Share

Part 2

Penulis: Rita Febriyeni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-16 12:20:53

Ini uangku, Mas

Part 2

 

"Satu dua tiga empat ...."

 

"Banyak duit ya, Mbak?" Tiba-tiba Ima nongol depan pintu kamarku. Aku menghitung uang sisa hasil menulis karena dua juta sudah kubelikan ponsel. Alhamdulillah sisa sekitar delapan ratus ribu.

 

"Alhamdulillah," jawabku langsung memasukan uang ke saku baju daster yang kukenakan. Melihat gelagat Ima, pasti ada maunya.

 

Ima masuk. "Aku bisa pinjam uang nggak Mbak?"

 

Benar firasatku. Ima pasti ada maunya. Pantas bicaranya baik.

 

"Nggak bisa," jawabku dingin tanpa melihatnya. 

 

"Pelit amat sih, Mbak, lagian kalau tidak perlu aku juga nggak bakalan minjam."

 

Aku diam tidak memperdulikan Ima, lalu melangkah ke luar kamar. Ima mengikutiku dari belakang karena masih kukuh agar kupinjamkan uang.

 

"Lagian aku juga pengen beli hp buat Mimi, Mbak."

 

Aku langsung berpaling menatap wajah Ima. Ia memasang senyum termanis namun aku tahu itu senyum tak iklas.

 

"Beli hp minjam uang?" tanyaku memperjelas agar terdengar ibu dan mas Aga. Tapi sepertinya mas Aga tidak mendengar karena duduk di teras. Sengaja kuperjelas karena tadi ini pokok bahan perdebatan.

 

"Iya, aku juga pengen Mimi kayak Tia, katanya Tia artis tik tok, ya? Trus dapat duit banyak?"

 

"Kamu percaya aja yang diomongin Tia, mana ada anak kelas satu SMP bisa cari duit dengan gaya aneh itu," sanggah ibu sambil duduk memotong kuku.

 

"Tapi kata Mimi benar loh, Bu."

 

"Jangan mau dibodohi anak kecil."

 

"Tapi Mbak Mita juga dapat duit dari nulis cerita, buktinya ia bisa beli hp baru."

 

"Kamu tu bodoh atau oon? Ini cuma akal-akalan dia aja agar kita tak minta jatah, mungkin Mas mu lagi dapat bonus."

 

Astaga naga. Kapan ibu mertua bisa menghargaiku. Andaikan aku punya uang banyak buat ngontrak rumah, sudah lama aku minggat dari rumah ini. Lagian hasil dari menulis belum bisa kutabung, menulis baru dua bulan. Dan ini sisanya pasti terpakai menutupi hutang di warung. 

 

"Benaran Mbak? Mas Aga dapat bonus berapa?" Mendadak senyum dibibir Ima lenyap setelah mendengar ucapan ibu.

 

"Tanya tuh sama Mas Aga," jawabku menujuk suamiku.

 

"Pasti kutanya, awas ya, kalau Ibu benar dan Mbak nggak mau kasih, Mas Aga tu kakakku, aku juga punya hak loh." Ngancam nih benalu rumah tanggaku.

 

"Kalau kamu janda baru ada hak," jawabku duduk depan televisi ingin melipat baju. Tumpukan jemuran tadi siang belum sempat kulipat karena hampir semua pekerjaan rumah kuselesaikan. Menunggu Ima percuma, ia pemalas dan kerjanya nonton seharian. Ibu pun tidak menegurnya.

 

"Jadi Mbak niatkan aku menjada? Ngomong dipikir dong!" Suara Ima terdengar keras, hingga mas Aga masuk menatapku.

 

"Bukan gitu, Im, bukannya tadi kamu bilang tentang hak, makanya kuperjelas, hak kamu ya pada suamimu."

