Ketenangan itu terasa nyata, hampir seperti mimpi.
Setelah berhasil lolos dari kewajiban sosial selama satu hari penuh, Felicity merasa sedikit lebih berani. Bea, dengan efisiensi seorang jenderal yang melindungi bentengnya, telah berhasil menangkis semua upaya bibinya untuk mengganggu. Hari ini, Felicity tidak ingin sekadar bersembunyi di balik tirai kamarnya. Dia butuh sesuatu yang lebih. Dia butuh langit. Dengan novel yang dibawanya—lebih sebagai tameng dari dunia daripada untuk dibaca—dia menyelinap ke taman belakang. Di bawah naungan pohon oak besar yang daunnya berbisik lembut ditiup angin, dia menemukan tempat yang sempurna. Rumputnya lembut dan bersih, dirawat dengan sempurna oleh tangan-tangan yang dia tahu pemiliknya. Dia berbaring, meletakkan novelnya terbuka di atas wajahnya, menghalangi cahaya matahari yang terlalu cerah untuk suasana hatinya yang ingin merana. Aroma tanah dan bunga memenuhi indranya. Desiran angin sepoi-sepoi membelai kulitnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, tidak ada desakan di kepalanya, tidak ada keharusan. Hanya keheningan yang diselingi kicauan burung. Dia menghela napas lega dan memejamkan mata, tenggelam dalam kedamaian yang rapuh ini. Tidurnya bukanlah tidur nyenyak, tetapi lebih seperti keadaan mengambur yang setengah sadar. Begitu tenangnya, sampai-sampai dia tidak menyadari kehadiran lain yang mendekat dengan langkah-langkah lembut. Gangguan itu datang perlahan. Sebuah bayangan yang menghalangi sinar matahari yang menerobos melalui kain buku. Lalu, suara gemerisik lembut di sampingnya. Felicity mengerang pelan, enggan meninggalkan zona nyamannya. Dengan malas, dia mengangkat novel dari wajahnya dan memiringkan kepala ke samping. Rowan. Dia berlutut di rumput di sebelahnya, sebuah keranjang anyaman kecil berisi bunga-bunga liar berwarna-warni tergeletak di dekatnya. Di tangan kirinya, ia memeluk setangkai bunga chamomile. Tangan kanannya sedang bergerak dengan hati-hati, menempatkan sekuntup bunga cornflower biru kecil di atas rumput, tepat di samping pinggul Felicity. Senyumnya lembut dan tidak menyesal, matanya yang hijau bersinar dengan keceriaan yang tulus. "Kupikir tempat tidur rumputnya bisa menggunakan sedikit hiasan," katanya, suaranya berbaur dengan desiran angin. Felicity hanya bisa menatapnya, otaknya yang biasanya cepat masih berkabut. Dia melihat sekeliling, dan napasnya tertahan. Dia terbaring di dalam sebuah siluet bunga. Rowan telah dengan hati-hati menata bunga-bunga liar itu mengikuti bentuk tubuhnya yang terbaring. Garis pinggangnya diikuti oleh rangkaian bunga daisy, di sepanjang lengannya ada bunga lavender, dan di sekeliling kepalanya seperti mahkota yang terbuat dari chamomile dan cornflower. "Rowan, kamu... ini..." Katanya terbata-bata, rasa haru menyelimutinya. Ini adalah hal paling tidak praktis, paling tidak perlu, dan paling indah yang pernah dilakukan seseorang untuknya. Rowan hanya tersenyum lebih lebar. "Masih kurang biru," gumannya sambil mengambil bunga cornflower lagi dan meraih tangan Felicity yang tergeletak di samping tubuhnya. Saat jarinya yang hangat dan sedikit kasar menyentuh pergelangan tangannya dengan lembut, sebuah sentakan listrik kecil mengalir. Felicity bereaksi dengan reflek yang terpendam sejak kecil. Dengan cekatan, dia membalikkan posisi tangannya, mencoba mencubit punggung tangan Rowan. "Berani-beraninya mengganggu tidur siangku!" kelakarnya, tawa mulai menggelembung di dadanya. Rowan menarik tangannya dengan terkejut, tapi matanya berbinar penuh tantangan. "Ini namanya memperbaiki pemandangan!" Dia meraih sekumpulan kelopak bunga dan dengan ringan menaburkannya ke arah Felicity. "Ah, jadi begitu!" teriak Felicity, duduk dengan cepat. Dia meraih bukunya yang tergeletak dan dengan pura-pura marah mengibaskannya ke arah Rowan, membuat beberapa helai rumput dan kelopak beterbangan. Rowan tertawa, suaranya yang hangat dan bebas memenuhi udara, dan melompat mundur. "Kamu tidak bisa menang melawan Tukang Kebun!" "Aku adalah majikan di rumah ini! Aku memerintahkanmu untuk diam!" protes Felicity, berusaha menjaga wajahnya yang tegas sambil berusaha bangun. Gaunnya agak kusut, dan rambutnya pasti berantakan. "Perintah ditolak!" seru Rowan, sudah berdiri dan siap untuk lari. "Aturan di taman ini adalah aturanku!" Dan kemudian, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam