Share

SISWA PKL

Kontak Bernama Samsudin di Gawai Suamiku

#InstingWanita 2

.

.

"Oh, belum. Ini, HP kamu ketinggalan, ya?" Aku berusaha bersikap sebiasa mungkin. Sebelumnya, sudah kuhapus pesan dari si Samsudin, eh, entah si Samsiah itu.

"E-eh, iya," ucapnya terbata, diusapnya keringat di dahi dengan punggung tangan.

"Lain kali, jangan grasa-grusu gak jelas. Santai aja! Aku berangkat, ya!" Kuserahkan gawai itu, seraya melewatinya. Kemudian menghela napas dalam dan mengeluarkannya dari mulut. Berusaha mengurangi sesak di dada. 

Sabar, Maya!

"Aku anter?" tawarnya so manis. Cuih! Dasar modus.

"Gak usah, Bang. Ntar Abang harus jemput lagi," tolakku, seraya berbalik dan tersenyum semanis mungkin.

"Hati-hati!" 

Aku hanya mengangguk. Betapa pandainya ia bersandiwara. Baiklah, kali ini aku harus sabar dulu. Meski darah sudah terasa mendidih, emosi ini harus ditahan dulu. Akan kucari bukti-bukti yang jelas, baru setelahnya bertindak. Melampiaskan emosi sekarang rasanya percuma. Bang Rizal pasti menyangkal. Lalu setelahnya ia akan lebih berhati-hati, sehingga akan semakin sulit mencari tahu, di mana keberadaan si Samsudin itu.

Sampai di kantor dan menekan finger prin, aku segera ke pantry menyeduh teh manis hangat sebagai teman sarapan yang dibeli di jalan tadi. Saat emosi seperti ini, makan banyak adalah salah satu pelampiasanku.

Tampak Chandra sedang asyik menonton video di komputernya. Aku tak acuh, menyalakan AC, kemudian duduk membelakanginya dan mulai mengunyah makananku. Entah, tubuh rasanya gerah sekali. Padahal akhir-akhir ini cuaca sangat dingin. Biasanya AC dinyalakan setelah pukul 11.00.

"Paansi, May? Dingin gini nyalain AC," sungut Candra sewot. "Eh, buset! Itu makanan banyak banget. Ckckckck ... mau kerja, apa mau piknik?" Ia berdecak, mungkin juga sambil geleng-geleng kepala, menyaksikan berjubel kresek makanan di mejaku.

"Hmmm ...," sahutku. Tak bisa banyak bicara karena mulut penuh makanan.

Candra hendak mencomot risoles, sontak segera kupukul tangannya dengan sendok.

"Aww! Euh ... medit pisan, sakirang loba oge," (pelit banget, padahal banyak) rutuknya.

"Tar, lamun uing geus wareug, kakara hempek!" (nanti, kalau aku udah kenyang, baru boleh!) jawabku, setelah berhasil menelan.

"Kamu lagi ada masalah, nya?" Tiba-tiba Candra sudah duduk mensejajariku.

Aku menghela napas, dada seketika terasa sesak kembali. Selain partner kerja, Candra adalah sahabatku sejak SMP. Ia cukup paham dengan kebiasaanku.

"Nyesek, sih, kalo diceritain mah," sahutku akhirnya.

"Nangislah kalau sekiranya bisa bikin tenang. Ada apa?"

"Kamu pan tau mereun, aku paling susah nangis. Yang ada kalo ada masalah uring-uringan gak jelas. Gimana, ya, sebenernya aku juga belum punya cukup bukti."

"Bukti apa?" Dahi Candra berkerut.

Akhirnya, kuceritakan semuanya pada Candra. Pria bertubuh jangkung itu membelalakan netranya. "Hah? Suami kamu? Kok, aing sanksi, nya. Suami kamu yang WATADOS alias wajah tanpa dosa itu selingkuh? Gada muka fuckboy sama sekali. Kadang aku mikir, kamu sama Bang Rizal itu ketuker jiwanya. Bang Rizal yang rapi banget, lembek. Eh, bininya barbar gini, kayak laki." Chandra nampak tak percaya.

"Gak usah ngeledek!" sahutku ketus. "Gimana kalo si Samsudin beneran cowok? Itu lebih menakutkan." Pikiranku menerawang. Sejak menikah, meski tidak ada masalah yang berarti, rumah tangga kami memang terkesan datar. Gak ada keromantisan yang berkesan. Apa mungkin, Bang Rizal menikahiku hanya sebagai formalitas, untuk menutupi kelainannya? Aiishh! Kuusir pikiran buruk itu jauh-jauh.

"Kamu kudu tenang, May. Mudah-mudahan cuma salah paham dan kagak seperti yang kamu takutin," ucap Candra menenangkan.

"Ya, mudah-mudahan aja." Aku kembali menyuap makanan, seraya memijat pelipis yang agak pening.

"Silakan coba lagi!"

"Silakan coba lagi!"

