Share

BAB 6: Awal Perseilngkuhan

Lantas Marin menarik napas panjang. Mengembuskannya teratur. “Tidak masalah. Biar adil, kan? Karena nggak adil kalau hanya kamu yang tahu sisi gelapku. Biar kita tahu sisi gelap masing-masing. Dan karena kamu sudah mengakui sifat asliku, biar aku perjelas. Besok aku nggak bisa ke pantai. Ada meeting penting yang nggak bisa aku hindari. Sekarang Sayang mau lanjutin  kerjaan atau mau tidur, teserah. Aku nggak peduli.”

Setelah itu Marin berjalan pergi meninggalkan Cakra di ruang kerja ini. Keluar ruangan dengan menutup pintu keras keras. Cakra yang masih duduk di kursi kerjanya, menarik napas panjang panjang. Ia meletakkan kedua tangannya tepat di depan wajah. Suasana hatinya benar benar kacau dan buruk.

Dering telepon sesaat itu membuat fokus Cakra teralihkan. Ia menerima panggilan video dari Arum. Dengan pikirannya yang kacau pun Cakra menjawab panggilan video tersebut. Kedua matanya seketika terbelalak. Betapa kaget dirinya melihat pemandangan yang ada di layar ponselnya. Yaitu pemandangan Arum yang duduk di atas tempat tidur tanpa mengenakan pakaian dan tubuh bagian atasnya hanya terbalut bra berwarna hitam.

Buru-buru Cakra membalik ponselnya. Otaknya sedang berpikir keras dalam beberapa detik itu. Tetapi ada dorongan kecil dalam tubuhnya untuk kembali menyaksikan pemandangan seorang gadis muda yang mulai memperlihatkan obsesinya terhadap Cakra.

Pelan, Cakra kembali menatap layar ponselnya. Lantas ia menyambungkan layar ponselnya ke layar laptop yang lebih besar dan jelas. Kemudian menyambungkannya dengan speaker bluetooth dan memasangnya ke salah satu telinga. Di layar itu tampak seorang Arum yang sedang tersenyum ceria. Sementara Cakra yang melihatnya, mulai merasakan gairah yang meletup. Sensasi unik yang baru baginya.

Pak Cakra, ini hadian untuk Bapak! Saya tidak bisa melupakan ciuman kita tadi siang. Dan semakin saya teringat, tubuh saya terasa panas. Makanya saya melepas pakaian. Saya juga merasakan ada sesuatu yang basah di bagian bawah saya saat mengingat ciuman Bapak.’

Kalimat itu diucapkan dengan begitu ceria hingga Cakra terkekeh kekeh mendengarnya. Lelaki itu tersenyum geli mendengar suara Arum yang manja.

“Apa itu pertama kalinya kamu ciuman?” sahut Cakra bertanya.

Oho, bagaimana Bapak bisa tau? Tadi itu ciuman pertama saya. Makanya saya tidak bisa lupa. Saya terus terbayang bayang sama Bapak. Bapak jago banget ciumannya. Saya pengen lagi....

Mendengar dirinya mendapat pujian semacam itu membuat Cakra kembali terkekeh sambil tersipu. Lebih daripada itu, ia merasa lebih jantan di hadapan Arum.

Cakra terpikirkan suatu hal kemudian.

“Arum, besok kamu ada agenda apa?” tanya Cakra.

Hm, nggak ada sih, Pak. Kenapa? Bapak mau ajak saya kencan?’

“Aku ingin kamu temenin saya ke suatu tempat. Bisa?” lanjut Cakra bertanya.

Bisa kok Pak.  Saya kan selalu ada buat Bapak. Itu kan tugas saya sebagai asisten.’

Cakra pun tersenyum senang mendengarnya. “Baguslah. Besok aku jemput kamu sekitar jam sepuluh pagi ya. Di depan gerbang kampus kayak biasanya.”

Baik Pak.

Setidaknya perasaan Cakra menjadi sedikit lebih baik. Ia yang merasa sangat suntuk dan stres belakangan ini karena pekerjaan, merasa sungguh membutuhkan tempat untuk refreshing. Sudah lama sekali ia merencanakan untuk ke pantai. Tetapi rencana itu selalu tertunda karena Marin tidak bisa meluangkan waktunya untuk menemani Cakra ke pantai. Datang seorang diri ke pantai juga terasa sangat konyol. Maka ia mengajak Arum untuk menemaninya. Paling tidak ia tidak merasa sendirian dan tidak merasa konyol.

Ya. Kan aku cuma butuh dia nemani ke pantai. Tidak masalah, lah.

Setelah meyakinkan dirinya, Cakra kembali menatap ke layar laptop. Mentaap Arum yang sedang bermain main dengan dua bagian tubuhnya yang menonjol di balik balutan bra hitam itu. Cakra yang menatapnya merasakan sensasi yang menggairahkan. Milik Arum memang tak sebesar dan sebagus milik Marin yang rutin latihan otot dan mendapat perawatan mahal dari klinik. Tetapi cukup menggemaskan untuk ukuran tubuh Arum yang mungil. Cakra tidak tergoda pada bentuk atau besarnya, tetapi merasa gemas.

