Share

Sebuah Skandal

#InstingWanita 4

Dengan cepat, aku melepas helm, dan menyongsong ke rumah Vani. Perlahan kubuka pintu rumahnya. Ternyata tidak terkunci.

Sepi

Aku melangkah gontai ke dalam ruang tengah yang temaram karena lampu dimatikan. Hanya ada bias cahaya dari lampu ruang makan yang menyala. Di mana, mereka?

Sayup, kudengar lenguhan-lenguhan menjijikan dari dua suara manusia berbeda jenis. Seketika, dadaku terasa berdetak sangat cepat. Dengan bergetar, aku melangkah ke arah suata itu terdengar. 

Dari kamar Vani!

Emosiku seketika memuncak, saat lenguhan panjang mereka terdengar cukup nyaring bersamaan.

Kubanting seketika pintu kamar yang sebelumnya sedikit terbuka, hingga terbanting ke dinding. Lalu menekan stop kontak yang berada tepat di sisi pintu. 

Byar ... kecurigaanku ternyata benar. Saat lampu menyala, tampak sepasang binatang itu terlonjak kaget, dan segera menutup tubuh polos mereka dengan selimut.

"Biadab, kalian! Binatang!" Dengan membabi buta, kutarik selimut yang menutupi tubuh mereka hingga terlempar ke lantai. Lalu menarik rambut panjang bergelombang Vani tanpa memberinya kesempatan untuk berpakaian. Kemudian menampar wajahnya bolak-balik, hingga ia menjerit kesakitan. 

"Maya, jangan!" Bang Rizal menahan tubuhku dari belakang. "Tolong hentikan, Maya! Siksa saja aku, jangan Vani."

Mendengar ucapannya, hatiku semakin terasa sakit. Betapa ia sangat melindungi Vani, hingga rela dihajar demi melindungi pelakor itu.

"Pelakor, munafik! Jadi sengaja, kamu pura-pura peduli, dan mendandaniku tadi, hah? Jalang! Licik!" 

Vani segera menggunakan gaun tidurnya, melihatku dengan tatapan mengejek. "Jangan salahkan orang lain, harusnya kamu intropeksi diri, kenapa suamimu bisa berpaling. Itu karena kamu tidak becus merawat diri dan memberi servis yang memuaskan suami. Bukan semata-mata karena aku licik, tapi juga karena kamu bodoh!" cicitnya, seraya mengelus pinggang ramping hingga ke bokongnya dengan kedua belah tangan. Tak kusangka, ternyata dia semunafik itu. Orang yang kuanggap sahabat bak malaikat, nyatanya hanya seonggok daging berperangai busuk.

Emosiku semakin tersulut, ditambah aroma khas persenggamaan samar-samar menyergap indera penciuman. Akhirnya, karena tangan dicekal kuat Bang Rizal, kutendang sekuat tenaga, mengenai bagian selangkangannya hingga terjungkal ke belakang. "Aaargh!" Ia menjerit dengan wajah meringis.

"Vani!" Bang Rizal panik, hingga cekalannya mengendor. Segera kuambil kesempatan itu dengan berontak melepaskan diri, lalu melayangkan tonjokan bertubi-tubi ke wajahnya, diakhiri dengan hentakan di selangkangannya dengan lutut.

"Maya, kamu bukan wanita, tapi brandalan!" pekik Vani seraya mencoba bangkit.

"Persetan! Kalian yang membuatku jadi begini!" teriakku berapi-api.

"Cukup, Maya, kamu sudah sangat keterlaluan. Aku semakin yakin dengan keputusanku menceraikanmu," ucap Bang Rizal, seraya menyeka ujung bibirnya yang berdarah.

Kembali rasa nyeri itu berdenyut. Kenapa aku bisa mencintai pria setega dia? Kutatap iia dengan nanar sembari menghela napas dengan susah payah.

