"Mertua modelan kaya dia nggak usah diladenin!" ujar Sabrina sedetik sebelum melahap salad buah ciptaan tangannya sendiri.
Clarisa menatap rumahnya dari sudut balkon, mengira-ngira apa gerangan yang sedang Adit, dan Tamara lakukan. Suaminya bahkan tak ke luar rumah sekedar memintanya pulang. "Aku memang selalu kurang di mata dia.""Bukan kamu yang kurang, dianya aja yang berlebihan. Istri itu bukan babu yang harus ngerjain semua keperluan rumah," timpal Sabrina tepat. "Jadi diri kamu sendiri aja, toh Adit nggak masalahin hal itu, kan?"Wajah yang dulu tirus ayu kini tertelan lemak itu menoleh pelan. "Adit emang nggak pernah protes, tapi aku yakin ibunya bakal lebih sering lagi dateng ke sini karena tahu aku nggak becus."Sabrina meletakkan mangkuk ke atas meja, meraih segelas air putih sebagai penutup sarapannya hari ini. "Jangan mau bikin stress sendiri karena masalah kaya gitu. Kamu nggak mau keriput cepat, kan?"Ledekan Sabrina terkadang ada benarnya, entah mengapa perempuan berstatus janda itu pandai mengingatkan Clarisa untuk sayang terhadap dirinya sendiri. Atau mungkin karena Sabrina tak mendapati mertua yang seperti Tamara? Ah, Clarisa bahkan yakin kalau dia yang berada di posisi Sabrina yang ditinggal mati sang suami pasti sudah gila."Jadi ini alasan kamu tetap kelihatan bahagia selepas kepergian suami?" tanya Clarisa ingin tahu.Tawa renyah menyambar kedua telinga Clarisa. "Kebahagiaan apapun di dunia ini nggak ada yang abadi, Clar." Matanya bersandiwara melas. Padahal hatinya membatin, "Termasuk pernikahan kamu sekarang.""Kalau soal itu memang semuanya akan hilang. Tapi, seenggaknya kita punya kenangan yang baik dong selama hidup.""Iya, baik. Yang jahat itu ibu mertua kamu."Mereka berdua tertawa kaku, Tamara justru menjadi candaan yang kental di sela-sela kekesalan Clarisa."Dari dulu kamu bahkan lebih cantik dari aku," ucap Sabrina tiba-tiba. Menelisik paras sang sahabat hingga ujung kaki bengkaknya. "Kalau kamu berhasil ngerawat diri setelah lahiran aku bakal kenalin sama fotografer terkenal yang naungi aku juga.""Maksudnya?" Wajah polos dengan kedua alis yang saling terpaut kentara tak tahu arah bicara Sabrina."Kamu bisa jadi model kaya aku." Sabrina menjawab antusias."Ah ngaco!" Tawa geli lepas dari bibir tipis si ibu hamil.Meski kalau dinilai dari wajah memang lebih unggul Clarisa yang memiliki mata bulat terbingkai alis tebal, hidung kecil mancung dengan bibir tipis menggemaskan. Namun, Clarisa kalah tinggi dari Sabrina yang sudah lumayan melekat di hati rakyat social media sebagai seorang model. Wajah Sabrina memang ternilai biasa saja jika disandingkan dengan pesohor lain. Pipinya memang tirus, tetapi tidak terlalu sempurna disandingkan dengan hidung besar yang tak terlalu mancung. Bibirnya tebal merekah, namun ternyata sedikit gelap, dan kering jika tak terpoles lipstik berani. Kepercayaan diri yang Sabrina miliki juga terbilang jauh dari Clarisa yang sejak dulu memang tipikal pemalu."Kamu bisa jadi bintang iklan kosmetik atau skincare. Dan dari situ lah uang kamu banyak, nggak perlu lagi tuh nyapu ngepel setiap hari. Cukup sewa asisten rumah tangga aja," saran Sabrina enteng tanpa beban.Lain dengan Clarisa yang mempertimbangkan banyak hal. Sudah menjadi istri harus rela segala keinginan sesuai izin Adit. "Ide kamu bagus sih, cuma aku harus tanya dulu sama Adit.""Kenapa harus?" Tampang belagu memberikan kesan percaya diri yang tinggi. Seolah-olah menentang jawaban Clarisa. "Ini hidup kamu, Clar. Nggak melulu semuanya sama Adit.""Obrolan kita kok jadi jauh banget, aku cuma curhat masalah mertua loh," celetuk Clarisa diiringi senyum sungkan."Nggak ada salahnya kita merencanakan kebahagiaan sendiri."Selain berbeda