“Arum, tunjukkan sedikit juga boleh,” gumam Cakra yang semakin merasa gemas akan pemandangan di balik kain hitam itu.

Yang mana yang Bapak suka? Dua yang atas, atau bawah yang sudah basah.’

“Aahh.” Hanya dengan kalimat itu Cakra sudah kembali terangsang. Tangan kanannya tanpa sadar telah bermanja dengan miliknya yang mengeras sambil menamati lekuk tubuh Arum. Lantas ia menjawab pelan, “Hm, aku suka dua duanya, yang atas dan yang bawah.”

*

Sisa pertengkaran mereka semalam masih menyisihkan sedikit kesan negatif dalam hati Cakra maupun Marin. Keduanya sama sama diam dan tak saling menyinggung. Bahkan Marin hanya bisa diam mengamati gelagat aneh suaminya saat kembali ke kamar tidur setelah menyelesaikan pekerjaannya sebelum subuh.

Pagi ini Marin sedang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Jangan pikir sarapan rutin mereka adalah nasi dengan lauk pauk yang menggiurkan untuk disantap. Mereka rutin sarapan hanya dengan sereal dan susu instan. Atau paling bagus adalah oatmeal yang dimasak dengan beberapa buah-buahan pendamping.

Marin sedang menuangkan susu sapi itu ke dalam dua mangkuk yang telah terisi sereal. Untuk dirinya sendiri dan juga untuk suaminya. Meski ia masih kesal karena semalam Cakra menyinggung masalah keegoisannya dan ambisinya yang tak terbendung itu, Marin masih memiliki rasa kemanusiaan untuk menyiapkan sarapan mereka berdua. Setidaknya hanya itu pekerjaan rumah yang bisa ia lakukan untuk suaminya.

Sesaat kemudian Cakra yang selesai mandi datang ke dapur. Melihat Marin sedang mengaduk aduk sarapan mereka berdua.

“Toh ini hari Minggu, kamu nggak mau masak? Sudah lama sekali aku nggak makan masakan kamu, Yang.” Cakra melontarkan itu. Marin yang mendengarnya justru tersulut kekesalan.

“Sayang tau sendiri kan hari Minggu ini aku kerja. Aku pengen simpan tenagaku buat meeting nanti, Sayang. Kalau pengen sarapan pakai nasi kan tinggal pakai layanan pesan antar. Gitu aja kok repot.” Marin mencetus sambil berjalan menuju meja makan membawa dua mangkuk sereal itu.

Cakra hanya bisa mendesus pasrah, “Ya, ya ... kamu kan supersibuk. Mana sempat masak buat suami.”

Kening Marin seketika mengerut. “Tuh, kan? Lagi lagi kamu bahas soal itu. Memangnya harus istri yang bisa masak? Apa seorang suami nggak boleh masak? Atau nggak ‘mau’ masak?”

Karena tak ingin mengawali pagi ini dengan perdebatan, Cakra hanya menarik mangkuk sereal yang ada di atas meja makan. “Saya makan ini saja, Nyonya Marin.” Lalu segera memakan sereal itu tanpa banyak memprotes.

Marin pun memulai sarapannya. Sambil menyunyah sereal itu ia menatap Cakra yang sudah berpakaian rapi.

“Sayang mau ke mana?” tanya Marin.

“Ke pantai,” jawab Cakra tak acuh. Jawabannya sekaligus untuk menyindir Marin yang lagi lagi tak bisa menemaninya ke pantai untuk menghilangkan penat.

“Sendiri?”

Cakra tak menjawab dan hanya melanjutkan sarapan sederhananya. Marin pun mengembuskan napas panjang sambil menggumam.

“Kanapa Sayang nggak sabaran banget sih? Kalau kerjaanku ini udah selesai aku bakal temenin kok ke pantai. Cuman kalau minggu ini memang bener bener nggak bisa. Soalnya udah janjian sama profesor di Grasse. Masak mau dibatalin? Mereka udah jauh jauh datang kemari buat Hebely.” Marin menjelaskan sambil menatap Cakra penuh rasa bersalah.

“Tidak perlu. Hebely memang lebih penting dari apa pun. Kamu urusin saja pekerjaan kamu. Aku biar urusin diri aku sendiri.”

Sindiran halus—atau jangan jangan kasar—itu membuat Marin tak bisa mengelak. Cakra yang sudah menyelesaikan sarapannya dalam sekejab pun langsung berdiri dari duduk. Ia bersiap siap untuk pergi ke pantai. Sementara Marin yang tidak ingin ambil pusing akan kelakuan suaminya yang sedang merajuk itu melanjutkan sarapan paginya dengan tenang.

Saat Cakra sedang memanasi mobilnya untuk berangkat meninggalkan rumah, ponselnya berdenting. Ia melihat pesan masuk dari Arum. Secara otomatis Cakra tersenyum ringan membaca pesan tersebut.

Saya sudah tunggu di depan pintu gerbang kampus, Pak.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status