waktu yang sangat lama terjadi. Felicity tertawa. Bukan senyum getir atau ledakan sarkasme, tetapi tawa ringan dan bahagia yang keluar dari dasar jiwanya. Dia melompat dan mulai mengejar Rowan mengitari pohon oak besar. Mereka berkejar-kejaran di antara hamparan bunga, di bawah langit biru yang cerah. Felicity, yang biasanya begitu anggun dan terkendali, berlari dengan riang dengan gaunnya yang berkibar, wajahnya bersinar dan tanpa beban. Rowan, dengan kelincahannya, selalu berhasil menghindar, tetapi tidak pernah benar-benar menjauh, selalu memastikan dia tetap dalam jangkauan. Untuk sesaat yang singkat dan ajaib, Felicity melupakan segalanya. Kutukannya, kewajibannya, Istana, bibinya. Dia hanya seorang wanita muda yang tertawa dikejar seorang pemuda di tamannya sendiri. Beban "jenius" dan "kelelahan" terlempar jauh-jauh, digantikan oleh rasa hidup yang sederhana dan murni. Tawa mereka, yang terdengar samar-samar sampai ke jendela kamar Bea, membuat sang sahabat tersenyum lega. Itu adalah suara yang selama ini hilang. Suara yang menandakan bahwa di balik semua lapisan kelelahan dan keputusasaan, Flick yang sebenarnya—gadis yang bahagia—masih ada di sana, hanya menunggu kesempatan untuk muncul, disinari matahari dan dielus oleh angin, dan dibangunkan oleh seorang tukang kebun dengan segenggam bunga. Tawa riang Felicity dan Rowan akhirnya reda, digantikan oleh napas terengah-engah dan senyum lelah yang puas. Mereka duduk kembali di bawah pohon oak, tubuh mereka bersandar pada batangnya yang kokoh. Siluet bunga di sekitar Felicity sekarang sedikit berantakan, tetapi keindahannya tidak berkurang. "Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku berlari seperti itu," ucap Felicity, menatap langit biru dengan perasaan lega yang dalam. "Lady Flick lari lebih cepat dari yang kuduga," sahut Rowan, tersenyum. "Hampir saja kususul." Saat itu, Bea muncul dari jalan setapak, membawa nampan kayu berisi segelas besar lemonade yang berkondensasi, potongan-potongan buah segar, dan beberapa roti lapis sederhana. Wajahnya berkerak melihat keadaan mereka—rambut Felicity yang berantakan, gaunnya yang sedikit ternoda rumput, dan pipa mereka yang memerah. "Sepertinya diagnosa 'migrain parah' ini termasuk terapi kejar-kejaran yang sangat energik," ujar Bea dengan satu alis terangkat, namun ada senyum kecil di bibirnya. Felicity tertawa, suara yang masih ringan dan bebas. "Obat yang diresepkan oleh Tukang Kebun, Bea. Sangat manjur." Rowan menerima segelas lemonade dari Bea dengan rasa terima kasih. "Terima kasih, Bea. Kebetulan sekali." "Melihat debu yang kalian terbangkan, sepertinya ini memang dibutuhkan," jawab Bea, menuangkan lemonade untuk Felicity. Untuk sesaat, ketiganya duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati kesejukan minuman dan kedamaian sore itu. Itu adalah gambaran yang sempurna tentang ketenangan sederhana yang selama ini didambakan Felicity.Setelah bermain di taman dengan Rowan, keringat membasahi pelipis Felicity dan sedikit noda tanah menghiasi ujung gaun sederhananya. Dengan tubuh yang lelah namun hati yang ringan, dia bergegas menuju kamar pribadinya.Mereka memasuki kamar mandi pribadi Felicity, yang merupakan salah satu 'proyek' pertamanya yang berhasil diwujudkan. Ruangan ini adalah oasis modern di tengah dunia kuno. Ubin putih bersih, keran kuningan yang mengalirkan air—baik dingin maupun hangat yang dialirkan dari tangki pemanas di loteng—dan yang paling penting, toilet dengan sistem pembuangan yang efisien.Saat dia berendam di bak mandi, membiarkan air hangat melumerkan ketegangan di pundaknya, pikirannya kembali melayang kepada pertemuan mengerikan dengan The Grey Gentleman. Dia teringat dengan jelas saat itu—baru saja turun dari kereta kuda, hendak menaiki tangga besar menuju istana.Dan di sana, di tengah-tengah keramaian dan kemewahan istana, dia berdiri. Di atas tangga besar,
