Share

BAB 2: Suami yang (Lugu?)

Cakra: Suami yang ...?

Menjadi suami marin adalah tantangan berat sekaligus anugerah. Dikatakan tantangan berat karena sikap Marin yang sangat keras dan juga dominan sering kali membuat Cakra kerepotan. Namun, dapat dikatakan anugerah adalah karena Marin menjadi wanita yang kuat dan tangguh, yang sangat berbeda dari wanita kebanyakan yang Cakra kenal, bahkan pernah pacari sebelumnya.

Cakra tahu betul seperti apa perjuangan Marin membangun karirnya sejak mereka berdua sama sama masih menjadi mahasiswa. Karena suatu penyebab, Marin tidak dapat melanjutkan kuliahnya sehingga ia drop out dari kuliahnya tanpa pernah menyandang gelar sebagai sarjana. Sementara Cakra yang tetap melanjutkan kuliah, memberikan dukungan kepada Marin yang sedang baru memulai merintis bisnis di dunia kecantikan.

Siang itu, sekitar delapan tahun yang lalu. Cakra yang baru menyelesaikan salah satu kelas kuliahnya sangat kaget melihat apa yang tertulis di ponselnya. Sepuluh panggilan tak terjawab dan dua puluh pesan masuk dari Marin. Melihat itu juga Cakra yang sebenarnya masih ada kelas yang harus diikuti habis ini, buru buru menelepon Marin dan menanyakan keberadaannya. Rupanya, ayah Marin meninggal karena serangan jantung. Dan Marin sedang kelabakan mencari cara untuk pulang kampung.

“Marin! Maafin aku, jam kuliahku baru selesai.” Cakra yang tahu siang itu Marin sedang ada di kosan dan berkemas kemas, buru-buru menghampirinya. Ia melihat Marin yang dipenuhi kehancuran. Gadis itu menangis sesegukan sambil mengemasi barang, dengan beberapa teman kosnya yang ingin menenangkan.

Mengerti sang kekasih sudah datang, teman kos yang terdiri dari dua wanita itu pun keluar dari kamar kos untuk memberikan ruang pada mereka supaya leluasa berbincang bincang. Seketika itu, Cakra langsung memeluk tubuh Marin. Dan seketika itu juga, Marin melemas. Ia nyaris terkulai ke lantai jika sana Cakra yang menopang tubuhnya dengan baik.

“Ayah.... Aku nggak bisa hidup tanpa ayah. Aku harus bagaimana Cakra?”

Di dalam pelukan itu Marin meraung menumpahkan kesedihannya karena ditinggal pergi sang ayah. Marin adalah anak pertama di keluarganya. Jika ayahnya meninggal, maka beban tanggung jawab akan diwariskan kepada Marin.

“Tenangin diri kamu dulu, Marin. Nggak usah khawatir, aku bakal temenin kamu. aku bakal temenin kamu pulang kampung. Juga bakal temenin kamu seterusnya.”

Janji yang diucapkan Cakra hari itu rupanya tak sekadar janji. Sebab ia benar benar menjadi kekasih yang setia terhadap Marin. Kehidupan Marin banyak berubah setelah ayahnya meninggal dunia. Ia tidak bisa melanjutkan kuliahnya karena masalah biaya. Meski pun sang ayah meninggalkan warisan berupa beberapa petak tanah di kampung, Marin tidak bisa menggunakan warisan itu untuk kuliahnya. Sebab ia masih memiliki empat orang adik. Dua diantaranya masih berada di sekolah dasar. Marin merasa harus berkorban demi kelangsungan keluarga dan juga adik adiknya. Akhirnya Marin yang mengalah akan pendidikannya, dan mulai merintis bisnis.

Meski sudah tidak berkuliah di tempat yang sama dengan Cakra, hubungan mereka masih tetap berlanjut. Cakra benar benar menyayangi Marin. Ia sungguh melakukan sebagaimana yang ia lakukan. Bagi Marin, Cakra adalah berkat di tengah kehancuran hidupnya akibat ditinggal pergi sang ayah. Dan, begitulah hubungan mereka tetap berlanjut sampai ke jenjang pernikahan.

