Share

chapter 6 siluet bunga

Penulis: Shoera_moon
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-02 16:54:05

Ketenangan itu terasa nyata, hampir seperti mimpi.

Setelah berhasil lolos dari kewajiban sosial selama satu hari penuh, Felicity merasa sedikit lebih berani. Bea, dengan efisiensi seorang jenderal yang melindungi bentengnya, telah berhasil menangkis semua upaya bibinya untuk mengganggu. Hari ini, Felicity tidak ingin sekadar bersembunyi di balik tirai kamarnya. Dia butuh sesuatu yang lebih. Dia butuh langit.

Dengan novel yang dibawanya—lebih sebagai tameng dari dunia daripada untuk dibaca—dia menyelinap ke taman belakang. Di bawah naungan pohon oak besar yang daunnya berbisik lembut ditiup angin, dia menemukan tempat yang sempurna. Rumputnya lembut dan bersih, dirawat dengan sempurna oleh tangan-tangan yang dia tahu pemiliknya.

Dia berbaring, meletakkan novelnya terbuka di atas wajahnya, menghalangi cahaya matahari yang terlalu cerah untuk suasana hatinya yang ingin merana. Aroma tanah dan bunga memenuhi indranya. Desiran angin sepoi-sepoi membelai kulitnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, tidak ada desakan di kepalanya, tidak ada keharusan. Hanya keheningan yang diselingi kicauan burung. Dia menghela napas lega dan memejamkan mata, tenggelam dalam kedamaian yang rapuh ini.

Tidurnya bukanlah tidur nyenyak, tetapi lebih seperti keadaan mengambur yang setengah sadar. Begitu tenangnya, sampai-sampai dia tidak menyadari kehadiran lain yang mendekat dengan langkah-langkah lembut.

Gangguan itu datang perlahan. Sebuah bayangan yang menghalangi sinar matahari yang menerobos melalui kain buku. Lalu, suara gemerisik lembut di sampingnya. Felicity mengerang pelan, enggan meninggalkan zona nyamannya. Dengan malas, dia mengangkat novel dari wajahnya dan memiringkan kepala ke samping.

Rowan.

Dia berlutut di rumput di sebelahnya, sebuah keranjang anyaman kecil berisi bunga-bunga liar berwarna-warni tergeletak di dekatnya. Di tangan kirinya, ia memeluk setangkai bunga chamomile. Tangan kanannya sedang bergerak dengan hati-hati, menempatkan sekuntup bunga cornflower biru kecil di atas rumput, tepat di samping pinggul Felicity.

Senyumnya lembut dan tidak menyesal, matanya yang hijau bersinar dengan keceriaan yang tulus. "Kupikir tempat tidur rumputnya bisa menggunakan sedikit hiasan," katanya, suaranya berbaur dengan desiran angin.

Felicity hanya bisa menatapnya, otaknya yang biasanya cepat masih berkabut. Dia melihat sekeliling, dan napasnya tertahan.

Dia terbaring di dalam sebuah siluet bunga. Rowan telah dengan hati-hati menata bunga-bunga liar itu mengikuti bentuk tubuhnya yang terbaring. Garis pinggangnya diikuti oleh rangkaian bunga daisy, di sepanjang lengannya ada bunga lavender, dan di sekeliling kepalanya seperti mahkota yang terbuat dari chamomile dan cornflower.

"Rowan, kamu... ini..." Katanya terbata-bata, rasa haru menyelimutinya. Ini adalah hal paling tidak praktis, paling tidak perlu, dan paling indah yang pernah dilakukan seseorang untuknya.

Rowan hanya tersenyum lebih lebar. "Masih kurang biru," gumannya sambil mengambil bunga cornflower lagi dan meraih tangan Felicity yang tergeletak di samping tubuhnya.

Saat jarinya yang hangat dan sedikit kasar menyentuh pergelangan tangannya dengan lembut, sebuah sentakan listrik kecil mengalir. Felicity bereaksi dengan reflek yang terpendam sejak kecil. Dengan cekatan, dia membalikkan posisi tangannya, mencoba mencubit punggung tangan Rowan.