dalam banyak prinsip, Sabrina jelas bukan perempuan bucin. Sangat berbeda dengan Clarisa yang semuanya harus ada campur tangan Adit. "Seperti biasa, aku jadi kepikiran banyak hal setelah ketemu kamu."Sabrina mengikuti jejak kecil Clarisa menuju pintu, mengantar ibu hamil itu yang setengah enggan masuk pelataran rumahnya sendiri. "Aku masuk dulu ya?""Iya." Tangan kurus Sabrina melambai anggun bahkan sampai Clarisa hilang di balik pintu.Aroma dari bumbu semur menguar hebat kala tubuhnya sampai di ruang makan. Rupanya Tamara terlalu sibuk memasak hingga tak menyadari kedatangannya. Sedang Adit tengah mengambil sesuatu dari dalam kulkas, lalu memasukkannya ke dalam wajan."Masakan istri kamu enak nggak?"Suara Tamara membuat Clarisa was-was, dan Adit yang juga tak kunjung menjawab kian memanaskan udara di sekitar. Tubuh berisinya pelan-pelan merosot ke atas kursi,"Kok diam?" Tamara gemas mendapati Adit yang terlalu fokus mengupas apel."Enak dong, Bu. Dia jago masak lo."Betapa beruntungnya Clarisa karena sang suami selalu jujur dalam segala hal. Tangannya mengelus dada merasakan lega. Jago yang Adit maksud adalah nasi goreng sempurna yang terlalu banyak kecap. Ya, hanya nasi goreng yang Clarisa bisa."Syukur deh, kalau gitu aku nggak keselek lagi kalau makan karena keinget kamu makan enak apa enggak," kata Tamara penuh perhatian.Adit tertawa lirih mengetahui fakta yang baru saja Tamara beberkan. "Ibu ini ada-ada aja."Seperti flashback saat belum menikah, di mana Clarisa selalu disalahkan setiap kali Adit mengalami hal yang tak baik. Menikahi pria anak mama ternyata tak menjadikannya menantu kesayangan juga."Aku pulang," teriaknya lemah sembari berjalan ke arah dapur.Adit maupun Tamara menoleh secara bersamaan, dan tentunya dalam raut yang berbeda."Darimana aja kamu?" tanya sang mertua lembut, namun wajah sinisnya tak bisa berbohong."Dari rumah depan, Bu. Ngobrol sama teman," jawab Clarisa mencoba santai.Adit mengelus lengan istrinya pelan, menatapnya teduh penuh kasih sayang. Dalam hatinya memuji kesabaran Clarisa dalam menghadapi Tamara yang tempramental.Perempuan parubaya itu mengelap telapak tangannya dengan selembar tissu sebelum menggeser tubuhnya menjauhi kompor. "Terusin masak ya? Aku mau istirahat."Kedua bola mata sang empu seketika melebar sebab tak tahu langkah yang harus dia teruskan dalam mengolah daging. Walau hanya semur, tetapi Tamara bahkan baru memasukkan bumbunya yang Clarisa yakini masih harus diberi tambahan penyedap lain."Hati-hati nanti bumbunya gosong!" ucap Tamara mengingatkan. "Adit, kamu bantuin aku beres-beres koper ya?""Koper?" Bibir perempuan muda itu terperangah lebar."Ibu mau nginep di sini selama satu minggu," jelas Adit pelan. "Maaf, aku juga baru tahu tadi."Dua hari ternyata tak cukup membuat Clarisa menderita. Satu minggu dalam rumah bersama mertua yang tak begitu dia suka jauh lebih buruk ketimbang harus tersesat di hutan."Sabar, Clar. Inget ada anak kamu yang akan jauh lebih menderita kalau sampai stress," batinnya menenangkan diri. Menatap Adit yang menyusul sang ibu ke lantai atas."Kamu masukin apa ke sini?" tanya Tamara masih berusaha menelan masakan Clarissa."Asam, Bu."Clarissa menunduk dalam, tak sengaja membubuhkan rempah itu ke dalam kuah yang mendidih."Duh Gusti, paling masak begini aja kamu nggak bisa?" Tatapannya menghujam penuh heran, dan kesal."Maaf, Bu." Masih tak berani menatap mertuanya.Adit sejak tadi berusaha tenang, meskipun dalam hati juga ikut memprotes rasa aneh yang dia cecap di lidah."Nggak usah ditahan lagi, Dit." Kini berganti mengomel pada anak laki-lakinya. "Muntahin sekarang!"Adit menggeleng, setidaknya ingin menghargai usaha Clarissa. "Enak kok, Bu.""Jangan bohong! Makanan nggak karuan begini." Piring yang berada di depannya Tamara singkirkan. Menyambar tissu sebelum mengelap bibirnya yang belepotan. "Jadi setiap hari kamu kasih makan anak aku kaya gini?"Clarissa menggeleng, memang Adit jarang dia suguhkan makanan yang tak enak. "Aku selalu beli di luar, Ibu tenang aja."Adit melotot, jawaban Clarissa bukannya membuat Tamara