 

"Hey Mita, kamu tu punya mulut jangan asal ngomong, Ibu juga dengar kamu bilang tentang janda." Kali ini ibu ikut berduara. Seperti biasa, satu mulut lawan tiga mulut. Sebentar lagi mungkin suamiku ikut bersuara. Dari tatapannya sangat terlihat.

 

"Mas Aga, Mbak Mita keterlaluan, aku diniatkan menjanda." Ima mengeluarkan air mata mengadu.

 

Air mata buaya. Aku terpojokan. Ima biang kerok aku dimarahi mas Aga. Lama-lama bosan kalau diam. Diam bikin otakku sakit menahan emosi. Dan diam juga akan membenarkan pernyataan Ima.

 

"Mita, betul yang dikatakan Ima?" tanya suamiku.

 

"Bukan gitu, Mas. Tadi Ima bilang kalau ia masih punya hak atas uang yang kamu dapat karena ia adikmu. Kuperjelas, jika wanita sudah menikah, haknya ada bersama suami, kecuali ia janda."

 

"Iya, Im, Mita benar tuh. Lagian kenapa bilang masalah hak sih? Seperti nggak ada bahasan saja."

 

"Mas tega ya melupakan aku sebagai adik, mentang-mentang sudah beristri aku ... mmm." Tangis Ima pecah seketika. Lalu Ibu mendekatinya.

 

"Bukan gitu ...." Mas Aga kesulitan menjawab. Seperti tak enak karena melihat mimik wajah ibunya.

 

"Hey Ga! Kamu tu lebih dulu jadi kakak ketimbang jadi suami, apa lagi jadi anak. Jangan mentang-mentang beristri kamu bebas nyakitin saudara sendiri."

 

Tuh kan, apa yang kuduga terjadi juga. Ibu pasti membela putrinya dan memojokkan aku. Dan seperti biasa juga, mas Aga diam tak berani membantah ibu. Ujung-ujungnya aku disuruh diam dan mengalah. Tapi tak selamanya hati ini ingin mengalah.

 

"Iya, Bu. Maaf, lagian kenapa ngomong hak sih?" Suara mas Aga melunak.

 

Ima menghapus air matanya, lalu berucap, "Aku mau pinjam uang, tapi tak dapat, padahal uang Mbak Mita banyak, dulu saat Mas Aga belum nikah, aku sering dijatah perbulan, tapi sekarang ...."

 

'Tahan Mita, tahan,' ucapku di hati.

 

"Kalau punya uang banyak, pinjamin apa salahnya, Mit." Mas Aga melihatku.

 

"Uang dari mana? Toh uang dipinjam untuk beli hp buat Mimi. Bukankah hp benda tak penting dan menghamburkan uang saja," jawabku menyindir mereka bertiga.

 

"Iya, Im. Lagian kenapa beli hp, sih? Barusan ini sudah kita bahas."

 

"Aku mau Mimi juga kayak Tia, jadi artis tik tok, katanya dapat duit dengan joget-joget doank," jawab Ima meiba.

 

"Idih." Ibu mendorong bahu Ima. "Kirain buat hal penting, kamu mau niru orang joget-joget nggak jelas? Seperti orang gila aja," cerocos ibu. Sudah pasti menyindirku lagi.

 

"Ibu nih gimana sih? Kalau Mimi terkenal dan banyak duit, Ibu kubelikan mobil biar orang sekampung menghargai kita karena jadi orang kaya."

 

"Tapi itu nggak bakalan mungkin. Ini pasti akal-akalan si Mita agar tidak dimarahi beliin Tia hp."

 

Yah, kok membahas ponsel lagi. Baru juga diam.

 

"Tadi aja kulihat Mbak Mita lagi hitung duit, lagian sekarang tanggal tua, nggak mungkin Mbak Mita punya duit banyak."

 

Dasar ipar julid. Aku yang punya uang, ia yang sewot.

 

"Betul kamu punya uang banyak Mit?" tanya mas Aga.