"Berani-beraninya mengganggu tidur siangku!" kelakarnya, tawa mulai menggelembung di dadanya.

Rowan menarik tangannya dengan terkejut, tapi matanya berbinar penuh tantangan. "Ini namanya memperbaiki pemandangan!" Dia meraih sekumpulan kelopak bunga dan dengan ringan menaburkannya ke arah Felicity.

"Ah, jadi begitu!" teriak Felicity, duduk dengan cepat. Dia meraih bukunya yang tergeletak dan dengan pura-pura marah mengibaskannya ke arah Rowan, membuat beberapa helai rumput dan kelopak beterbangan.

Rowan tertawa, suaranya yang hangat dan bebas memenuhi udara, dan melompat mundur. "Kamu tidak bisa menang melawan Tukang Kebun!"

"Aku adalah majikan di rumah ini! Aku memerintahkanmu untuk diam!" protes Felicity, berusaha menjaga wajahnya yang tegas sambil berusaha bangun. Gaunnya agak kusut, dan rambutnya pasti berantakan.

"Perintah ditolak!" seru Rowan, sudah berdiri dan siap untuk lari. "Aturan di taman ini adalah aturanku!"

Dan kemudian, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam waktu yang sangat lama terjadi. Felicity tertawa. Bukan senyum getir atau ledakan sarkasme, tetapi tawa ringan dan bahagia yang keluar dari dasar jiwanya. Dia melompat dan mulai mengejar Rowan mengitari pohon oak besar.

Mereka berkejar-kejaran di antara hamparan bunga, di bawah langit biru yang cerah. Felicity, yang biasanya begitu anggun dan terkendali, berlari dengan riang dengan gaunnya yang berkibar, wajahnya bersinar dan tanpa beban. Rowan, dengan kelincahannya, selalu berhasil menghindar, tetapi tidak pernah benar-benar menjauh, selalu memastikan dia tetap dalam jangkauan.

Untuk sesaat yang singkat dan ajaib, Felicity melupakan segalanya. Kutukannya, kewajibannya, Istana, bibinya. Dia hanya seorang wanita muda yang tertawa dikejar seorang pemuda di tamannya sendiri. Beban "jenius" dan "kelelahan" terlempar jauh-jauh, digantikan oleh rasa hidup yang sederhana dan murni.

Tawa mereka, yang terdengar samar-samar sampai ke jendela kamar Bea, membuat sang sahabat tersenyum lega. Itu adalah suara yang selama ini hilang. Suara yang menandakan bahwa di balik semua lapisan kelelahan dan keputusasaan, Flick yang sebenarnya—gadis yang bahagia—masih ada di sana, hanya menunggu kesempatan untuk muncul, disinari matahari dan dielus oleh angin, dan dibangunkan oleh seorang tukang kebun dengan segenggam bunga.

Tawa riang Felicity dan Rowan akhirnya reda, digantikan oleh napas terengah-engah dan senyum lelah yang puas. Mereka duduk kembali di bawah pohon oak, tubuh mereka bersandar pada batangnya yang kokoh. Siluet bunga di sekitar Felicity sekarang sedikit berantakan, tetapi keindahannya tidak berkurang.

"Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku berlari seperti itu," ucap Felicity, menatap langit biru dengan perasaan lega yang dalam.

"Lady Flick lari lebih cepat dari yang kuduga," sahut Rowan, tersenyum. "Hampir saja kususul."

Saat itu, Bea muncul dari jalan setapak, membawa nampan kayu berisi segelas besar lemonade yang berkondensasi, potongan-potongan buah segar, dan beberapa roti lapis sederhana. Wajahnya berkerak melihat keadaan mereka—rambut Felicity yang berantakan, gaunnya yang sedikit ternoda rumput, dan pipa mereka yang memerah.

"Sepertinya diagnosa 'migrain parah' ini termasuk terapi kejar-kejaran yang sangat energik," ujar Bea dengan satu alis terangkat, namun ada senyum kecil di bibirnya.

