Share

Racun Drakor

#Enam#

Pak Rahmat sudah bersiap diri untuk mengantar Reyka sekolah seperti biasa. Sesampainya Reyka di depan mobil yang terparkir, Reyka tersenyum lebar yang membuat Pak Rahmat tak enak hati. Pasti Reyka akan mengeluarkan sesuatu yang di luar kebiasaan.

“Kenapa ekspresi muka Pak Rahmat begitu?” tanya Reyka bingung melihat Pak Rahmat yang terlihat cemas.

“Pasti, Non mau minta yang aneh-aneh kalau udah kayak gini,” cetus Pak Rahmat dengan jujurnya.

“Tau aja nih, Pak Rahmat. Iya, Rey mau minta tolong. Hari ini Rey yang coba bawa mobil, ya. Bapak duduk di sebelahnya mengawasi,” pinta Reyka.

“Duh, Non, jalanan ke sekolah itu ramai. Padat kendaraan. Kalau mau latihan di sekitaran kompleks aja, ya,” tawar Pak Rahmat.

“Kan udah seminggu lebih latihan di sekitaran kompleks. Ibarat main game, ya harus naik level Pak, biar tambah lancar,” Reyka mengajukan protes.

“Jangan disamakan dengan main game, Non. Kalau main game terus lost, ya cuma game over, bisa ngulang. Kalau mengendarai mobil terus celaka lain ceritanya,” Pak Rahmat masih mencoba membujuk Reyka.

“Ah, Pak Rahmat mikirnya terlalu jauh. Yuk, masuk, nanti keburu terlambat.” Reyka berujar tanpa beban dan langsung duduk di kursi kemudi.

“Pak! Jangan bengong, ayo masuk!” panggil Reyka yang melihat Pak Rahmat masih berdiri.

Pak Rahmat menyerah. Menang dalam mendebat Reyka adalah sebuah kelangkaan baginya. Selalu banyak alasan yang dimiliki Reyka. Juga karena kedudukan yang membuat Pak Rahmat tak bisa menolak.

“Enaknya, di gigi tiga kan, Pak?” tanya Reyka saat mobil sudah melaju.

“Iya, Non.”

“Besok atau lusa Pak Rahmat temani Rey ke kantor polisi, ya.”

“Ada apa, Non? Kok sampai urusan polisi segala?”

“Kalau bikin SIM kan memang urusannya sama Polisi, Pak. Gak mungkin sama tukang parkir,” celetuk Reyka. “Rey mau bikin SIM A. Mungkin bulan depan bikin SIM Internasional.”

“SIM Internasional buat apa, Non?”

“Rey ada rencana kuliah di luar negeri. Ya, jaga-jaga aja, siapa tahu nanti SIMnya terpakai. Kalau udah ada kan gampang.”

“Kalau Non kuliah ke luar negeri, Pak Rahmat nanti ga ada kerjaan. Siapa yang nanti Pak Rahmat antar ke sana ke sini?” antara bingung dan takut menyusup dalam hati. Jika tak ada Reyka, bisa jadi dia akan diberhentikan kerja. Padahal dengan pekerjaan yang hanya mengantar jemput Reyka, Pak Rahmat mendapat penghasilan yang cukup besar untuk membiayai kehidupan rumah tangganya.

“Antar jemput Bi Siti aja, Pak.”

“Ih, ngapain nganter-nganter Siti?!” dengus Pak Rahmat.

“Ya, kan biar Pak Rahmat ada kerjaan,” jawab Reyka sambil tertawa.

Setengah jam berkendara, Reyka perlahan masuk ke dalam lingkungan sekolah. Menepikan mobil untuk segera turun. Kedua pintu terbuka. Reyka yang akan masuk ke dalam kelas dan Pak Rahmat yang kembali duduk di bangku kemudi. Setelah berpamitan pada Pak Rahmat, Reyka masuk menyusuri koridor sekolah.

“Rey!” panggil Bianca, teman sebangku Reyka dari arah belakang.

“Hei, Bi!” Reyka membalas panggilan Bianca.

“Kalau gak salah lihat, tadi lo nyetir sendiri?”

“Emh, iya,” Reyka menyeringai. “Hitung-hitung kursus gratis lah, Bi. Kan mengendarai kendaraan termasuk salah satu kebutuhan suatu hari nanti,” Reyka memberikan alasan.

“Iya sih. Ummi pernah bilang, selama kita bisa, seraplah ilmu sebanyak mungkin. Karena tidak ada kata mubazir dalam menuntut ilmu.”

“Ilmu yang baik dan bermanfaat loh, ya!” Reyka menegaskan.

“Iyalah! Ilmu yang lain gak perlu dibahas,” Bianca menyetujui. Keduanya melanjutkan perbincangan hingga masuk ke dalam kelas.

Reyka, Bianca dan ratusan murid lain belajar dengan baik di sekolah SMA bertaraf Internasional tersebut. Biaya yang dikeluarkan setiap wali murid tidaklah sedikit. Menjadikan sekolah ini memiliki banyak fasilitas serta tenaga kependidikan yang tidak sembarangan.

“Ca, nanti kuliah mau ambil jurusan apa?” tanya Nada pada Annisa yang kerap dipanggil Ica.