"Silakan coba lagi!

"Silakan coba lagi!"

Terdengar suara finger prin yang gagal berkali-kali. Berisik sekali. Bagaimana tidak, mesinnya berada tepat di depan ruangan staf TI.

"Itu siapa, si? Gagal ampe berkali-kali. Berisik banget!"  keluhku kesal.

"Teuing! Sidik jarina pejet, mereun," (gatau! Sidik jarinya rusak, kali) sahut Candra tak acuh.

Sekian lama, suara itu terus berulang. Aku keluar untuk memastikan siapa dalangnya. Ada-ada saja. Gak tau apa, orang lagi mumet? 

Di sana, berdiri dua pemuda bercelana abu-abu SMA, dipadu baju PKL berlogo almamater salah satu sekolah menengah kejuruan. Satu di antaranya nampak terlalu tinggi dan kekar untuk seumuran anak SMA. Mereka terus menekan finger prin bergantian, seraya cekikikan.

"Heh, ngapain dari tadi mainin itu? Berisik, tau!" hardikku seraya mendekat. Mereka sontak berhenti. 

"A-anu, Bu."

"Ibu? Emang urang katempona jiga ibu-ibu?" (emang aku keliatan kayak ibu-ibu?) potongku sewot. 

"Ng-ng ... Teteh."

"Ngapain tadi kalian?"

"Ngabsen, Teh." 

"Deuh, gak bakal bisa, lah! Orang kalian bukan karyawan sini. Ini hari pertama kalian PKL di sini, ya?"

Mereka mengangguk.

"Sana! Ke ruang ujung sana. Tanyain, kalian harus ngapain!" 

"I-iya, Teh!" Dengan langkah cepat mereka berlalu. Dasar!

"Maya, Candra, ini anak-anak TKJ, magangnya sama kalian." Tak lama, Pak Hasan masuk bersama kedua bocah tadi.

Aku dan Candra hanya ber-oh ria.

"Nah, nanti ada Bu Maya, dan Pa Candra yang bimbing kalian. Jangan sungkan, kalau ada yang mau ditanyakan!" 

Jiah, diajarin manggil ibu.

"Baik, Pak!" sahut mereka bersamaan. Kemudian, setelah Pak Hasan keluar, duduk di belakang aku dan Candra.

"Heh, sini!" sahutku, seraya menepuk kursi di sebelah. "Seorang aja yang di sini, seorang lagi sama Candra, sana!" lanjutku saat keduanya menghampiri.

"Sabar, May, ulah galak-galak, ntar pada pundung," (ulah; jangan, pundung; merajuk) seloroh Candra, menyebalkan.

Mereka berdua nyatanya malah nyengir cengengesan. Teringat tingkah mereka tadi memainkan finger prin, kurasa mereka bukan anak yang pendiam. Akhirnya, anak berfostur tubuh ideal itu yang bertahan di sampingku.

Sejujurnya malas sekali menjelaskan ini-itu di saat perasaan sedang semrawut begini, tapi mau bagaimana lagi? Lagipula, kalau mereka sudah paham, 'kan lumayan bisa bantu pekerjaanku. Mudah-mudahan saja, mereka bukan tipikal anak yang kurang pandai.

"Pas masuk, pertama yang harus dikerjakan adalah mengshare berita ke semua akun sosial media surat kabar Mentari. Tinggal copy paste aja, kok. Awas, harus berurutan sesuai letak di versi cetak."

"Semuanya?"

"Ya, enggakla---" ucapanku terpotong saat menoleh padanya. Mendapati wajah rupawan yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahku. Aroma segar tubuhnya dapat kuhidu kuat. Hingga aku tersadar saat ia tersenyum miring menggoda.

Aargh! Apa-apaan ini? Aku segera membuang muka.

"Apaan, liat-liat?" tanyaku saat mendapatinya masih menatapku dengan alis terangkat. 

"Enggak, kok. Aku suka style Teteh. Keren!" serunya. 

Seketika, aku melotot, dan Candra tergelak. Shit!

____

 "Aku anter, yuk, Teh!" Ia tiba-tiba sudah ada di halaman kantor mencegatku.

"Saya bawa motor sendiri, em ... siapa nama kamu tadi? Lupa." Aku mencoba mengingat namanya.

"Ryan. Emang Teteh belum nanya namaku, kok," sahutnya diakhiri senyum.

"Ok, saya duluan, ya!" pungkasku seraya meraih helm. Iya hanya mengangguk sopan.

Satu panggilan masuk ke gawaiku. Dari Bang Rizal.

"Halo!" Aku memulai percakapan.

"Maya, malam ini kita makan di luar. Ada yang mau aku omongin," ucap Bang Rizal. 

Seketika aku tersadar. Hari ini tepat aniversary pernikahan kami yang ke lima tahun. Apa jangan-jangan, pesan-pesan yang masuk dari kontak bernama Samsudin itu hanya prank, untuk memberiku kejutan? Ah, semoga saja. Aku jadi tidak sabar. Mengingat, belum satu kali pun kami merayakan hari istimewa ini tahun-tahun sebelumnya.

