Share

Chapter 4

"Kamu masukin apa ke sini?" tanya Tamara masih berusaha menelan masakan Clarissa.

"Asam, Bu."

Clarissa menunduk dalam, tak sengaja membubuhkan rempah itu ke dalam kuah yang mendidih.

"Duh Gusti, paling masak begini aja kamu nggak bisa?" Tatapannya menghujam penuh heran, dan kesal.

"Maaf, Bu." Masih tak berani menatap mertuanya.

Adit sejak tadi berusaha tenang, meskipun dalam hati juga ikut memprotes rasa aneh yang dia cecap di lidah.

"Nggak usah ditahan lagi, Dit." Kini berganti mengomel pada anak laki-lakinya. "Muntahin sekarang!"

Adit menggeleng, setidaknya ingin menghargai usaha Clarissa. "Enak kok, Bu."

"Jangan bohong! Makanan nggak karuan begini." Piring yang berada di depannya Tamara singkirkan. Menyambar tissu sebelum mengelap bibirnya yang belepotan. "Jadi setiap hari kamu kasih makan anak aku kaya gini?"

Clarissa menggeleng, memang Adit jarang dia suguhkan makanan yang tak enak. "Aku selalu beli di luar, Ibu tenang aja."

Adit melotot, jawaban Clarissa bukannya membuat Tamara lega, kini justru menatap nanar pada Clarissa.

"Ayo kita makan di luar, Dit! Berdua aja." Tamara berdiri melirik Adit sinis.

Yang diajak sepertinya tak ingin bergeming, dia menatap sang istri yang kini menundukkan kepala.

"Aku hargai jerih payah kamu hari ini, tapi itu semua nggak bisa nyembuhin kekagetan aku atas makanan yang selalu kamu beli buat nyenangin perut Adit."

Clarissa masih saja menunduk, menunggu kalau-kalau suaminya tega mengikuti perintah Tamara untuk makan di luar tanpa dirinya.

"Ibu berangkat duluan aja, nanti aku nyusul sama Clarissa." Suara Adit membuat desahan lega terdengar keluar dari bibir Clarissa.

Tamara melirik menantunya sengit, bersama tangan yang menyambar kunci mobil di depan mejanya. Hari pertama menginap di rumah Adit sudah disambut dengan hal yang tak menyenangkan. Menantunya memang pendiam, tak banyak mengoceh ketika dia memprotes banyak hal.

Tamara memang kelewat posesif, tak mempercayakan kebahagiaan anaknya pada Clarissa.

"Aku minta maaf," ujar Adit menggenggam tangan Clarissa di kolom meja.

Istrinya menggeleng, sudah terlanjur sakit hati. Mau suaminya meminta maaf sampai seribu kalipun, tak bisa mengembalikan keutuhan harga dirinya. "Ibu benar, aku emang nggak bisa diandalkan."

Menggeser kursi ke belakang, Clarissa lari begitu saja menaiki tangga. Meninggalkan Adit yang terlarut dalam lamunan.

Di dalam kamar, Clarissa tumpahkan seluruh air mata yang dia pendam sejak tadi. Tamara, perempuan paruh baya yang selalu mengusik rumah tangganya mungkin sekarang tengah menikmati makan dengan tenang di luar sana, tanpa tahu kalau Clarissa terluka karena ucapannya.

Sebuah notif pesan masuk dalam layar gawai di atas kasur, Clarissa melirik diam-diam ke sana.

Sabrina Send

Aku barusan lihat mertuamu keluar rumah, kok wajahnya makin asem begitu. Ada apa? Cerita yuk!

Clarissa setidaknya sekarang bersyukur karena memiliki tetangga sekaligus sahabat curcol. Di saat menderita begitu, Sabrina selalu saja peka. Dia usap pipi gembul yang basah itu, bangkit dari ranjang, mulai melangkah pelan lewat pintu belakang.

"Mau kemana?" tanya Adit tiba-tiba begitu tangannya hendak meraih handle pintu dapur.

"Ke rumah Sabrina," jawab Clarissa singkat.

Adit menyusul, berusaha menggapai tubuh gemuk istrinya. Namun, Clarissa sepertinya sudah hafal akan perlakuan itu sehingga sudah terburu-buru keluar.

"Jangan tunggu aku pulang."

"Kenapa?" Adit berteriak.

"Aku menginap di rumah Sabrina." Tak Clarissa tolehkan kepalanya barang sejengkalpun.

