Share

Chapter 3

"Mertua modelan kaya dia nggak usah diladenin!" ujar Sabrina sedetik sebelum melahap salad buah ciptaan tangannya sendiri.

Clarisa menatap rumahnya dari sudut balkon, mengira-ngira apa gerangan yang sedang Adit, dan Tamara lakukan. Suaminya bahkan tak ke luar rumah sekedar memintanya pulang. "Aku memang selalu kurang di mata dia."

"Bukan kamu yang kurang, dianya aja yang berlebihan. Istri itu bukan babu yang harus ngerjain semua keperluan rumah," timpal Sabrina tepat. "Jadi diri kamu sendiri aja, toh Adit nggak masalahin hal itu, kan?"

Wajah yang dulu tirus ayu kini tertelan lemak itu menoleh pelan. "Adit emang nggak pernah protes, tapi aku yakin ibunya bakal lebih sering lagi dateng ke sini karena tahu aku nggak becus."

Sabrina meletakkan mangkuk ke atas meja, meraih segelas air putih sebagai penutup sarapannya hari ini. "Jangan mau bikin stress sendiri karena masalah kaya gitu. Kamu nggak mau keriput cepat, kan?"

Ledekan Sabrina terkadang ada benarnya, entah mengapa perempuan berstatus janda itu pandai mengingatkan Clarisa untuk sayang terhadap dirinya sendiri. Atau mungkin karena Sabrina tak mendapati mertua yang seperti Tamara? Ah, Clarisa bahkan yakin kalau dia yang berada di posisi Sabrina yang ditinggal mati sang suami pasti sudah gila.

"Jadi ini alasan kamu tetap kelihatan bahagia selepas kepergian suami?" tanya Clarisa ingin tahu.

Tawa renyah menyambar kedua telinga Clarisa. "Kebahagiaan apapun di dunia ini nggak ada yang abadi, Clar." Matanya bersandiwara melas. Padahal hatinya membatin, "Termasuk pernikahan kamu sekarang."

"Kalau soal itu memang semuanya akan hilang. Tapi, seenggaknya kita punya kenangan yang baik dong selama hidup."

"Iya, baik. Yang jahat itu ibu mertua kamu."

Mereka berdua tertawa kaku, Tamara justru menjadi candaan yang kental di sela-sela kekesalan Clarisa.

"Dari dulu kamu bahkan lebih cantik dari aku," ucap Sabrina tiba-tiba. Menelisik paras sang sahabat hingga ujung kaki bengkaknya. "Kalau kamu berhasil ngerawat diri setelah lahiran aku bakal kenalin sama fotografer terkenal yang naungi aku juga."

"Maksudnya?" Wajah polos dengan kedua alis yang saling terpaut kentara tak tahu arah bicara Sabrina.

"Kamu bisa jadi model kaya aku." Sabrina menjawab antusias.

"Ah ngaco!" Tawa geli lepas dari bibir tipis si ibu hamil.

Meski kalau dinilai dari wajah memang lebih unggul Clarisa yang memiliki mata bulat terbingkai alis tebal, hidung kecil mancung dengan bibir tipis menggemaskan. Namun, Clarisa kalah tinggi dari Sabrina yang sudah lumayan melekat di hati rakyat social media sebagai seorang model. Wajah Sabrina memang ternilai biasa saja jika disandingkan dengan pesohor lain. Pipinya memang tirus, tetapi tidak terlalu sempurna disandingkan dengan hidung besar yang tak terlalu mancung. Bibirnya tebal merekah, namun ternyata sedikit gelap, dan kering jika tak terpoles lipstik berani. Kepercayaan diri yang Sabrina miliki juga terbilang jauh dari Clarisa yang sejak dulu memang tipikal pemalu.

"Kamu bisa jadi bintang iklan kosmetik atau skincare. Dan dari situ lah uang kamu banyak, nggak perlu lagi tuh nyapu ngepel setiap hari. Cukup sewa asisten rumah tangga aja," saran Sabrina enteng tanpa beban.

Lain  dengan Clarisa yang mempertimbangkan banyak hal. Sudah menjadi istri harus rela segala keinginan sesuai izin Adit. "Ide kamu bagus sih, cuma aku harus tanya dulu sama Adit."