"May?"

"Eh, iya, Bang." 

"Kamu denger abang ngomong, 'kan?" 

"Iya, Bang. Aku denger, kok."

"Oke, jam tujuh malam, aku tunggu di cafe yang dulu pertama kita dinner, ya?" ucap Bang Rizal lagi.

"Iya, Bang." Telepon pun ditutup. 

Meski terasa janggal, kenapa harus berangkat masing-masing? Tapi, aku yakin malam ini akan jadi malam yang istimewa untuk kami. Mudah-mudahan saja.

Kupacu motor maticku dengan kecepatan sedang, dengan senyum tersungging di bibir.

_____

[

Aku baru saja selesai mandi saat mendengar ketukan dan salam di pintu. Wanita anggun itu berdiri di sana dengan senyum tersungging.

"Vani!" sahutku takjub. 

"Maya, apa kabar?"  Vani merengkuhku dan menempelkan kedua belah pipi bergantian. Aroma  parfumnya terhidu sangat enak di indra penciuman.

Dulu, kami berkenalan dari teman ke teman. Entah bagaimana bisa menjadi sangat dekat. Hanya saja, beberapa bulan belakangan ini kami jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Sebelumnya, tak jarang aku berdiskusi dengannya tentang masalah rumah tanggaku yang selalu dingin. Meski kehidupan pribadinya sendiri, aku tak begitu tau. Yang jelas, Vani memiliki satu putra yang tinggal bersama mantan suaminya di Jakarta.

"Aku baik, Van. Kamu apa kabar?"

"Aku juga baik, May. Boleh aku masuk?" sahutnya kemudian.

"Tentu, Van. Tapi, selepas Isya nanti, aku mau keluar. Ada janji sama ... em, Bang Rizal."

"Aku tahu, May. Justru kedatanganku ke sini buat bantu kamu mempersiapkan diri. Buat ngasih kejutan di malam spesial ini buat suamimu," bisiknya menggoda.

Aku mengernyit bingung. "Kejutan?"

"Iya, kejutan. Aku bawa alat make up, dan pakaian yang anggun buat kamu. Pokoknya, Bang Rizal bakal makin cinta." Vani mengeluarkan sebuah dress berwarna peach dan cardigan rajut putih. 

"T-tapi, gimana bisa kamu tau, Van?" Aku merasa, ini terlalu berlebihan.

"Bang Rizal yang bilang, May. Ayolah, aku tau betul selera Bang Rizal."

"Maksudnya?" Bagaimana Vani bisa so tau seperti ini? Apa secara tidak tersirat, Vani baru saja bilang, kalau penampilanku selama ini bukan selera Bang Rizal?

"Ya, 'kan, aku punya salon, Maya. Jelas aku tau banyak tentang fashion," ungkap Vani, seraya menepuk pahaku.

Ya ampun, hampir saja aku lupa, dan berpikir negatif pada Vani. Padahal, saat pernikahanku dulu, Vani yang menjadi penata riasnya.

"Aku lupa, Vani. Ah, maaf. Kayaknya aku gak konsen." Kutepuk jidat pelan.

"Hehe, no problem, Maya! Ayo, mulai. Udah mau Isya, nih!" Vani mengerling.

Ah, Bang Rizal, kenapa jadi mendadak romantis, dan penuh kejutan gini, sih?

____

Saat sampai, Bang Rizal sudah menunggu di meja paling belakang. Ia tampak mempesona seperti biasa. Saat aku sampai, ia menatapku seolah terkejut.

"Maya!"

"Aku keliatan aneh, ya, Bang?" Jujur ini bukan fashionku. Rasanya benar-benar tak nyaman.

"E-enggak, kok. K-kamu, cantik. Tapi, sejak kapan kamu bisa dandan?" 

"Abang gak usah drama, deh! 'Kan Abang yang nyuruh Vani make over aku gini!"

"Hah, Vani?!" Bang Rizal terbelalak, hingga tersedak minuman yang tengah disesapnya.

"I-iya, Vani. Kenapa, sih?" 

"Enggak, lupakan! Ayo, kamu mau makan apa?"

"Abang mau ngomong sesuatu, 'kan? Apa?" tanyaku tak sabar.

"Kita ... kita makan dulu, ya!" Bang Rizal menggenggam jemariku. Rasanya seperti masih pacaran saja. Dag-dig-dug tak karuan.

Aku memesan makanan dan minuman persis yang dulu kupesan saat pertama kami berkencan di sini. Hitung-hitung bernostalgia. Namun, Bang Rizal terlihat tidak nyaman, entah kenapa. Makanannya terlihat tak banyak berkurang.

"Maya, abang minta maaf sebelumnya. Kita gak bisa melanjutkan pernikahan ini lebih lama lagi."

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status