Share

Part 3

last update Huling Na-update: 2022-07-16 12:21:20

Ini uangku, Mas

Part 3

 

"Ibu ..., aku juga mau Mimi jadi artis, beliin aku hp, Mas Aga ..., bantuin mmm." 

 

Lebay sekali Ima menangis. Seperti anak kecil meraung minta dibelikan sesuatu. Padahal punya cincin emas yang bisa dijual, lah aku, hanya anting perak dan berdaster bolong.

 

"Tuh, istrimu perhitungan, ada duit bukannya bantu adikmu malah cuek seperti nggak punya perasaan." Suara ibu terdengar lantang menyindir. Aku tetap berbaring di kamar pura-pura tidur.

 

"Lagian Ima ada emas, jual saja kenapa?" Terdengar tanggapan mas Aga. Kali ini ia membelaku.

 

"Hey Ga, pikir ya, jika perhiasan dijual, ntar Ima nggak bisa membangga lagi di warung, apa lagi sama Mpok Leha, pasti ia cari cara membuat adikmu rendah."

 

"Mpok Leha wajar punya uang banyak, suaminya baru jual tanah, jangan lihat ke atas lah, Bu."

 

"Kamu mana ngerti, pergi pagi pulang sore, kalau Ima banyak emas, setidaknya Ibu juga ikut membangga, nggak malu punya mantu pelit kayak istrimu. Coba kamu menikah dengan wanita kaya, aku nggak bakalan makan hati dengan sikap istrimu."

 

Dadaku panas mendengar ucapan ibu. Sebenarnya sudah setiap hari aku dengar ucapan pedasnya, tapi tetap saja bikin sakit dan nyesek. Aku bertekad akan kumpulin uang untuk cari kontrakkan. Seatap dengan mertua dan ipar sangat tak tenang.

 

"Pokoknya, Ima harus beli hp, kamu carikan uang dua juta, atau mau kusumpahi masuk neraka jadi anak durhaka?!"

 

"Tapi, Bu. Aku dapat uang dari mana? Gajiku Ibu tau berapa."

 

"Ibu nggak mau tau! Sana kompromi ma istrimu." Kata-kata ibu terdengar memaksa.

 

Tidak terdengar lagi perdebatan di luar. Aku tahu mas Aga memilih diam. Ibunya masih kukuh agar dicarikan uang dua juta untuk Ima. Apa dia tak mikir putranya hanya pegawai swasta dengan penghasilan pas-pasan?

 

***

 

Selesai salat magrib, aku memasak telur dadar karena Mas Aga sangat suka. Tadinya ikan gulai yang kumasak habis, tentu saja habis, Ima makan empat kali, belum lagi sekali makan ambil dua atau tiga potong ikan. 

 

"Ini, Mas," ucapku meletakkan telur dadar di dekat piring nasinya.

 

"Ya," jawab mas Aga langsung makan. Aku duduk menemani.

 

"Tia sudah makan, Mit?"

 

"Sudah, tadi makan sebelum magrib, Mas," jawabku.

 

"Gimana dengan novelmu? Ada laris?"

 

"Alhamdulillah, Mas. Lagian aku juga baru menulis, belum seberapa."

 

"Itu sistemnya transfer ya?"

 

"Iya."

 

"Emang dapat berapa kemaren?"

 

"Dua juta delapan ratus, Mas."

 

"Ooh," jawab mas Aga tetap melanjutkan makan.

 

Tumben mas Aga banyak tanya. Cara nanya pun terdengar baik. Biasanya sebelum tahu aku menulis, ia dan ibu serta Ima sering mengatai aku sok kaya karena main f******k. Bukan hanya itu, bahkan ibu mertua bilang aku puber karena meniru anak muda.

 

"Ma, lihat nih." Tiba-tiba Tia mendekat dan memperlihatkan layar ponselnya.

 

"Ini benaran?" tanyaku terkejut, bahkan sangat terkejut.

 

"Iya, Ma," jawab Tia tersenyum senang.

