Share

Interview

Keesokan harinya. Dengan semangat empat lima. Seperti mau maju ke medan perang. Jam lima pagi aku sudah bangun. Tanpa kata malas. Padahal, kebiasaan burukku, kalau belum pintu kamar digedor sama emak sambil teriak-teriak dengan suara khas beliau yang cempreng, aku gak bakal bangun. Biasa, teriakan emak adalah jam beker alami. 

Mengenakan kemeja putih, rok span pendek selutut warna hitam, gaya andalan pegawai magang. Tak lupa kupoles bedak tipis dan lipstik warna pink muda, warna kesukaanku. Rambut kubiarkan berurai. Terlihat lebih fresh. 

Jam tujuh tepat aku keluar rumah. Kustater sepeda motor matic kesayangan. Hasil kerja paruh waktu semasa kuliah dulu.

Macet, sudah menjadi makanan sehari-hari. Apalagi jam-jam produktif. Setelah sejam berpanas-panas, akhirnya sampai juga di tempat parkir perusahaan.

Luas dan mewah. Bangunan tinggi bertingkat sepuluh berada di depan mata. Megah. Aku masuk perlahan. Kuedarkan pandangan, berharap ada seseorang yang datang membantu.

"Selamat pagi Bu," sapa pak satpam. "Ada yang bisa saya bantu?" sahutnya kemudian.

"Saya Shera, Pak. Ada jadwal interview jam sembilan pagi. Menemui Ibu Sherly," jelasku secara singkat.

"Ruangan Ibu Sherly ada di lantai empat. Ibu Shera lurus saja, lalu belok ke kanan. Lift ada di sebelah kiri,"

"Baik, terima kasih, Pak," ucapku seraya berjalan menuju arah yang di tunjukkan.

Sesampainya di lantai empat. Kuedarkan pandanganku. Di sudut , ada ruangan paling besar. Terdapat papan nama kayu dengan ukiran huruf yang bertuliskan 'HRD' di pintu ruangan. Terkesan elegan dan artistik. 

Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Di salah satu sudut, dekat jendela terlihat kursi tunggu. Kulangkahkan kakiku ke sana. Terlihat pemandangan yang tidak asing dari sini, kemacetan kota Surabaya.

"Pegawai baru kok, suka melamun, awas ntar kesambet setan lewat." Terdengar suara cowok. 

Kutoleh ke arahnya. Sosok jangkung mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam, tanpa dasi. Bersepatu pantofel tertangkap di mataku. 

'Pasti mau wawancara juga ni anak.'

"Malah diem, disapa juga ... woy!" teriaknya sambil menangkupkan kedua tangan di depan wajahku. Aku tersentak.

"Apaan sih, yang ngelamun siapa coba," elakku. 

"Jadi anak baru itu, yang rajin kerja, jangan cuma bengong di sini."

"Aku ... masih mau interview. Belum jadi pegawai sini."

"Saudari Shera, ada yang bernama saudari Shera di sini ... harap segera ke kantor HRD. Di tunggu Ibu Sherly." Seorang ibu paruh baya memanggil. 

"I-iya saya," jawabku sambil melangkahkan kaki.

Kutinggalkan cowok tengil, usil nan dekil itu sendirian. Sekilas nampak seringai andalan playboy cap kapal terbang.

Tok ... tok ... tok ....

Demi menjaga kesopanan kuketok pintu ruangan bu Sherly.

"Masuk." Terdengar sahutan dari dalam.

"Selamat pagi, Bu," sapaku secara formal.

"Selamat pagi, silahkan duduk," jawabnya.

"Dengan Saudari Shera?" Pertanyaan klasik sebagai pembuka interview kerja. 

Setelah beberapa menit berbasa basi. Terdengar nada dering telepon di mejanya.

"Baiklah, Pak, akan saya laksanakan segera." Hanya itu yang tertangkap dengarku. Entah apa yang dibicarakan Bu Sherly, di telepon genggamnya. Beliau menjauh di pojokan, suaranya sangat lirih seakan takut didengar orang lain. Yah, emang ada aku di sini. 

Setelah menunggu sekian lama, interview berlanjut. 

"Selamat, Saudari Shera anda diterima bekerja di perusahaan kami. Mulai besok.Jam kerja hari Senin hingga Jumat pukul sembilan pagi sampai lima sore. Pakaian bebas, rapi, dan sopan. Ada yang perlu ditanyakan?" jelas bu Sherly secara panjang lebar.

"Tidak ada pertanyaan, Bu. Terima kasih, saya permisi."

Keluar dari ruangan bu Sherly, aku tersenyum. 

'Mak anakmu akhirnya diterima kerja,' Ingin rasanya lompat-lompat. 

Namun, aku malu. Banyak mata memandang dengan enggan. 

Dengan terburu-buru aku berjalan menuju pintu keluar. 

Kemudian ....

Bruk!

Aku menabrak dada bidang seorang pangeran. Eh, maksudku seorang laki-laki yang tadi usil mengganggu proses melamun.

'Dia lagi, dia lagi, apa di dunia ini tak ada makhluk yang lain selain cowok astral tak jelas ini?' rutukku dalam hati.

"Eh, tukang lamun udah mau pergi, ditolak kerja ya?" ucapnya. 

Dengan enggan aku jawab, "Sok tau," lalu aku bergegas pergi. Malas meladeni dia yang enggan mengerti.

***

Cuaca terasa panas. Matahari pun bersinar terik. Kuputuskan mampir di salah satu cafe langganan. Mungkin akan jarang aku nongkrong di cafe ini siang-siang. 

Kupesan segelas es jeruk.  Pelepas dahaga di kala bosan melanda. Duduk di pojokan cafe, sambil stalking-stalking instagramnya mantan. Udah punya gebetan baru dia. Lha aku kapan? 

Postingan mantan bikin eneg. Pamer kemesraan yang tak sepatutnya. Fix, aku iri karena masih sendiri. Belum ada pengganti.

Batinku meronta. Tak kuasa melihat, jadi kututup saja dan menyesap minuman yang sudah tak lagi dingin.

 Ah, sebegitu ngenesnya aku, secepat itu dia mendapatkan pengganti. Sedangkan aku, masih sendiri karena gagal move on. Hiks.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status