Felicity tertawa, suara yang masih ringan dan bebas. "Obat yang diresepkan oleh Tukang Kebun, Bea. Sangat manjur."

Rowan menerima segelas lemonade dari Bea dengan rasa terima kasih. "Terima kasih, Bea. Kebetulan sekali."

"Melihat debu yang kalian terbangkan, sepertinya ini memang dibutuhkan," jawab Bea, menuangkan lemonade untuk Felicity. Untuk sesaat, ketiganya duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati kesejukan minuman dan kedamaian sore itu. Itu adalah gambaran yang sempurna tentang ketenangan sederhana yang selama ini didambakan Felicity.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Insinyur Termalas Dari Dunia Lain   Chpter 110

    Lysander mendekapnya lebih erat, bingung tapi berusaha menenangkan. "Siapa, Flick? Siapa yang ada di sini?" tanyanya lembut sambil menatap sekeliling ruangan yang kosong."Dia... pria itu... dengan setelan abu-abu..." ucap Felicity tergagap, masih gemetar. "Selama ini... dia menghantuiku..."Sekarang Lysander memahami. Ini bukan sekadar kelelahan atau stres, ada sesuatu yang lebih dalam yang terjadi pada Felicity. Sesuatu yang membuatnya melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain.Pelukan Lysander bagai menjadi dinding kokoh yang menahan semua sisa-sisa badai emosi dalam diri Felicity. Setelah amukannya yang meledak-ledak, setelah tangis histeris yang menguras habis tenaga terakhirnya, tubuhnya yang kelelahan akhirnya menyerah. Getaran di pundaknya perlahan mereda, napasnya yang tersengal-sengal berubah menjadi teratur dan dalam. Di dalam dekapan hangat Lysander, di antara rasa aman yang lama tidak dia rasakan, Felicity akhirnya tertidur lelap. Tid

  • Insinyur Termalas Dari Dunia Lain   Chaoter 109

    Dia menyandarkan tubuhnya yang gemetar pada sandaran kursi, kepalanya terasa ringan, tapi matanya membara dengan kombinasi ngeri dan kejengkelan yang mendidih. "Kau sudah mengambil tidurku. Kau sudah mengambil ketenanganku. Apa lagi? Apa lagi yang harus kau ambil sampai kau puas?"The Grey Gentleman berbalik sepenuhnya kini. Senyum tipisnya tidak berubah, tetapi matanya yang abu-abu itu seakan menyipit sedikit, seperti seorang ilmuwan yang mengamati reaksi menarik dari subjek eksperimennya. Dingin dan penuh perhitungan."Menghantui?" ujarnya perlahan, seolah mengeja kata itu dengan rasa penasaran. "Kau menyebutnya 'menghantui', Felicity? Itu adalah istilah yang... dramatis." Dia mengambil satu langkah mendekat, dan aroma besi tua serta debu perpustakaan seolah tergantikan oleh hawa dingin yang dibawanya."Aku hadir dalam mimpimu karena itu adalah bahasa yang paling mudah untuk jiwa yang sedang kebingungan seperti dirimu. Tapi kau, dengan keras kepalamu yan

  • Insinyur Termalas Dari Dunia Lain   Chapter 108

    Malam-malam itu adalah siksaan yang tiada henti. Beatrice tidak pernah meninggalkan sisi ranjang Felicity. Dia menyaksikan bagaimana wanita muda yang biasanya begitu tangguh itu terpelintir dalam selimut keringat dingin, matanya terpejam rapat namun bola matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak, mengejar sesuatu yang tidak bisa Bea lihat.Felicity tidak lagi berteriak. Tenaganya habis. Yang tersisa adalah tangisan yang nyaris tanpa suara. Desisan napas tersendat dan tetesan air mata yang membasahi bantal. Tubuhnya gemetar, tetapi jeritannya tertahan di dalam, seolah bahkan suara pun telah dikhianati oleh pikirannya sendiri. Tidur terlama yang berhasil diraihnya tidak lebih dari tiga jam, dan itu pun dipenuhi oleh kegelisahan yang membuatnya bangun lebih lelah daripada ketika ia memejamkan mata."Sudah, Flick, sudah... aku di sini," bisik Beatrice berulang kali, menepuk punggung Felicity dengan gerakan lembut dan stabil, sebuah jangkar di tengah badai yang tak