 

Akan tetapi, ini menjadi pusat perhatian Ima dan ibu. Mereka sedang duduk depan televisi, langsung berbisik-bisik melihat kami. Jiwa kepo mereka melunjak sepertinya.

 

"Ada apa Tia?" tanya mas Aga ke Tia.

 

"Ini, Pa, aku dibayar buat endorse sepatu joging."

 

"Benaran, Tia?" tanya Mimi terdengar lantang. Tepatnya juga terkejut.

 

"Edors tu siapa, Mi?" tanya Ima ke putrinya.

 

"Tia sudah punya pacar? Uh! Kecil-kecil bukan sekolah, hey Mita! Ajarin anakmu jauh dari zina," ucap ibu sewot.

 

Astagfirullahalazimm. Aku mengurut dada sambil menghela nafas. Ini mertua dan ipar sok tahu. 

 

"Ibu kenapa suozon, sih?" tukas suamiku.

 

"Siapa yang suozon, itu si endor pasti pacarnya Tia, jadi gini ia dibeliin hp? Biar bebas pacaran. Didikan nggak benar, sudah pelit, nggak bisa mendidik anak," cerocos ibu belum juga berhenti.

 

"Ih, Nenek, endorse ... bukan endor," bantah Mimi.

 

"Tetap aja sama, toh sama-sama nama lelaki," kata Ima sambil melirik sinis padaku.

 

"Bibi kok ngomongnya gitu? Siapa juga yang pacaran, jangan asal nuduh," ucap Tia kesal. Pantas lah ia kesal, toh itu tak benar kok.

 

"Bunda dengar dulu, Tia tu dibayar buat endorse produk yang akan dijual, kali ini barangnya sepatu joging," jelas Mimi ke Bundanya.

 

Seketika ibu dan Ima mangap dengan mata membulat. Untung tidak ada lalat masuk ke mulut mereka.

 

Aku dan Tia bertatapan sambil tersenyum.

 

"Makanya jangan suozon, kalau tidak ngerti ya ditanya dulu, ini main tuduh saja," ucapku datar. Mau keluarkan suara tinggi, tapi aku masih menghormati suamiku.

 

"Be-berarti dapat duit dong?" Ima tergagap.

 

"Iya, Bunda."

 

"Benaran Tia?" Ima melihat ke Tia.

 

"Iya, Bi. Jangan asal nuduh." Alis Tia bertaut.

 

"Kalau gitu, kamu juga harus masuk tik tok, Mi, biar dapat duit juga."

 

"Bukan hanya tik tok, Bun, Tia juga selebgram."

 

"Selebgram apaan? Salep buat dijual juga?" Kali ini ibu yang bertanya.

 

"Ha ha ha." Mimi dan Tia langsung tertawa kencang. Aku berusaha menahan tawa, begitu juga dengan suamiku. Sementara Ima melongo seperti tidak mengerti.

 

"Mimi, Tia! Sudah cukup! Maklum Nenek belum mengerti," bela mas Aga.

 

"Maaf, Pa," jawab Tia.

 

"Abis Nenek lucu, selebgram dibilang salep, Ha ha ha." Mimi mengeluarkan tawa besarnya.

 

"Selebgram itu, selebriti i*******m, jadi ada nama aplikasi selain tik tok, namanya i*******m, Bu," jelas mas Aga ke ibunya.

 

"Jadi bukan hanya artis tik tok? Ada lagi yang lain?" Ima berambisi ingin tahu.

 

"Iya, Bi, ntar kalau honorku sudah cair, Bibi aku beliin lipstik deh," kata Tia. Ia tahu kalau Ima paling suka pakai lipstik merah sepanjang hari, katanya biar seperti orang kaya dengan dandan.

 

"Benaran ya Tia, tapi bedak juga dong, sekalian deodorant juga, he he he."

 

Ini nih, Ima. Dikasih hati minta jantung. Tadi saja bilang putriku kecentilan main tik tok, trus dibilang pacaran juga. Tipe manusia berburuk sangka. Kalau tidak mengerti ya tanya, bukan main tuduh, akhirnya malu sendiri. Tapi kayaknya Ima nggak bakalan malu deh, buktinya ia minta lipstik dan deodorant juga.