"Kenapa harus?" Tampang belagu memberikan kesan percaya diri yang tinggi. Seolah-olah menentang jawaban Clarisa. "Ini hidup kamu, Clar. Nggak melulu semuanya sama Adit."

"Obrolan kita kok jadi jauh banget, aku cuma curhat masalah mertua loh," celetuk Clarisa diiringi senyum sungkan.

"Nggak ada salahnya kita merencanakan kebahagiaan sendiri."

Selain berbeda dalam banyak prinsip, Sabrina jelas bukan perempuan bucin. Sangat berbeda dengan Clarisa yang semuanya harus ada campur tangan Adit. "Seperti biasa, aku jadi kepikiran banyak hal setelah ketemu kamu."

Sabrina mengikuti jejak kecil Clarisa menuju pintu, mengantar ibu hamil itu yang setengah enggan masuk pelataran rumahnya sendiri. "Aku masuk dulu ya?"

"Iya." Tangan kurus Sabrina melambai anggun bahkan sampai Clarisa hilang di balik pintu.

Aroma dari bumbu semur menguar hebat kala tubuhnya sampai di ruang makan. Rupanya Tamara terlalu sibuk memasak hingga tak menyadari kedatangannya. Sedang Adit tengah mengambil sesuatu dari dalam kulkas, lalu memasukkannya ke dalam wajan.

"Masakan istri kamu enak nggak?"

Suara Tamara membuat Clarisa was-was, dan Adit yang juga tak kunjung menjawab kian memanaskan udara di sekitar. Tubuh berisinya pelan-pelan merosot ke atas kursi,

"Kok diam?" Tamara gemas mendapati Adit yang terlalu fokus mengupas apel.

"Enak dong, Bu. Dia jago masak lo."

Betapa beruntungnya Clarisa karena sang suami selalu jujur dalam segala hal. Tangannya mengelus dada merasakan lega. Jago yang Adit maksud adalah nasi goreng sempurna yang terlalu banyak kecap. Ya, hanya nasi goreng yang Clarisa bisa.

"Syukur deh, kalau gitu aku nggak keselek lagi kalau makan karena keinget kamu makan enak apa enggak,"  kata Tamara penuh perhatian.

Adit tertawa lirih mengetahui fakta yang baru saja Tamara beberkan. "Ibu ini ada-ada aja."

Seperti flashback saat belum menikah, di mana Clarisa selalu disalahkan setiap kali Adit mengalami hal yang tak baik. Menikahi pria anak mama ternyata tak menjadikannya menantu kesayangan juga.

"Aku pulang," teriaknya lemah sembari berjalan ke arah dapur.

Adit maupun Tamara menoleh secara bersamaan, dan tentunya dalam raut yang berbeda.

"Darimana aja kamu?" tanya sang mertua lembut, namun wajah sinisnya tak bisa berbohong.

"Dari rumah depan, Bu. Ngobrol sama teman," jawab Clarisa mencoba santai.

Adit mengelus lengan istrinya pelan, menatapnya teduh penuh kasih sayang. Dalam hatinya memuji kesabaran Clarisa dalam menghadapi Tamara yang tempramental.

Perempuan parubaya itu mengelap telapak tangannya dengan selembar tissu sebelum menggeser tubuhnya menjauhi kompor. "Terusin masak ya? Aku mau istirahat."

Kedua bola mata sang empu seketika melebar sebab tak tahu langkah yang harus dia teruskan dalam mengolah daging. Walau hanya semur, tetapi Tamara bahkan baru memasukkan bumbunya yang Clarisa yakini masih harus diberi tambahan penyedap lain.

"Hati-hati nanti bumbunya gosong!" ucap Tamara mengingatkan. "Adit, kamu bantuin aku beres-beres koper ya?"

"Koper?" Bibir perempuan muda itu terperangah lebar.

"Ibu mau nginep di sini selama satu minggu," jelas Adit pelan. "Maaf, aku juga baru tahu tadi."

Dua hari ternyata tak cukup membuat Clarisa menderita. Satu minggu dalam rumah bersama mertua yang tak begitu dia suka jauh lebih buruk ketimbang harus tersesat di hutan.

"Sabar, Clar. Inget ada anak kamu yang akan jauh lebih menderita kalau sampai stress," batinnya menenangkan diri. Menatap Adit yang menyusul sang ibu ke lantai atas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status