“Masih nimbang-nimbang. Masih ada waktu sekitar enam bulan kan untuk ujian saringan masuk PTN?” Annisa balik bertanya. Diangguki oleh kelima orang teman yang duduk satu meja di kantin saat jam istirahat.

“Bu Professor, mau kuliah ke mana nih?” Nada menyenggol siku Reyka. Reyka memanyunkan bibir diberi julukan seperti itu. Dia menganggap jika teman-temannya terlalu berlebihan dalam memberinya julukan.

“Pengennya kuliah di luar negeri.”

“Cadas!! Emang keren nih, Bu Professor. Otak encer jangan disia-siakan. Mana bokap tajir, jalan semakin mulus!” ujar Kamila yang membuat Reyka tersenyum kecut.

“Coba gue tebak, kalau ga Eropa pasti Amerika!” lanjut Kamila. Yang dijawab gelengan kepala oleh Reyka.

“Australi?!” tebak Bianca. Reyka masih menggeleng. Mencoba membuat teka-teki pada teman-temannya.

“Nama benua apa lagi sih, gue lupa!” sambung Kamila.

“Ya Allah, kelas tiga SMA gak hafal nama-nama benua. Malu-maluin, balik lagi lo ke SMP!” protes Nada.

“Ya, kan, gue sekolah jurusan IPA, bukan IPS!” Kamila membela diri sambil menekuk muka.

“Afrika!” tebak Silmi.

“Ya elah, malah ngabsen nama benua!” Annisa berkomentar.

“Mau ke Afrika Rey? Meneruskan nama almamater yang melekat dari SMP, SMA terus lanjut ke Mesir sana?” Silmi masih penasaran.

“Bukan!!” Reyka mulai memberi petunjuk.

“Berarti benua yang belum disebut tinggal Asia nih. Betul?” tanya Bianca. Reyka menjentikkan jemari. “Singapur?” tebak Bianca yang masih dijawab Reyka dengan gelengan kepala.

“Punya iklim subtropis, biar bisa main salju,” petunjuk selanjutnya dari Reyka.

“Jepang!!” teriak kelima temannya bersamaan. Semua beradu telapak tangan merasa berhasil menebak negara tujuan Reyka.

“Sayangnya, jawaban kalian belum benar!” ujar Reyka santai lalu meminum sisa jus jeruknya hingga tandas.

“Capek Rey, nyerah deh! Tinggal bilang doang mau kuliah di mana repot bener sampai kita harus flash back pelajaran geografi!” keluh Kamila. Reyka malah tertawa, memamerkan lesung pipi yang selalu membuat teman-temannya gemas.

“Mau tahu?” Reyka belum puas memberikan teka-teki. Diangguki oleh teman-temannya. “Jawabannya, KO-RE-A!” Sebelah alis Reyka naik saat mengatakannya. Membuat pesona dalam dirinya begitu menggoda.

“Hah? Lo ke sana mau ngejar Song Jong Ki?” binar tak percaya terpancar di wajah Bianca.

“Ntar kalau gue ketemu sama dia, gue sampaikan deh salam dari lo semua!” ucap Reyka yang hanya memberika harapan palsu.

“Gila lo, ya, diam-diam demam Korea juga. Kirain kita doang yang mabok sama drakor,” seru Annisa. Kelima teman Reyka memang penggemar drama Korea, hanya saja dengan tingkat kecanduan yang berbeda-beda. Yang paling tinggi tingkatnya adalah Bianca dan Annisa.

Mereka selalu bertukar informasi jika ada drama baru yang dirasa seru dan saling bertukar pranala untuk bisa menonton. Reyka selama ini mencoba cuek sampai akhirnya penasaran dan mulai ikut menonton drama tanpa banyak berkomentar pada teman-temannya.

“Rey.. Rey! Ngedrakor juga lo, pada akhirnya,” ucap Nada.

“Iya, ini juga efek racun dari kalian semua selama berbulan-bulan. Bahas terus drakor sampai panas dengernya,” keluh Reyka.

“Racunnya tapi gak bikin lo mati, kan? Malah bisa bikin lo melayang-layang karena baper,” goda Bianca.

“Kalau mau kuliah di sana, lo harus mulai belajar bahasa Korea, Rey,” saran Silmi.

“OTW belajar nih Sis, gue udah hampir dua bulan les bahasa Korea,” jawab Reyka.

“Ini orang memang perfect, persiapannya gak main-main,” komentar Nada.

Bel sekolah berbunyi. Tanda jam istirahat telah usai. Reyka dan kelima temannya beranjak meninggalkan kantin.

“Ngambil jurusan apa Rey nanti?” tanya Kamila masih penasaran di tengah perjalanan mereka menuju kelas.

“Pengennya broadcast atau entertain gitu, deh.”

“AAA!! Beneran, lo mau ketemu Jongki-Oppa?” Bianca merangkul bahu Reyka tiba-tiba. “Saranghae-Oppa!” khayalan Bianca kembali aktif.

“Halunya dilanjut nanti, sekarang kita belajar lagi!” Reyka berusaha menyadarkan Bianca sambil menepuk pipinya. Tawa terurai dari enam orang yang sudah bersahabat sejak kelas satu SMA.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status