 

"Tia, jika sudah terkenal, jaga sikap, terutama mulut dan hati, jangan suka berburuk sangka, dosa loh," nasehatku ke Tia. Sebenarnya menyindir ibu dan Ima. 

 

"Iya, Ma, lagian aku ingin bantu Mama dan Papa agar kita bisa punya rumah sendiri," jawab Tia sangat mengerti kondisiku di rumah ini.

 

"A-apa? Beli rumah? Emang bisa? Kok banyak amat duitnya?" tanya Ima, alisnya naik berucap dengan suara tergagap.

 

"InsyaAllah, Bi," jawab Tia disela senyum melirikku.

 

"Ntar beliin Mimi hp ya, Tia? Biar bisa terkenal sepertimu," pinta Ibu sangat lembut. Tadi menuduh dengan nada miring, lah sekarang terdengar lembut.

 

Tanpa menjawab mulut ibu dan Ima, mereka tertampar sendiri dengan kebodohan mereka. Aku sabar karena masih tinggal di rumah mertua, mau mandiri belum cukup biaya. Sabar hingga suatu saat aku bisa membeli rumah, mungkin mengontrak dulu awalnya. Mudah-mudahan.

 

***

 

Hari ini mas Aga gajian. Aku berharap besok bisa bayar hutang warung. Uangku sengaja kusimpan dulu karena itu peganganku. 

 

"Mas Aga, ini silahkan minum kopinya." Tiba-tiba Ima yang membuatkan suamiku kopi. Biasanya aku, terlambat sesaat saja, Ima sudah duluan. Tapi ..., tumben ia yang bikinin kopi?

 

"Makasi, Im," jawab mas Aga. 

 

"Iya, Mas." Ima tersenyum lebar. Lalu ia berlalu pergi ke luar dengan Mimi.

 

"Mas, tadi aku ingin bikinin kopi tapi ...."

 

"Nggak apa-apa, Mita, sama saja, yang penting aku minum kopi." Mas Aga tersenyum hangat sambil membuka sepatu.

 

Aku duduk di tepi ranjang menunggu mas Aga selesai mandi. Kusiapkan pakaian dalam serta satu stel baju rumahnya. Tak lama kemudian mas Aga masuk hanya berbalut handuk. Kamar mandi hanya satu yaitu di sudut dapur.

 

Mas Aga memakai pakaian. Lalu ia mengambil tas kerjanya.

 

"Mita, ini gajiku, tapi ...." Mas Aga menyodorkan amplop coklat, tapi ia tak melanjutkan kata-katanya.

 

"Tapi kenapa, Mas?" tanyaku menerima amplop itu.

 

Mas Aga diam menatap lantai.

 

Kubuka amplop itu. Tapi kenapa terasa sangat tipis?

 

"Loh, kok cuma tiga ratus ribu, Mas?"

 

"Kamu masih punya simpanan bukan? Lagian Tia juga punya uang sebentar lagi, bantuin aku kali ini memenuhi permintaan Ibu. Aku tak ingin melawan Ibu."

 

"Tapi nggak bisa begini, Mas, dapat apa sebulan hanya tiga ratus ribu."

 

"Pakai uangmu dulu, sudah ah, jangan ribut, aku capek." Lalu mas Aga berlalu ke luar kamar.

 

Uh! Kesal sekali. Pasti gara-gara membelikan Ima ponsel. Pantas ia yang bikini suamiku kopi. 