Melihatku lengah, Vani mendekat, dan hendak melayangkan pukukan, segera kutangkis, dan balik menamparnya kuat-kuat. Perkelahian sengit pun tak terelakan lagi. Bang Rizal kepayahan memisahkan kami berdua. Hingga tak lama, para warga sudah ramai berkerumun. Mungkin karena mendengar kebisingan yang berlangsung. Malam yang sunyi, seketika menjadi ramai penuh amarah.

______

"Jadi, Pak Rizal sama Bu Vani ini sudah menikah secara agama, Teh. Dua bulan yang lalu sudah diluruskan," terang kepala RT setempat. Kini perselisihan kami diamankan oleh pengurus setempat di ruang tengah rumah Vani. 

Dadaku bergemuruh semakin panas. Jadi, pengkhianatan mereka sudah sejauh ini? Dan aku baru tau sekarang, setelah Vani berhasil membuat Bang Rizal menceraikanku.

"Bener, itu, Bang?" tanyaku bergetar. Menahan agar kaca yang melapisi netra ini tak luruh ke pipi.

Bang Rizal menatapku sekilas, mendengkus kasar, kemudian mengangguk dan tertunduk dalam. Wajah putih itu kini dihiasi memar-memar kemerahan hasil maha karya kepalan tanganku. Vani di sebelahnya dengan tatapan licik.

"Maafkan kami, Maya!" lirih Bang Rizal parau.

"Apa pantas kelakuan kalian ini mendapat maaf dariku?"

"Abang tahu, Maya. Ribuan maaf pun tidak akan mengobati sakit hatimu. Tapi, sungguh, abang merasa sangat bersalah sama kamu."

"Kenapa, sih, kalian jahat banget? Salah aku apa sama kalian? Aku harus bilang apa sama keluargaku?"

"Maya, setelah perceraian kita nanti, lambat laun kamu pasti bisa bangkit. Tenang aja, rumah menjadi hak kamu. Terserah mau kamu lanjutkan cicilannya, atau mau kamu over," ucapnya lagi. Bisa-bisanya dia bahas materi di saat seperti ini.

"Gampang, ya, kamu ngomong. Rumah, ya, jelas jadi hakku. Orang atas namaku, kok. Kalau mau bawa barang-barangmu, suruh orang lain saja. Aku sudah muak melihat wajahmu!" Aku bangkit dan meninggalkan mereka dengan langkah cepat.

Tak terasa, air mata sudah membasahi kedua belah pipi diiringi dada yang semakin kuat berguncang. Kutepuk kuat, berharap dapat mengurangi sesaknya. 

Rasanya benar-benar tidak berharga. Dalam sehari, aku kehilangan suami, orang yang kuanggap sahabat, serta ... kepercayaan. Sulit sepertinya memilih orang yang bisa dipercaya.

Sungguh, aku merasa terbuang dan sangat malang. Tak ada satu orang pun yang mengejar, atau merangkul dan menenangkanku untuk memberikan kekuatan saat ini. Ingin rasanya aku menemui Mama, dan menumpahkan segala kesakitan saat ini juga. Tapi hari sudah sangat larut, aku juga tidak tau, bagaimana caranya memulai menceritakan semua ini. Malu rasanya, mengingat Bang Rizal adalah pilihanku sendiri. Pria yang dengan keras kepalanya kujadikan suami, padahal almarhum Bapak awalnya tidak merestui.

Esok, lusa, dan seterusnya, hidupku sudah tak sama lagi. Aku harus bangkit, dan menata hatiku dari 0. 

Move on, Maya! Untuk apa menangisi manusia-manusia tak punya hati seperti mereka.

_____

Semalaman, tak sekejap pun netra ini terpejam. Ternyata memang benar, daripada sakit hati kalau sudah kronis begini, lebih baik sakit gigi. Setidaknya ada obat yang bisa dicari untuk menyembuhkan. Sedangan sakit hati, ya ampun ... bagaimana caranya menyembuhkannya? Terlebih jika ditorehkan oleh orang yang benar-benar kita cintai.