Sinar mentari musim semi yang keemasan menyapu hamparan rumput hijau di taman kediaman Ashworth, menerangi sebuah pemandangan yang jarang terlihat. Di tengah taman, Felicity Ashworth berlari-lari dengan gaun sederhananya yang berkibar ditiup angin, mengejar seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun—Rowan, putra dari kepala tukang kebun. Tawa lepasnya bergema di udara, begitu bebas dan riang, sangat kontras dengan kesan sang "jenius terkutuk" yang melekat padanya. "Tangkapi aku, Rowan!" teriak Felicity, wajahnya bersinar bahagia saat anak itu berhasil menangkapnya dengan pelukan erat. Mereka berdua terjatuh di atas hamparan bunga dandelion, tertawa terbahak-bahak tanpa beban. Beatrice Croft, yang duduk di bangku taman tak jauh dari mereka, tak bisa menyembunyikan senyum lembut di bibirnya. Pelayan setia itu dengan hati-hati menyiapkan lemonade dan roti lapis—sebuah suguhan sederhana yang disukai Felicity. Matanya yang biasanya penuh kehawatiran kini b
Ketenangan itu terasa nyata, hampir seperti mimpi. Setelah berhasil lolos dari kewajiban sosial selama satu hari penuh, Felicity merasa sedikit lebih berani. Bea, dengan efisiensi seorang jenderal yang melindungi bentengnya, telah berhasil menangkis semua upaya bibinya untuk mengganggu. Hari ini, Felicity tidak ingin sekadar bersembunyi di balik tirai kamarnya. Dia butuh sesuatu yang lebih. Dia butuh langit. Dengan novel yang dibawanya—lebih sebagai tameng dari dunia daripada untuk dibaca—dia menyelinap ke taman belakang. Di bawah naungan pohon oak besar yang daunnya berbisik lembut ditiup angin, dia menemukan tempat yang sempurna. Rumputnya lembut dan bersih, dirawat dengan sempurna oleh tangan-tangan yang dia tahu pemiliknya. Dia berbaring, meletakkan novelnya terbuka di atas wajahnya, menghalangi cahaya matahari yang terlalu cerah untuk suasana hatinya yang ingin merana. Aroma tanah dan bunga memenuhi indranya. Desiran angin sepoi-sepo
Matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai, menyinari debu-debu yang berputar di udara. Biasanya, sinar ini akan menjadi alarm alami yang tidak diinginkan bagi Felicity, penanda dimulainya hari baru yang akan diisi dengan tuntutan dan desakan di kepalanya.Tapi hari ini berbeda.Hari ini, Felicity membuka mata dan dengan sengaja memalingkan wajahnya ke bantal. Tubuhnya terasa seperti dikeruk hingga habis. Otaknya, yang biasanya sudah berderak dengan ide-ide sejak dia terjaga, terasa kosong dan peka, seperti luka terbuka. Presentasi di istana kemarin bukan hanya menghabiskan tenaganya; itu seperti menguras satu tahun tenaganya hanya untuk satu hari. Bahkan bayangan pertemuan dengan Lysander di taman, yang semestinya menyenangkan, tak mampu mengusir kelelahan mendalam yang menyelimuti seluruh keberadaannya.Dia mendengar ketukan halus di pintu, diikuti dengan suara Bea yang tenang. "Flick? Sudah bangun?""Tidak," gerutnya, suaranya parau, sam
-Ruang Kerja Raja-Beberapa jam kemudian, Lady Evangeline memasuki ruang kerja raja dengan langkah anggun."Yang Mulia, semoga saya tidak mengganggu.""Tidak sama sekali," jawab Raja Edmund. "Saya sedang memikirkan keponakan perempuan Anda yang luar biasa.""Sebagai walinya, kekhawatiran saya sering mengalahkan kebanggaan," ujar Evangeline dengan senyum tipis. "Felicity adalah jiwa yang spesial. Jeniusnya datang dengan kepekaan yang luar biasa. Dia mudah kewalahan."Dia maju sedikit, suaranya lebih intim. "Hari ini, saya melihat sesuatu yang memberi harapan. Saya melihat bagaimana Lord Lysander memperhatikannya. Bukan sebagai jenius, tapi sebagai wanita."Raja Edmund terlihat tertarik. "Lysander?""Ya, Yang Mulia." Evangeline tersenyum penuh perhitungan. "Bukankah menarik? Persatuan antara House Ashworth dan kerajaan. Felicity akan mendapat pelindung seumur hidup. Dan bakatnya tetap dalam pelukan kerajaan."Dia
Setelah badai di ruang pertemuan reda, keheningan menyelimuti koridor istana saat Felicity dipandu Lysander berjalan menuju ruang singgasana. Getaran kemarahan yang membawanya melalui presentasi mulai mereda, digantikan kelelahan yang terasa seperti beban di tulangnya.Lysander melemparkan pandangan khawatir. "Tadi... Anda luar biasa," bisiknya. "Saya belum pernah melihat Profesor Sterling terdiam seperti itu."Felicity mengangguk lemah. "Mereka hanya membutuhkan data, bukan kata-kata kosong." Yang tak diucapkannya adalah bahwa setiap kata terasa menyedot sedikit nyawanya.Saat pintu terbuka, Raja Edmund duduk di singgasananya. Yang mengejutkan, di sampingnya berdiri Lady Evangeline. Bibinya yang ternyata menyusul tersenyum puas, tapi matanya menyampaikan pesan jelas: Jangan gagal."Lady Felicity Ashworth," sambut Raja Edmund. "Profesor Sterling mengirim pesan bahwa kami telah menyaksikan kelahiran seorang jenius."Felicity membungkuk ren