 

Oke, oke ..., aku tidak bisa seperti ini. Akan kuperlihatkan dengan uang tiga ratus ribu dapat apa selama sebulan, tanpa menyentuh uangku.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Parah banget suaminya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jadi istri koq goblok banget. punya mertua dan ipar begitu koq betah hidup seatap
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Ini Uangku, Mas!   Part 62 Ending

    Ini uangku, MasPart 62 ( ending )Sulit kuungkapkan kata-kata betapa terkejutnya aku dengan lamaran ini. Istri mantan suamiku ingin melamarku? Ide gila macam apa yang ada dipikiran Bulbul dan mas Aga. "Ini pasti lelucon. Bul, kamu sadar dengan maksud kedatanganmu?" Kuulangi bertanya.Bulbul menatap mas Aga sebentar. Mas Aga justru menatapku. Netranya membicarakan betapa ia menginkanku lagi jadi istrinya. Namun, tidak di diriku."Aku sadar, Kak. Kita berbagi suami, dan ini juga banyak terjadi di luar sana.""Aku akan berusaha adil, Mit," ucap mas Aga. Tak ada rasa bersalah dan ia berucap seperti seorang lelaki yang kuharapkan lagi seperti dulu. Justru dengan keadaan seperti ini membuatku semakin tak suka.Di cerbung yang kutulis. Ada beberapa kisah pelakor dengan judul 'Anaknya mirip suamiku' dan 'Acara di rumah ibumu'. Di sana kutulis ada yang terinspirasi dari kisah nyata. Tapi itu hanya cerita yang kugabung dari beberapa kisah. Intinya aku tak suka jika berbagi suami walaupun buka

  • Ini Uangku, Mas!   Part 61 Lamaran

    Ini uangku, MasPart 61 ( lamaran )"Dasar si Aga, siang hari mabuk, apa nggak punya malu," cerocos Ibu sambil meletakan secangkir kopi."Sudah, Bu, yang penting sekarang sudah aman," kata ayah."Iya, tapi tetap aja bukan contoh yang baik, lah mabuk terlihat Tia, apa dia nggak mikir, bodoh dipelihara.""Sst!" Ayah menempelkan telunjuk depan bibir menyuruh ibu diam. "Ada Tia, Bu, kasihan," ucap ayah melirik Tia yang sedang duduk di sampingku. Tentu kami menyimak obrolan ibu dan ayah.Kulihat Tia, ia seperti memikirkan sesuatu, pasti tentang papanya. Seharusnya ia tak melihat mas Aga mabuk. Dan ini pertama kalinya kulihat mantan suami seperti itu. Apakah karena ada masalah. Setahuku ia bukan tipe lelaki peminum alkohol.Mungkinkah tentang pelet itu benar? Kasihan Bulbul. Ia masuk ke keluarga yang salah. Seandainya sikap Ima dan ibunya berubah, aku yakin Bulbul bahagia bersama mas Aga. "Ma, jadi orang mabuk seperti Papa itu ya?" tanya Tia."Ya, tapi nggak usah dipikirkan," jawabku. "K

  • Ini Uangku, Mas!   Part 60 Kesadaran Dalam Musibah

    Ini uangku, MasPart 60 ( kesadaran dalam musibah )Pov BulbulDulu, aku tak peduli dengan kata cinta. Tujuan menikah dengan mas Aga sekedar ingin punya keturunan. Hidup sebatang kara. Berjuang sendiri agar dihargai. Dari kecil hinaan terus kuterima dengan sakit hati. Orang tuaku selalu mengajarkan, 'buktikan kamu sukses dengan pikiran, jika fisik yang kamu sesali berarti kamu membenci pemberian Tuhan', itulah yang selalu kutanamkan. Hingga menata hati tak akan pernah mencintai lelaki mana pun."Mas, ayo pulang." Kutarik tangan mas Aga. Ia masih suamiku, jika pernikahan ini karena pengaruh pelet, itu bukan salahnya."Bul, itu Mita kan?" Mas Aga menunjuk kak Mita. Bau minuman alkohol menyengat dari mulutnya. Dulu aku tidak cemburu karena aku tahu mereka sudah bercerai. Kak Mita tidak pernah menunjukan ingin rujuk. Itulah kenapa aku bisa menerima dengan akal sehat. Namun, kali ini aku cemburu. Aku tak rela melihat suamiku masih mengharapkan mantan istrinya. Apakah 'cinta' tak pernah b

