Share

BAB 8: Sensasi Baru (21+)

“Mphh!”

Arum hanya bisa mengerang pelan saat telinga kanannya mendapatkan gigitan gemas beserta ciuman panas dari Cakra. Sudah hampir sepuluh menit saat mereka tiba di pantai ini. Cakra membawa mobilnya memasuki area pantai, dan memaskirkannya di tempat yang jauh dari keramaian. Kaca mobil satu arah itu membantunya ‘bersembunyi’ baik baik dari beberapa orang lain yang melewati mobilnya tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dalam.

Tangan tangan kekar itu tengah mengerayapi tubuh bagian atas Arum. Menyelinap masuk ke sana dan ke mari. Merayap rayap di punggung. Lantas ke perut. Kemudian meremas remas kedua benda kenyal yang bersarang di balik kaus Arum. Sementara tangannya berkeliaran menamah tubuh Arum, bibirnya giat mengecupi setiap inci tubuh gadis itu. Bibir hingga dagunya. Leher indahnya hingga ke pundak. Bahkan anting yang terpasang di cuping telinga Arum sampai terlepas di bibir Cakra.

“Ahhh... mphh....”

Sementara Arum menikmati tiap sentuhan yang Cakra berikan pada tubuhnya, kedua tangannya meremas remas rambut Cakra. Membuat lelaki itu semakin kehilangan akal. Tangannya bergerak agresif menaikkan kaus Arum. melepaskan penghalang yang ada di sana. Lantas mulutnya menyesapi kedua kuncup tubuh Arum yang telah meremang dan menegang. Hingga lelaki itu merasa puas.

Lima belas menit kemudian, keduanya telah kembali dalam ‘mode aman’. Arum tampak merapikan make up dan lipstiknya setelah sesaat lalu merapikan pakaian dan menyisir kembali rambutnya yang acak acakan.

“Kenapa Bapak tidak meminta yang lebih jauh?” Sembari itu Arum bertanya kepada Cakra. Yakinlah, mereka tidak melakukan hubungan seksual di dalam mobil ini. mereka hanya berciuman dan sedikit bermanja manja. Tidak sampai melakukan kegiatan seksual yang lebih jauh seperti oral seks maupun penetrasi. Mereka hanya ‘bermanja’ ria.

Dari sisi Cakra. Lelaki itu memang sudah mendapat kepuasan meski tidak ada oral maupun penetrasi. Tetapi ia cukup puas karena ‘permainan tangan’ Arum. mereka tidak berhubungan seksual. Hanya ‘bermanja ria’.

“... Kalau Bapak minta saya akan berikan.” Arum melanjutkan kemudian.

Cakra hanya menggelengkan kepala. “Tidak, Arum. Belum waktunya.”

Lebih dari apa pun, Cakra tidak ingin menjadi perusak kehidupan seorang gadis muda yang masa depannya masih panjang. Ia tidak minta hal hal yang lebih bukan karena tidak ingin, hanya saja ia masih merasa perlu ‘menjaga’ Arum. Setidaknya ia masih memiliki rasa kemanusiaan. Ia tidak akan meminta seks dengan Arum di hari pertama mereka berkencan.

Setelah sesaat suasana menghening, mereka kembali berpelukan. Masih ada sedikit rasa bersalah yang terselip di hati Cakra karena telah membuat seorang gadis muda terjerat hubungan gelap dengannya. Juga ada sedikit rasa bersalah yang ia simpan untuk istrinya, Marin.

Dalam dekapannya, Arum membelai kepala Cakra seperti membelai kepala seorang bayi mungil. Entah mengapa hatinya terasa pedih. Melihat kekasih yang dicintainya begitu suram dan kalut membuat Arum merasa sedih.

Arum tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi pada Cakra. Tidak pernah tahu krisis apa yang sedang lelaki itu rasakan hingga hari hari Cakra terlihat begitu suram, seperti tidak berenergi. Untuk saat ini ia mengira ada sesuatu antara Cakra dengan istrinya yang membuat Cakra menjadi pribadi yang hampa, yang secara intens telah menghidupkan rasa iba yang begitu besar dalam diri Arum. ia sakit melihat lelaki yang disayanginya begitu hampa dan murung. Seolah ikut merasakan kehampaan itu.

“Bapak ada masalah sama istri Bapak?” Sembari membelai rambut Cakra pelan, Arum bertanya lirih.

“Tidak. Sama sekali tidak.”

Entah mengapa jawaban itu terdengar seperti jawaban kebohongan.

“Kalau begitu mengapa Bapak kelihatan murung? Apa pernikahan Bapak tidak bahagia?” lanjut Arum bertanya.