Awalnya, aku berniat izin untuk tidak masuk kerja. Namun, berdiam diri di rumah pastinya hanya akan membuatku semakin terpuruk. Bayangan-bayangan kenangan di tiap ruangan saat rumah tangga kami baik-baik saja terus berkelebat. Sangat menyiksa.

Dengan malas, aku melangkah ke kamar mandi. Mengguyur sekujur tubuh yang seakan mati rasa.

"Ckckck ... Maya. Baru dateng? Udah siang, ini," celetuk Pak Bambang, dari balik monitor saat aku melewati ruang bendahara.

"Sorry, Pak," lirihku seraya memaksakan tersenyum tipis.

Tampaknya ia terkejut, mendapati raut sedih, dengan bagian mataku yang membengkak karena menangis semalaman.

"Kamu sakit, Maya?" kali ini Zamzam menyahut saat berpapasan denganku dengan secangkir kopi di tangannya. Aku hanya menggeleng pelan. Hampir semua orang kantor mulai memperhatikanku. Terserahlah ... aku benar-benar lelah. 

"May, pulang dan istirahatlah di rumah. Kamu keliatan gak fit banget hari ini." Seseorang menepuk pundakku, tepat saat aku mendorong pintu kaca menuju ruangan TI. 

"Eh, Pak Bambang. Aku gak pa-pa, kok. Makasih udah perhatian," sahutku lesu.

"Bukan perhatian, kalau kamu sakit, terus maksain kerja, ntar kerjaannya berantakan. 'Kan kami juga yang repot." Kemudian tertawa sumbang.

Kenapa, sih, semua orang jadi ngeselin gini di mataku? Aku hanya mendengkus kasar. Padahal, ini candaan biasa sehari-hari. Pembawaanku yang ceria membuatku seringkali jadi objek candaan.

"Eh, becanda, May." Ditepuknya lenganku pelan mungkin menangkap ketidaknyamanan di wajahku. Kemudian berlalu pergi. 

Saat masuk, aku berpapasan dengan Ryan. "Teh, are u ok?" Ia menyentuh kedua belah pundakku. "Teh?" lanjutnya saat tak kunjung mendapat jawaban dariku. Pandangannya menusuk dalam netraku, seolah mencari jawaban.

Tak mampu menjawab, entah apa yang mendorongku, hingga tiba-tiba memeluknya erat. Menumpahkan tangis di dada bidangnya. Kurasakan usapan lembut di punggung. Nyaman sekali rasanya ada di posisi ini.

"Nangis aja, kalau sekiranya bisa bikin nyaman," lirihnya di telingaku. Seketika aku tersadar, dan melepas dekapannya. Tampak dadanya basah oleh air mataku.

"Maaf," lirihku tak enak.

"Gak pa-pa, Teh. Santai aja." Terlihat khawatir.

Baru kusadari, dari tadi, Candra dan Okto menatapku heran di kursinya.

"May, ada apa sebenernya? Aku dari tadi telpon kamu gak diangkat. Terus dateng-dateng siang gini dalam keadaan kayak gini." Candra mendekat ke ambang pintu. Ia terlihat kurang suka. Entah karena apa.

 

Sontak aku merogoh gawai di tas. Di sana bukan hanya ada panggilan tak terjawab dari Candra, tapi juga puluhan telepon dari Bang Rizal. Ah, untuk apa dia menghubungiku lagi? Dan juga, A' Sendra, kakakku. Segera kutelepon balik nomernya. Perasaanku jadi semakin tak karuan.

"Hallo! Dek, Aa telepon kamu dari tadi. Kamu ke mana aja, atuh?" cerocos A' Sendra sebelum aku memulai salam.

"A-ada apa, A'?" sahutku terbata.

"Sekarang kamu pulang! Rizal juga udah di sini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status