. Mereka baru datang tadi sore dari Prancis, dan besok mau meeting di kantor buat bahas formula parfum Hebely. Kita nggak bisa ke pantai besok,” jelas Marin. Entah ia yang lupa memberi tahu Cakra soal pertemuan dengan orang dari Grasse itu, atau Cakra yang terlalu berharap kalau besok Minggu ia bisa pergi ke pantai bersama Marin.

Kekecewaan yang begitu besar terlukis di wajah tampan Cakra setelah mendengar penjelasan itu. Ia yang merasa sangat suntuk oleh rutinitas hariannya berharap bisa menghirup aroma pantai yang segar besok hari. Menghapus lelah dan mengembalikan kejernihan pikirannya. Ia sungguh berharap ia besok bisa quality time bersama Marin. Tapi rupanya kenyataan tak seindah ekspektasinya. Lagi, dan lagi ...

“Sudah berbulan-bulan kita punya rencana itu, tapi kamu selalu sibuk jadinya tertunda terus. Kalau kayak gitu terus kapan kita bisa punya quality time lagi, Marin?” Cakra berkata dengan tegas. Sambil menatap serius ke arah Marin yang berdiri di sebelah meja.

“Sayang pikir aku nggak mau punya quality time? Aku juga punya keinginan kayak gitu. Aku juga seorang istri. Aku pengen punya quality time sama suami aku. Tapi mau gimana? Mereka datang jauh jauh dari Grasse.” Marin berusaha menjelaskan situasinya pada Cakra. Tetapi kelihatannya Cakra tidak ingin mendengarkan alasan itu. Ekspresi wajahnya tampak kaku.

“Sepenting itukah pekerjaanmu sampai mengorbankan aku?” sahut Cakra tegas.

Ekspresi Marin seketika itu berubah. Raut wajahnya tampak marah mendengar kata kata sarkas itu meluncur dari mulut suaminya.

“Apa maksudmu, Sayang? Siapa yang mengorbankan siapa? Aku nggak pernah mengorbankan siapa siapa demi pekerjaanku. Dan aku bekerja pun buat kita, buat kamu juga,” sanggah Marin.

“Jangan beromong kosong, Marin. Kamu pikir aku nggak kenal kamu?” Cakra pun menyahut dengan nada suaranya yang meninggi. Rupanya ia menahan diri sudah terlalu lama. “Aku tahu kamu. Kamu nggak akan ngelakuin semua itu buat orang lain. Kamu melakukan semua itu untuk tujuan kamu sendiri, Marin. Untuk ambisimu semata. Untuk kebutuhan egomu. Kamu nggak memikirkan posisi orang lain dan cuma mengejar apa yang ingin kamu kejar. Uang, karir, martabat. Itu semua cuman tentang ambisimu, bukan tentang aku.”

Marin sungguh tercengang akan apa yang Cakra katakan. Sembilan tahun mereka mengenal, dan lima tahun mereka menjalin rumah tangga. Apa yang menjadi rahasia sudah bukan rahasia lagi. Cakra tahu semua tentang Marin. Maka yang Cakra ucapkan tadi adalah kenyataan, bukan kesaksian yang dibuat-buat. Itu adalah kebenaran tentang Marin, wanita yang sangat ambisius dan tidak bisa dihentikan. Tetapi mengatakannya terus terang seperti itu membuat Marin tercengang.

Seketika Marin memasang ekspresi dingin. Ia berusaha menenangkan dadanya yang bergejolak. Matanya menatap Cakra tajam tajam.

“Setelah lima tahun kita hidup bersama, baru aku melihat sisi gelapmu ini.”

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status