 

"Nggak banyak kok," jawabku, sebenarnya tak ingin suamiku tahu, tapi mau gimana lagi, Ima terlanjur lihat. Sepertinya gerak gerikku dimata-matai di rumah ini.

 

"Apa salahnya kamu pinjamin Ima, ia adikku loh."

 

"Uangku cuma dikit, Mas, lagian aku mau beli daster, lihat nih dasterku pada bolong," jawabku sambil mengangkat ketek. Dasterku robek lalu ada bekas jahitan yang tak rapi, sebenarnya tak layak dijahit lagi karena sudah berulang kali dijahit di tempat yang sama.

 

"Beli daster bisa belakangan, lagian Ima lebih butuh agar Mimi juga punya hp seperti Tia."

 

"Loh, aku juga butuh daster, Mas. Masak untuk minjamin uang mengorbankan keperluanku. Lagian cuma buat beli hp, benda yang tak penting!" Sindirku lagi. Mulut ibu bertaut dan bergelombang melirikku.

 

"Trus, kenapa giliran Ima kamu nggak marah beli hp, Mas?" sambungku.

 

"Lagian aku belum tau gunanya apa, Mit."

 

"Trus, kenapa nggak jual aja cincin atau gelang emas Ima buat beli hp, ngapain pinjam kalau ada simpanan."

 

"Eh Mbak, ini emas buat lihatin ke tetangga biar aku dihargai. Lagian apa salahnya pinjamin uang yang kamu simpan, toh beli daster nggak seberapa kok."

 

Lama-lama iparku mau kugoreng lidahnya. Mau bergaya rela ngutang? Aku aja ingin beli daster usaha sendiri. Kalau pun ada uang lebih, ogah minjamin dia. Aku saja tak dihargai. Lagian suamiku tak peduli jika baju rumahku robek.

 

"Maaf ya, Im. Aku juga ingin dihargai dengan beli daster baru dan beli emas."

 

"Kamu tu pelit amat sih, Mit." Akhirnya ibu mertua mengeluarkan lagi suara lantangnya.

 

"Sudah lah, Mit, pinjamin apa salahnya, lagian itu uang juga dariku, mana ada nulis dapat uang segitu, kalahin gajiku pula lagi." Mas Aga meremehkanku.

 

Percuma berdebat. Aku langsung berdiri mendengar ucapan mas Aga.

 

"Ini bukan dari gajimu, Mas, ini hasilku menulis, uang kamu berikan sering kurang lantaran membiayai makan seisi rumah. Aku juga sering ngutang di warung karena tak cukup."

 

"Kalau tak cukup, itu gunanya kamu bisa mencukupi, itu gunanya hidup berumah tangga, kalau benar ada uangmu hasil menulis."

 

"Ini uangku, Mas."

 

"Apa salahnya dipinjamin," tukas ibu.

 

"Maaf, aku juga ada kebutuhan selain makan."

 

"Mita! Mita!" teriak suamiku. Aku berlalu masuk kamar tanpa mempedulikannya. Bukan saja mas Aga, ibu mertua juga ikut berteriak memanggilku. Sementara Ima semakin menjadi menangis agar uangku beralih ke tangannya. 

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Keluarga toxic dan egois
goodnovel comment avatar
Gary
tur tlg jgn buat mita lemah dan mengalah. jadikan dia wanita yg kuat dan tegas ya. aku br bc 1 eps sdh tertarik sm ceritanya... ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ini Uangku, Mas!   Part 62 Ending