"Pagi, Bumil." Sabrina menarik paksa selimut tebal yang beberapa detik lalu menutup tubuh Clarissa."Hn, pagi."Sabrina membuka tirai jendela sehingga menampilkan balkon kamar rumah Adit. "Tuh suami kamu lagi ngopi sama ibunya."Clarissa terusik, dengan gerakan pelan dia bangun. Mengikuti arah pandang Sabrina, di mana kedua orang yang baru saja disebut tengah bercengkrama. Mata Clarissa memanas mendapati suaminya tertawa renyah di hadapan Tamara."Apa dia nggak kangen sama aku semalam ku tinggal?" tanya Clarissa membatin.Sabrina mendorong pelan bahu Clarissa menuju ranjang. "Kayanya kamu nggak perlu beli sarapan lagi, pasti mertuamu udah masak.""Sab, kok bisa sih Adit nggak nyariin aku?" tanya Clarissa mengalihkan topik.Sabrina duduk di ranjang sebelah Clarissa, menatap sahabatnya dalam-dalam. "Kamu tahu artinya apa?"Gelengan kepala polos membuat Sabrina terkekeh. "Ibu mertuamu berhasil menghasut Adit."Tubuh tinggi langsing itu berdiri, melangkah pelan menuju meja rias. "Setahu a
"Eh, iya." Clarissa terpelongo menatap kepergian Sabrina. Dapat dia tangkap secercah semangat akan binar tatapan Sabrina tadi. Buru-buru Clarissa santap steak daging pesanannya sebelum menyusul ke tempat di mana Sabrina tengah berbicara di depan kamera. "Aku udah pakai cushion glow ini dari sebelum rilis, dan kalian lihat sendiri 'kan sebagus apa di kulit aku?" Sabrina berujar penuh percaya diri. Matanya tak pernah lepas dari dua kamera yang menyorot wajah mulusnya itu. Clarissa hanya mampu menonton aksi sahabatnya dalam bekerja dari kejauhan. Bibirnya mendesah lirih karena merasa payah, tak bisa sepandai Sabrina dalam bekerja. Menjadi teringat akan ucapan Sabrina kemarin, mungkin Tamara akan lebih menghargainya sebagai menantu kalau dirinya cantik, apalagi pintar mencari uang. "Cantik sih, tapi keluarganya kurang berada. Nanti kalau nikah sama kamu, yang ada dia cuma enak-enakan menikmati kerja keras kamu, Dit." Tak terasa sebulir air mata jatuh dari pipi Clarissa saat ucapan Tamara
Syukuran delapan bulanan Clarissa diadakan malam nanti. Rumah yang tak terlalu besar itu ramai tetangga yang saling membantu keperluan syukuran. Ada lima perempuan seumuran Tamara, satu gadis SMA, dan tiga tetangga pria sekaligus temas futsal Adit. Clarissa berjalan tertatih-tatih menuju dapur. Sejak dua hari lalu dia hanya terbaring di ranjang mengaku lemas. Sabrina mencekal pergelangan tangannya ketika hendak menapaki pintu dapur. "Aduh, Clar. maaf, banget. Aku telat ya?" Sabrina baru saja datang sepulang pemotretan untuk sebuah dress terbaru. Clarissa menggeleng perlahan bersama bibir pucatnya tersenyum. "Nggak kok, lagian yang lain juga belum beres masak." Sebenarnya Tamara sempat memprotes kalau Sabrina ikut membantu ibu-ibu lain. Namun, sebagai sahabat Clarissa tak mungkin setega itu. Sabrina sudah seperti sanak saudaranya sendiri. "Eh, ada yang baru datang. Sibuk banget kayanya model satu ini." Tamara berceletuk di depan pintu. Sabrina terlalu peka kalau mertua Clarissa baru sa