Cakra sedang duduk manis di atas kerjanya di waktu yang menunjukkan pukul tujuh sore (ataukah malam?) ini. Sejak pukul enam sore ia sudah tiba di rumah, tetapi rumah masih kosong. Rupanya istrinya belum datang, dan mungkin masih berada di tempat spa.

Meski tampak sedang sibuk membuat bahan ajar untuk kelas yang akan ia ajar besok, pikiran Cakra melayang layang jauh ke suatu tempat. Entah. Sejak tadi pikirannya sering kosong. Termasuk saat ia menutup telepon Marin secara tiba-tiba. Apa jangan jangan ia sedang memasuki fase paruh baya? Tidak, tidak. Ia hanya satu tahun lebih tua dari Marin. Otomatis usianya baru tiga puluh satu. Fisiknya masih bugar, perkasa, dan masih memiliki hasrat yang menggebu gebu. Tapi, ada yang aneh dengannya akhir akhir ini. Tentu saja. Itu sesuatu yang Cakra sendiri tidak ketahui. Hatinya hanya sering merasakan kekosongan. Seperti ia tidak memiliki semangat hidup yang membara sebagaimana yang terjadi pada Marin.

Saat pikirannya masih bergelut dengan lamunan, terdengar suara pintu terbuka secara tiba tiba.

“Sayang!”

Cakra tersentak kaget melihat keberadaan Marin di ambang pintu dengan ekspresi wajahnya yang kesal.

“Aku panggil panggil dari tadi nggak dengar ya?” celetuk Marin sambil berjalan ke arah Cakra.

“Oh ya? Maaf, aku nggak denger,” ucap Cakra sambil memperbaiki posisi duduknya.

Melihat gelagat suaminya yang akhir akhir ini menganeh, Marin mengerutkan keningnya. Ia mendekat ke kursi yang diduduki Cakra. Mendudukkan tubuhnya tepat di atas pangkuan lelaki itu.

“Sayang, apa yang terjadi? Akhir akhir ini sikapmu agak aneh. Ada masalah apa di kampus?” tanya Marin sambil memerhatikan raut wajah Cakra yang tampak muram. Kedua tangan Marin, dengan jari jari kukunya yang selesai dipoles, menarik kaca mata yang menengger di wajah tampan Cakra.

Sambil menghela napas panjang untuk mengusir pikirannya yang lagi carut marut, Cakra menjawab, “Tidak ada apa apa. Cuman lagi sedikit stres aja kok Sayang.” Lantas ia menyunggingkan senyum manis pada Marin.

Melihat itu, Marin segera membalas senyuman manis suaminya. Saat sedang stres, ia tahu apa yang Cakra butuhkan. Free sex.

“Aku tahu apa yang kamu butuhkan, Sayang,” bisik Marin menggoda.

Dengan senyuman yang tersungging semakin lebar Cakra memosisikan tubuh Marin semakin mantap di atas pangkuannya. Mereka berhadap hadapan dengan posisi kepala Marin yang lebih tinggi. Kedua pahanya mengapit pinggang Cakra. Sementara kedua tangan Cakra mencengkeram pinggul Marin.

“Kapan terakhir kali kita berhubungan intim, Sayang?” tanya Marin sambil memain mainkan rambut Cakra yang masih setengah basah.

“Hm ... seminggu lalu.”

“Hah, lama juga ya? Akhir akhir ini aku terlalu sibuk buat peluncuran produk baru Hebely,” cetus Marin penuh rasa sesal.

“Persiapannya lancar?” lanjut Cakra menanyai.

“Hm, lancar dong. Kan aku yang mimpim langsung sama tim perencanaan,” jawab Marin bangga.

Samar samar Cakra tersenyum. Senyumnya terada getir, namun di mata Marin senyum itu terasa sangat nyata.

“Karirmu semakin cemerlang saja, Sayang,” kata Cakra.

“Semua itu berkat dukunganmu, Sayang.”