    Ini uangku, MasPart 62 ( ending )Sulit kuungkapkan kata-kata betapa terkejutnya aku dengan lamaran ini. Istri mantan suamiku ingin melamarku? Ide gila macam apa yang ada dipikiran Bulbul dan mas Aga. "Ini pasti lelucon. Bul, kamu sadar dengan maksud kedatanganmu?" Kuulangi bertanya.Bulbul menatap mas Aga sebentar. Mas Aga justru menatapku. Netranya membicarakan betapa ia menginkanku lagi jadi istrinya. Namun, tidak di diriku."Aku sadar, Kak. Kita berbagi suami, dan ini juga banyak terjadi di luar sana.""Aku akan berusaha adil, Mit," ucap mas Aga. Tak ada rasa bersalah dan ia berucap seperti seorang lelaki yang kuharapkan lagi seperti dulu. Justru dengan keadaan seperti ini membuatku semakin tak suka.Di cerbung yang kutulis. Ada beberapa kisah pelakor dengan judul 'Anaknya mirip suamiku' dan 'Acara di rumah ibumu'. Di sana kutulis ada yang terinspirasi dari kisah nyata. Tapi itu hanya cerita yang kugabung dari beberapa kisah. Intinya aku tak suka jika berbagi suami walaupun buka

  • Ini Uangku, Mas!   Part 61 Lamaran

    Ini uangku, MasPart 61 ( lamaran )"Dasar si Aga, siang hari mabuk, apa nggak punya malu," cerocos Ibu sambil meletakan secangkir kopi."Sudah, Bu, yang penting sekarang sudah aman," kata ayah."Iya, tapi tetap aja bukan contoh yang baik, lah mabuk terlihat Tia, apa dia nggak mikir, bodoh dipelihara.""Sst!" Ayah menempelkan telunjuk depan bibir menyuruh ibu diam. "Ada Tia, Bu, kasihan," ucap ayah melirik Tia yang sedang duduk di sampingku. Tentu kami menyimak obrolan ibu dan ayah.Kulihat Tia, ia seperti memikirkan sesuatu, pasti tentang papanya. Seharusnya ia tak melihat mas Aga mabuk. Dan ini pertama kalinya kulihat mantan suami seperti itu. Apakah karena ada masalah. Setahuku ia bukan tipe lelaki peminum alkohol.Mungkinkah tentang pelet itu benar? Kasihan Bulbul. Ia masuk ke keluarga yang salah. Seandainya sikap Ima dan ibunya berubah, aku yakin Bulbul bahagia bersama mas Aga. "Ma, jadi orang mabuk seperti Papa itu ya?" tanya Tia."Ya, tapi nggak usah dipikirkan," jawabku. "K

  • Ini Uangku, Mas!   Part 60 Kesadaran Dalam Musibah

    Ini uangku, MasPart 60 ( kesadaran dalam musibah )Pov BulbulDulu, aku tak peduli dengan kata cinta. Tujuan menikah dengan mas Aga sekedar ingin punya keturunan. Hidup sebatang kara. Berjuang sendiri agar dihargai. Dari kecil hinaan terus kuterima dengan sakit hati. Orang tuaku selalu mengajarkan, 'buktikan kamu sukses dengan pikiran, jika fisik yang kamu sesali berarti kamu membenci pemberian Tuhan', itulah yang selalu kutanamkan. Hingga menata hati tak akan pernah mencintai lelaki mana pun."Mas, ayo pulang." Kutarik tangan mas Aga. Ia masih suamiku, jika pernikahan ini karena pengaruh pelet, itu bukan salahnya."Bul, itu Mita kan?" Mas Aga menunjuk kak Mita. Bau minuman alkohol menyengat dari mulutnya. Dulu aku tidak cemburu karena aku tahu mereka sudah bercerai. Kak Mita tidak pernah menunjukan ingin rujuk. Itulah kenapa aku bisa menerima dengan akal sehat. Namun, kali ini aku cemburu. Aku tak rela melihat suamiku masih mengharapkan mantan istrinya. Apakah 'cinta' tak pernah b