"Dit?" seru Sabrina setelah menggedor-gedor pintu. Adit, dan Tamara yang masih asyik menonton televisi terganggu. "Siapa si yang malam-malam gini bertamu?" tanya Tamara sewot. Meski begitu dia tetap melangkah membuka pintu. Sabrina hendak melayangkan ketukan lagi, namun pintu itu sudah lebih dulu dibuka Tamara. "Eh, Bu." Sabrina cengengesan. "Ngapain malam-malam ke sini? Clarissa udah tidur." "Bukan!" sangkal Sabrina. "Aku mau ketemu Adit." Alis Tamara terangkat sebelah. "Untuk?" "Dit?" seru Sabrina tak menggubris keheranan perempuan paruh baya yang kini tengah mendelik ke arahnya. Yang dicari-cari datang. "Ada apa?" "Clarissa," ucap Sabrina terpotong melirik Tamara. "Oh, Clarissa 'kan udah tidur?" Sabrina mengangguk. "Coba cek di kamar!" "Kamu nggedor-gedor pintu tengah malam gini cuma buat nyuruh anak aku lihat Clarissa yang udah tidur?" Tamara berucap sengit. Lagi-lagi Sabrina tak menghiraukan mertua sahabatnya itu. Dia mengikuti Adit menuju kamar. "Sayang?" seru Adit sembari membu
"Bangun, Dit! Bantuin Ibu cuci piring," omel Tamara berkacak pinggang di samping ranjang Adit. Anak semata wayangnya seperti tak mau tahu, meski saja telinganya mendengar dengan jelas, namun matanya tak sudi untuk segera terbuka. Tamara menatap anaknya dengan sengit. "Bangun!" "Cari orang buat kerja setengah hari aja, Bu." Suara Adit yang masih serak menyeruak menusuk telinga Tamara. "Apa?" Wajah ibunya kecut. "Berapa duit yang mesti kita keluarin buat bayar orang? Lagian cuci piring kerjaan gampang kok." Kali ini Adit bangun, menatap sang ibu dengan mata merah. "Kalau gampang kenapa mesti minta tolong sama yang lain?" "Jadi kamu nggak mau bantuin Ibu?" Adit menggeleng, orang tua semakin berumur memang semakin susah diajak kompromi. Padahal Tamara termasuk seorang ibu yang tak pernah memarahinya, setelah kepergian Clarissa barulah Tamara berani menyuruh Adit mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Adit berjalan gontai keluar kamar, yang diikuti Tamara mengawasi. Beberapa tumpukan piring,
Tamara pasti dalam hati tengah mengumpat melihat anaknya begitu telaten menyuapi Clarissa. "Emang sekedar makan sendiri aja nggak bisa?" Clarissa melirik singkat, memang mulut mertuanya itu tak bisa diam, apapun menjadi bahan omongan. "Bisa, aku yang pengen nyuapin." Adit menjawab tegas. Membuat bibir ibunya terkatup, Adit menambah nasi ke dalam piring. "Makan yang banyak, kamu pasti dari kemarin belum makan, kan?" Tamara mendengus. "Kabur kemana kamu? Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba pergi dari rumah." "Cari suasana segar, Bu." Clarissa menanggapi di sela-sela suapannya. Merasa kesal karena sejak tadi ucapannya selalu dijawab dengan berani, Tamara berlalu sembari menghentak-hentakkan kaki dengan keras. Clarissa menyentuh telapak tangan kiri suaminya, menatap penuh kelembutan. "Makasih ya? Kamu masih bisa bertahan sama aku sejauh ini." "Aku justru minta maaf, belum bisa ngasih kamu kenyamanan." Clarissa menggelengkan kepala membuat Adit yang hendak menyuapi urung. "Ini bukan
Perkiraan dokter memang tak selalu akurat, kandungannya juga baru saja memasuki bulan ke delapan. Namun, malam ini ketubannya pecah, Clarissa berulang kali membangunkan sang suami yang bahkan baru saja terlelap setelah sebelumnya menggarap pekerjaan. Matanya masih betah terpejam, hingga teriakan Clarissa berhasil membuatnya terbangun seketika. "Akh, sakit." "Apanya?" tanya Adit khawatir. Menatap Clarissa yang terus memegang perut. Begitu melihat ada darah yang mengalir di paha Clarissa, buru-buru Adit membawa tubuh itu menuju mobil. Pikiran Adit kosong, tak begitu terpikir untuk meminta bantuan orang lain. Rumah sakit menjadi tujuan pertamanya. Selama di perjalanan Clarissa tak pernah berhenti merintih. "Sabar ya, Sayang. Ini sebentar lagi sampai kok," ucapnya sembari sesekali menoleh ke jalanan, dan Clarissa secara bergantian. Jam sepertinya baru menunjuk pukul tiga pagi, di mana orang sedang enaknya terlelap. Sesekali Adit hampir terlonjak antara panik, dan mengantuk yang beradu men