Marin mengucapkannya sebelum memberikan kecupan hangat di bibir Cakra. Jari jari tangannya yang runcing itu melepaskan satu per satu kancing baju piama yang melekat di tubuh Cakra. Sambil ia berbisik penuh goda.

“Aku tadi habis pijat spa. Badanku terasa lebih segar. Tadi aku juga minta tambahin wewangian varian baru. Sayang suka harumnya?” bisik lirih Marin. Lantas ia langsung membuka bajunya tepat di depan mata Cakra.

“Tada!”

“Hahh.”

Cakra tak bisa membohongi kedua matanya yang begitu terpesona oleh pemandangan yang ada di balik baju Marin. Renda renda berwarna merah delima dan tembus pandang. Lima tahun ia hidup sebagai suami Marin, tak pernah sekali pun Cakra merasa bosan melihat pemandangan itu. Marin sangat pandai merawat tubuhnya. Bahkan sangat cerdik dengan memberikan kejutan kejutan seperti ini. Bra tembus pandang dari kain renda premium. Merah delima. Warna kesukaan Cakra. Marin selalu bisa membuat Cakra merasa tergila gila pada tubuh Marin setiap kali mereka hendak bercinta.

Mulut Cakra terbuka lebar memandangi tubuh Marin yang teramat menggiurkan. Kedua matanya dipenuhi oleh berahi. Secara berangsur, benda miliknya yang tepat diduduki marin terasa mulai mengeras.

It’s really beautyfull. I love it, Baby.” Cakra langsung menarik tubuh Marin mendekat ke wajahnya. Ia memeluk tubuh yang dikerumuni semerbak aroma yang sangat harum. Hidung mengendus dengan rakus aroma itu. Kulit wajahnya merasakan kelembutan dari kedua benda kenyal milik Marin yang selalu saja membuatnya takluk setiap waktu.

“... Aku menginginkanmu lagi, Istriku. Aku merindukan rasa bersamamu. Aku ingin merasakanmu kembali.”

Sambil mengecupi tubuh Marin, Cakra menggumamkan kalimat itu. Desahan napasnya begitu dalam dan mesra. Marin yang seketika terpancing oleh setiap sentuhan bibir sang suami, meremas remas rambut hitam Cakra dan juga tubuh kekar lelaki itu.

“Sebagai ganti karena akhir akhir ini aku terlalu sibuk bekerja, Suamiku. Sekarang aku akan membayar semuanya. Nikmati tubuhku sebagaimana yang selalu kamu lakukan, Suamiku. Aku ingin merasakan puncak bersamamu, Sayangku.”

Marin membalas gumaman Cakra dengan suara rendahnya yang menggoda. Ia semakin terangsang setiap kali Cakra mengecup dan menggigit puncak tubuhnya di balik kain renda merah itu.

“Aahh, Sayangku ... lakukan terus, jangan lepaskan!” cetus Marin yang membuat benda besar milik suaminya itu semakin terdesak.

Cakra pun seketika bangkit dari duduk sambil membawa tubuh Marin dalam dekapannya. Ia berjalan menuju kamar tidur mereka sambil berpautan bibir. Suara lenguh terdengar mengisi ruang. Sesampainya di kamar, Cakra langsung melempar tubuh Marin dan melepaskan celananya yang terasa sesak itu.

Sambil menghempaskan tubuhnya di atas tubuh sang istri, Cakra mendesah, “Jangan harap kali ini kamu akan bebas. Aku tidak akan melepaskanmu, Sayang ... sepanjang malam. Malam mingguku ini akan jadi malam menggelora untuk kita berdua.”

Lelaki itu langsung mencumbu bibir dan tubuh Marin selesai mengucapkannya. Mereka berdua sibuk melenguh dan melampiaskan hasrat yang telah tersimpan selama satu minggu, sampai tidak menyadari salah satu ponsel milik mereka berdua bergetar sejak tadi. Itu adalah ponsel Cakra. Rupanya ada satu pesan masuk dari salah seorang mahasiswa yang ia ajar.

[Pak Cakra, saya tidak akan melupakan ciuman kita sore tadi.^^]

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status