  • Ini Uangku, Mas!   Part 59 Kacau

    Ini uangku, MasPart 59 ( kacau )Pov Aga_2Apa yang terjadi padaku? Kenapa Bulbul? Ah! Aku bingung. Rasa ingin jauh darinya. Kok mendadak rasaku bisa berubah dengan sekejap. Rasa cinta dan menggebu berubah seiring melihatnya tampak beda hari ini."Bu, Ima, ada apa dengan Mas Aga? Kenapa ia terlihat aneh hari ini?" Bulbul bertanya seolah ia istriku. Maksudku istri yang kucinta. Ah! Aku sulit menjelaskanya."Bulbul, mungkin Aga kurang enak badan," jawab ibu."Ibu, i-ini kenapa? Aku aku ...." "Sudahlah, Mas, ayo duduk dulu." Ima menarik tanganku."Ima, kenapa temanmu sekamar denganku?" bisiku saat melangkah ke kursi."Bulbul istrimu, Mas," jawab Ima juga berbisik."Nggak mungkin! Tapi bukan yang itu!" ucapku lantang karena tak menerima semua ini. Aku tak ingin menikahi Bulbul, lagian bukan Bulbul yang ini yang ingin kujadikan istri."Kecilkan suaramu, Mas." Ima berbisik menekan suara agar tak didengar Bulbul. "Apa yang tidak mungkin, Mas Aga?" tanya Bulbul. Kupalingkan ke belakang,

  • Ini Uangku, Mas!   Part 58 Astagfirullahalaziim

    Ini uangku, MasPart 58 ( pov Aga : Astagfirullah'alaziim! )Pov Aga"Mita! Tunggu dulu, aku belum selsai ngomong!"Mita terus melangkah memasuki pagar rumahnya."Mita! Atau seperempat aja bagianku! Aku butuh buat membahagiakan Bulbul, Mita!""Jangan teriak-teriak!" bentak Mita tanpa menoleh padaku."Maka dengarin, bukan pergi gitu aja.""Brisik!" Prak!Pintu dihempaskannya ditutup."Mita! Mita!"Ia tak peduli dengan panggilanku. Justru hempasan pintu yang kudapat seiring bentakannya. Dasar maruk!"Mita!"Sekencang apa pun aku memanggilnya, tetap saja ia tak peduli. Padahal sudah kuberi ide bagus agar kita sama-sama adil dalam memiliki Tia. Tanpa aku Tia belum tentu bisa ada di dunia ini, bibitku hebat bisa mempunyai anak berbakat. Seharusnya Mita menyadari itu.Kemana lagi kucari uang biar bisa beli mobil. Bulbul pasti senang jika aku juga mampu. Dengan gajiku tak akan cukup. Lagian ibu dan Ima juga harus kubiayai, belum lagi makan Mimi juga banyak. Ima dan Mimi sama banyak makanny

  • Ini Uangku, Mas!   Part 57 Bicara Pikirkan Dulu

    Ini uangku, MasPart 57 ( bicara dipikirkan dulu )Aku tak ingin masuk ke lubang yang sama. Bertahun-tahun sudah cukup bagiku mengenal ibu mantan mertua dan Ima, apa lagi mantan suamiku. Jika ia mengakui dosanya, itu bukan urusanku karena yang diperbuat itu lah yang dipetik.Hanya prihatin. Aku tak ingin ikut campur dengan urusan yang bukan urusanku. Jika pernikahan mas Aga dengan Bulbul di luar kesadaran mas Aga, yang patut dipersalahkan adalah ibunya dan adiknya. "Mita.""Astagfirullah'alaziim." Aku mengucap terkejut. Tiba-tiba pundakku ditepuk ibu dari belakang."Melamun aja, mikirin apa?" "Oh, nggak, nggak ada, Bu," jawabku lalu pura-pura sibuk melihat layar ponsel. "Kamu tu lahir dari rahim Ibu, kamu sedang bohong, pura-pura, sedih, atau menyembunyikan sesuatu, Ibu pasti tau."Tuh kan, sudah berusaha menghindari, tetap saja ibu tahu. Sebenarnya malas bicara jujur. Ujung-ujungnya aku pasti kena semprot jika membahas tentang keluarga mantan suamiku."Ya udah, tapi ingat, serapi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status