  • Ini Uangku, Mas!   Part 59 Kacau

    Ini uangku, MasPart 59 ( kacau )Pov Aga_2Apa yang terjadi padaku? Kenapa Bulbul? Ah! Aku bingung. Rasa ingin jauh darinya. Kok mendadak rasaku bisa berubah dengan sekejap. Rasa cinta dan menggebu berubah seiring melihatnya tampak beda hari ini."Bu, Ima, ada apa dengan Mas Aga? Kenapa ia terlihat aneh hari ini?" Bulbul bertanya seolah ia istriku. Maksudku istri yang kucinta. Ah! Aku sulit menjelaskanya."Bulbul, mungkin Aga kurang enak badan," jawab ibu."Ibu, i-ini kenapa? Aku aku ...." "Sudahlah, Mas, ayo duduk dulu." Ima menarik tanganku."Ima, kenapa temanmu sekamar denganku?" bisiku saat melangkah ke kursi."Bulbul istrimu, Mas," jawab Ima juga berbisik."Nggak mungkin! Tapi bukan yang itu!" ucapku lantang karena tak menerima semua ini. Aku tak ingin menikahi Bulbul, lagian bukan Bulbul yang ini yang ingin kujadikan istri."Kecilkan suaramu, Mas." Ima berbisik menekan suara agar tak didengar Bulbul. "Apa yang tidak mungkin, Mas Aga?" tanya Bulbul. Kupalingkan ke belakang,

  • Ini Uangku, Mas!   Part 58 Astagfirullahalaziim

    Ini uangku, MasPart 58 ( pov Aga : Astagfirullah'alaziim! )Pov Aga"Mita! Tunggu dulu, aku belum selsai ngomong!"Mita terus melangkah memasuki pagar rumahnya."Mita! Atau seperempat aja bagianku! Aku butuh buat membahagiakan Bulbul, Mita!""Jangan teriak-teriak!" bentak Mita tanpa menoleh padaku."Maka dengarin, bukan pergi gitu aja.""Brisik!" Prak!Pintu dihempaskannya ditutup."Mita! Mita!"Ia tak peduli dengan panggilanku. Justru hempasan pintu yang kudapat seiring bentakannya. Dasar maruk!"Mita!"Sekencang apa pun aku memanggilnya, tetap saja ia tak peduli. Padahal sudah kuberi ide bagus agar kita sama-sama adil dalam memiliki Tia. Tanpa aku Tia belum tentu bisa ada di dunia ini, bibitku hebat bisa mempunyai anak berbakat. Seharusnya Mita menyadari itu.Kemana lagi kucari uang biar bisa beli mobil. Bulbul pasti senang jika aku juga mampu. Dengan gajiku tak akan cukup. Lagian ibu dan Ima juga harus kubiayai, belum lagi makan Mimi juga banyak. Ima dan Mimi sama banyak makanny

  • Ini Uangku, Mas!   Part 57 Bicara Pikirkan Dulu

    Ini uangku, MasPart 57 ( bicara dipikirkan dulu )Aku tak ingin masuk ke lubang yang sama. Bertahun-tahun sudah cukup bagiku mengenal ibu mantan mertua dan Ima, apa lagi mantan suamiku. Jika ia mengakui dosanya, itu bukan urusanku karena yang diperbuat itu lah yang dipetik.Hanya prihatin. Aku tak ingin ikut campur dengan urusan yang bukan urusanku. Jika pernikahan mas Aga dengan Bulbul di luar kesadaran mas Aga, yang patut dipersalahkan adalah ibunya dan adiknya. "Mita.""Astagfirullah'alaziim." Aku mengucap terkejut. Tiba-tiba pundakku ditepuk ibu dari belakang."Melamun aja, mikirin apa?" "Oh, nggak, nggak ada, Bu," jawabku lalu pura-pura sibuk melihat layar ponsel. "Kamu tu lahir dari rahim Ibu, kamu sedang bohong, pura-pura, sedih, atau menyembunyikan sesuatu, Ibu pasti tau."Tuh kan, sudah berusaha menghindari, tetap saja ibu tahu. Sebenarnya malas bicara jujur. Ujung-ujungnya aku pasti kena semprot jika membahas tentang keluarga mantan suamiku."Ya udah, tapi ingat, serapi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status