Adit ingin memprotes, tapi lagi-lagi teringat kalau istrinya yang sedang hamil memang butuh waktu untuk menenangkan diri.

"Gimana?" tanya Sabrina antusias berdiri di depan pintu.

Clarissa nyelonong masuk tanpa persetujuan si pemilik rumah. "Aku masak nggak enak, dia ngomel habis-habisan."

Sabrina memeluk tubuh Clarissa dari belakang. "Duh kasihan banget kamu, Clar."

"Aku lapar," rengek Clarissa seolah melarutkan rasa kesalnya.

Sabrina melotot, sedetik berikutnya bibir itu menyunggingkan senyum. "Aku punya ayam kriuk, kamu ambil di meja makan sana!"

Tanpa menjawab Clarissa buru-buru bertandang ke ruangan itu, matanya berbinar menatap ayam kriuk yang terlihat sangat menggiurkan. "Kamu beli di mana? Kok bisa renyah begini?"

Sabrina membolak-balik sampul majalah model seraya menjawab. "Bikin sendiri tadi."

"Hah seriusan?"

Sabrina terkekeh. "Iya, why?"

Clarissa duduk di seberang Sabrina. "Kalau tahu kamu jago masak, mending aku les private aja sama kamu."

"No," jawab Sabrina cepat. "Kamu nggak perlu pintar masak, yang terpenting pintar cari duit."

Clarissa yang kali ini tak setuju. "Nggak bisa, aku harus jago masak buat nyumpal mulut Tamara!"

Ha ha ha

Sabrina tak bisa memendam tawa yang meledak kala Sabrina memanggil sang mertua langsung pada namanya. "Tetap nggak dengan cara itu. Aku setuju kalau kamu jadi brand ambrasador sebuah barang, cuannya lumayan."

Perempuan yang mengenakan daster rumahan itu termenung hingga beberapa detik sampai otaknya menemukan jawaban, "Kamu yakin aku punya bakat di situ?"

Sabrina menggeser majalah tadi dengan ponselnya. Menyodorkan beberapa potret perempuan cantik pada Clarissa. "Mereka semua udah pada berumah tangga. Menurut kamu cantik nggak?"

Clarissa mengangguk iri. "Lebih dari cantik."

"Iya, karena mereka mandiri, buat perawatan." Sabrina membeberkan. "Kalau kamu malah pengen bisa masak, yang ada kamu di suruh berteman sama wajan terus. Belum kalau keciprat minyak panas. Nggak ngeri tuh?"

Sabrina ternyata memiliki kekhawatiran yang sama dengan Clarissa. Bibir ibu hamil itu masih terkatup, padahal kemarin dia sudah meng-iyakan saran sahabatnya itu.

"Gimana? Tambah bingung?"

"Iya. Gimana dong?"

Sabrina membawa bantal sofa ke atas pangkuan. "Nggak perlu tuh pikirin apa kata mertuamu, percaya deh sama aku."

Clarissa mengangguk, mungkin kali ini dia sudah benar-benar mantab. "Dua bulan setengah perkiraan dokter aku lahiran, semoga nggak ada kendala."

Sabrina mengangguk, menatap wajah cantik natural Clarissa yang juga tengah menatapnya penuh harap. Lalu tatapannya beralih ke arah jendela kaca di mana Tamara terlihat baru saja keluar dari mobil dengan menenteng sebuah kantung plastik.

"Tuh mertuamu pulang bawa makanan!"

Clarissa menoleh, mendengus perlahan. "Siapa lagi kalau bukan buat anak kesayangannya?"

Sabrina mengedikan bahu. "Segitunya Adit dimanjakan. Bahaya loh, Clar."

"Iya, aku tahu. Makanya sekarang aku lagi mikir gimana caranya biar mereka ada jeda. Paling nggak Adit nolak setiap bantuan ibunya."

"Mana mungkin?" tanya Sabrina setengah mengejek. "Hal-hal kaya gitu udah kebiasaan dari kecil. Nikah sama anak mami, enak nggak?"

"Halah, palingan aku cuma jadi bahan sasaran kalau Adit lagi susah."

Mereka tertawa getir bersama, menikmati sisa malam hari yang sepertinya akan berjalan lebih lama bagi Clarissa.

Keputusannya untuk menginap di rumah Sabrina sudah bulat, sengaja membiarkan Tamara membicarakan kekurangannya lebih banyak pada Adit. Biar dia tahu seberapa besar lagi kepedulian Adit padanya yang sudah semakin terlihat payah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status