  • Insinyur Termalas Dari Dunia Lain   Chapter 107 Kembali mengejar

    - DI RUANG KERJA PUTRA MAHKOTA -Lysander memegang erat laporan yang baru saja diterimanya, jari-jemarinya hampir membuat kertas itu kusut. "Chamomile Kaisar milik Lady Felicity mengalami kelayuan tanpa sebab yang jelas," ucapnya keras-keras. Suaranya rendah, mengandung rasa rindu dan kekhawatiran yang dalam. "Oh, Flick..."Dia berjalan ke jendela dan memandang taman pribadinya, seolah mencari jawaban di antara hamparan bunga. "Chamomile Kaisar... bunga yang kupilih khusus untuknya. Karena kelopaknya yang putih dan sederhana, tapi memiliki ketahanan dan kekuatan penyembuh yang luar biasa. Persis seperti dia."Seorang ajudan yang setia berdiri di dekat pintu, memberanikan diri bertanya, "Apakah Yang Mulia sedang mengenang sesuatu?"Wajah Lysander berbinar dengan kenangan manis yang sekaligus terasa pedih. "Ya. Aku masih ingat betul ekspresinya saat pertama kali kuberikan benih itu. Dia tertawa ringan, lalu berkata, 'Lysander, kau tahu aku tidak pan

  • Insinyur Termalas Dari Dunia Lain   chaoter 106 Bunga kenangan

    Bea dengan sabar menuntun Felicity berjalan-jalan di taman, berharap udara pagi yang segar bisa sedikit menyegarkan pikiran gadis itu. Felicity berjalan dengan langkah lambat, matanya masih redup, tapi setidaknya dia mau mengikuti ajakan Bea."Lihat, Flick," ucap Bea sambil menunjuk ke arah bunga mawar yang baru mekar, "Bunga-bunga mulai bermekaran. Musim semi benar-benar tiba."Felicity hanya mengangguk lemah, tidak merespons lebih dari itu. Namun, saat mereka melewati sudut taman di mana Rowan sedang bekerja, sesuatu menarik perhatian Felicity."Rowan, apa yang kau lakukan?" tanya Bea, memperhatikan Rowan yang sedang berlutut dengan wajah khawatir.Rowan mengangkat kepalanya, wajahnya tampak frustrasi. "Aku mencoba menyelamatkan tanaman chamomile Kaisar dari Yang Mulia Putra Mahkota, tapi lihat..." Dia menunjuk tanaman yang mulai layu. "Mereka semakin lemah tanpa alasan yang jelas. Padahal aku sudah merawatnya dengan sangat hati-hati."

  • Insinyur Termalas Dari Dunia Lain   chaoter 105 Teror yang berulang

    Bea telah menyiapkan segala sesuatu dengan penuh perhatian. Teh chamomile yang diseduh dengan madu, bantal-bantal disusun nyaman, minyak lavender diteteskan di setiap sudut ruangan, bahkan dia telah mengganti seprai dengan yang terbaru dan terlembut. Ruangan yang biasanya dipenuhi sketsa mesin dan diagram teknik kini berubah menjadi semacam kapsul pelindung, sebuah benteng melawan teror malam."Minum ini dulu," ucap Bea sambil menyuapi Felicity teh hangat seperti menyuapi anak kecil. Tangannya yang gemetar membuat sendok sedikit bergetar.Felicity patuh membuka mulutnya, menyeruput teh dengan gerakan mekanis. Matanya yang biasanya berbinar penuh kecerdasan kini bagai kolam yang keruh, memantulkan bayangan ketakutan yang tak terucapkan.Setelah memastikan Felicity sudah mengenakan gaun tidur yang nyaman, Bea dengan hati-hati membimbingnya ke tempat tidur. Prosesi ini terasa seperti ritual suci, setiap gerakan penuh dengan makna dan doa."Kau lihat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status