“Pernikahanku bahagia.”

“Lantas?”

Arum yang terus bertanya itu membuat Cakra perlahan melepaskan pelukannya. Kedua mata mereka bertatapan lekat.

“Mungkin kamu belum mengerti karena belum pernah merasakan pernikahan.” Cakra berbicara. Sambil mengangguk pelan. “Aku bahagia dengan pernikahanku. Sejauh ini aku merasa bahagia.”

“Tapi kenapa Bapak sekarang bersama saya kalau memang pernikahanmu bahagia?” serobot Arum kemudian.

Sambil berpikir keras, Cakra menggumam tidak jelas. “Entah. Sepertinya aku sedang berada dalam krisis. Aku merasa bosan dengan kehidupan aku, rutinitasku. Merasa gampang lelah akan segala hal. Tapi, di tengah keadaanku yang seperti itu aku menemukan kesenangan baru. Itu kamu, Arum,” jelas Cakra singkat sambil menatap bola mata Arum yang bening seperti kristal.

Arum tersenyum semringah mendengarnya. “Syukurlah kalau saya bisa membuat Bapak merasa senang,” celetuknya. Lantas tersenyum manis.

Bibir Arum yang tersenyum menggemaskan itu kemudian dikecup kembali oleh Cakra. “Kamu menggemaskan,” ucapnya setelah menyambar bibir Arum. Ditatapnya kedua bola mata Arum yang tersenyum setelah mendapat kecupan dadakan itu. “Boleh aku tanya sesuatu?” ucap Cakra beberapa detik kemudian.

“Tentu boleh, Pak Cakra.”

“Apa yang membuatmu jatuh cinta padaku? Aku tidak berpikir kalau karakterku adalah yang disukai gadis gadis seusiamu. Bukannya gadis seusiamu biasanya suka pada lelaki yang memperlakukanmu seperti teman dan selalu menghibur?” tanya Cakra. Ia mengingat dirinya sepuluh tahun silam. Di mana ia mengenal Marin sebagai teman atau kakak senior; banyak melakukan hal bersama dan menghibur (seperti yang tadi ia katakan).

“Tidak semua perempuan suka lelaki yang seperti itu. Bagi saya, Bapak adalah tipe idaman saya. Saya lahir ke dunia tanpa memiliki seorang ayah. Kelahiran saya adalah sebuah kesalahan besar. Ibu yang melahirkan saya bahkan memberikan saya untuk diadopsi orang lain. Akhirnya saya dibesarkan oleh orang lain. Dari kecil saya sering dipukuli oleh ayah angkat saya. Itu sebabnya saya kabur dari rumah begitu lulus SD. Lalu saya dtinggal di panti asuhan khusus anak anak perempuan terlantar.” Kepala Arum mulai menunduk dalam. Kedua matanya terasa panas menceritakan kisah hidupnya. Tetapi ia berusaha untuk tetap tegar dan tidak menangis. “Dalam hidup saya saya tidak pernah bertemu laki laki sebaik Bapak. Laki laki yang sama sekali tidak kasar terhadap perempuan. Laki laki yang berkelakuan baik dan lembut. Saya merasa nyaman ada di sekeliling Bapak. Rasanya seperti saya menemukan ‘tempat berlindung’. Karena setiap kali saya bersama Bapak, beberapa teman lelaki saya yang suka menjahili dan suka menggoda saya jadi takut. Ya, karena itu semua lama lama saya jatuh cinta sama Bapak.”

Saat cerita itu berakhir, air mata Arum menetes. Itu terjadi tanpa ia sadari dan tanpa ia rencanakan. Lalu dalam sekejab tubuhnya telah dipeluk oleh Cakra. Cakra memeluk erah tubuh Arum sambil bergumam lirih, "Kamu sudah menjalani hidup yang berat rupanya. Kamu sudah bertahan sejauh ini, Arum. Mulai sekarang kalau ada apa apa katakan saja padaku. Hiduplah lebih kuat dan berani.”

Dalam pelukannya, Arum hanya mengangguk pelan. Ia menyeka air matanya sambil menjawab, “Terima kasih, Pak. Saya tidak akan melupakan Bapak. Bapak laki laki paling bersahaja yang saya kenal.”

Hamparan pantai di hadapan terlihat begitu nyata. Tak lama setelah mereka berpelukan, keduanya memutuskan untuk turun dari mobil dan menikmati pemandangan pantai beserta udaranya yang sangat segar. Ditemani roti buatan Arum yang masih terasa sedikit hangat.

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status