Selepas sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumah, aku diajak Fijrin sarapan nasi uduk di warung yang tak jauh dari situ. Aku sudah tak sabar mendengar penjelasan Fajrin mengenai akhwat yang mengajaknya taaruf.
"Sob, gimana taarufnya?" tanyaku setelah meneguk teh hangat tawar.
"Ane bingung, Sob. Ane belum tahu lagi mau lanjut atau tidak. Semalam ane sudah sholat istikharah. Belum ada tanda-tanda jawaban dari Allah." Jawab Fajrin. "Ente sendiri, bagaimana sebenarnya sama Elis?"
"Nggak usah bahas Elis dulu deh, Sob. Ane mau bahas yang ente dulu nih," ucapku mengikuti gayanya: ber-ane-ente.
"Ane serius nih, Sob. Kalau ente emang masih ragu sama hati ente terhadap Elis, berarti itu tandanya ane nggak cinta sama dia. Kalau emang begitu, ane ada calon buat ente untuk taaruf." Ucap Fajrin.
"Taaruf? Maksud kamu, mau serahin calon taarufmu ke aku, gitu?"
"Bukaaan! Di Tegal, ada gadis belia, cantik, dan insya Allah sholehah. Orang tuanya m
Setelah menguasai keragu-raguanku sejenak, akhirnya kupijit bel rumah di dekat gerbang tinggi itu. Beberapakali, sampai dua orang petugas keamanan membukakan gerbang.“Selamat malam,” sapaku sopan.“Malam. Mau cari siapa?” Aku ditanya dengan sikap waspada.“Maaf, apakah benar ini rumah Pak Hari Suryo, orang tua Derryl? Saya Bram, wali kelas Derryl di sekolah.”“Ada keperluan apa malam-malam Sudah ada janji?”“Tidak ada janji, Pak, hanya melalui surat. Ini kunjungan sekolah biasa, tapi ada hal penting yang harus diketahui Pak Hari Surjo tentang putranya.”Setelah bicara dengan rekannya beberapa saat, salah seorang petugas mengangguk dan membawaku masuk. Kuikuti laki-laki berambut cepak itu melewati taman hingga sampai ke ruang tamu yang luas, terang dan sejuk. Petugas itu pun langsung beranjak ke ruang dalam. Sepertinya dia akan memberitahukan kedatanganku kepada tuan rumah.
“Bram …?”Kudengar seseorang memanggil dengan hati-hati.Saat perlahan mataku membuka, kutemukan tubuhku terbaring dalam ruangan berdinding putih bersih.Sepi.“Fajrin,” panggilku lemah, saat melihat seseorang berdiri di dekatku.“Alhamdulillaah, ente udah siuman.” Fajrin terlihat begitu lega. “Tadi ada orang nelepon ane. Mungkin dia liat nomor ane di hape ente. Dia yang bawa ente ke rumah sakit ini, Sob, tapi mereka nggak tau asal-muasal ente bisa kayak gini. ”Aku mengangguk-angguk sambil mencoba bergerak, meraba kepalaku yang berat, pusing dan berdenyut-denyut sakit. Tanganku menyentuh perban basah di kepala, juga di beberapa bagian tubuhku yang lain.“Siapa yang ngelakuin ini, Sob?" Fajrin menggeram penuh emosi.“Sudahlah, aku nggak apa-apa. Ini cuma salah paham,”“Nggak! Ane nggak bisa tinggal diam lihat sobat ane babak belur kayak gini.
Mendung di atas sana tampak sendu, siang ini. Entah sudah berapa lama kupandangi gumpalan awan gelap berarak-arak di langit melalui jendela kamar rumah sakit ini.Fajrin sedang menemui dokter yang merawatku, sekaligus membicarakan perihal kepulanganku hari ini atau besok. Sebelumnya Fajrin menaruh mangkuk berisi bubur ayam—yang khusus dibawa Elis untukku—di dekatku. Harum bawang goreng dan aroma kaldu ayamnya yang lezat berpadu menggodaku, namun aku masih belum berniat menyantapnya.Ya Robbi, hanya kepada-Mu hamba berlindung. Hanya kepada-Mu hamba memohon. Ampuni aku yang telah buruk sangka pada-Mu, Rob, setiapkali meratapi apa yang menimpaku sementara aku tak siap menerimanya.Wahai Tuhan, telah kuberikan tulus pengabdian, perhatian dan rasa tanggung jawab terhadap murid-muridku saat ini. Mengapa begitu rumit jalan membentang di jalurku, Tuhan? Belum cukupkah rasa sakit ini, pukulan, hantaman dan tendangan ini?Allaahu Robbi, salahkah aku hin
Saat kemudian aku, Elis, dan Asep mulai merajai jalanan di atas sepeda, matahari masih memancarkan sinar yang cukup bersahabat pagi ini. Kukayuh sepeda tua milik Abi. Sementara itu, Asep mengayuh sepedanya agak jauh di belakangku. Elis pun bersepeda dengan gesit, seperti memandu kami menyusuri jalan menuju Situ Gintung. Situ Gintung adalah danau yang pernah jebol hingga memakan korban di tengah-tengah Kota Ciputat, yang kini sudah berhasil direnovasi hingga kembali asri. ”A Bram! Kita balapan, yuk, sampai gerbang Situ Gintung!” teriak Elis. ”Ayooo! Siapa takut?” ”Wah, pada nggak tau Asep, ya? Lihat aja ntar, Asep kan paling jago sepedaan!” teriak Asep pula.Di jalanan yang agak sepi dari lalu-lalang kendaraan itu, kami bersiap untuk berl
“Elis,” panggilku lirih, setelah melirik Asep yang masih tekun mengutak-atik ponsel.“Iya, A?”Dia menatapku sekarang.“Aa masih penasaran pada laki-laki yang pernah Elis ceritakan belum lama ini.” Ungkapku akhirnya.Tiba-tiba aku merasa konyol mendengar pernyataan bodoh itu dari mulutku sendiri. Mulai menyesal, apalagi kulihat Elis seperti kebingungan. "Maaf, A. Elis nggak akan bilang sama Aa.” “Elis nggak mau bilang, pasti karena Elis sendiri masih belum yakin apakah perasaan Elis saat ini hanya sekadar kagum, suka, atau benar-benar cinta. Iya, kan?” Kulihat Elis menarik napas dan mengembuskannya lembut sekali. Kali ini dia tidak lagi melihat ke arahku, melainkan memandang lepas ke peman
“Nggak usah pura-puralah, Pak. Dari kemarin sekolah ini udah heboh. Teman-teman kami, guru-guru dan kepala sekolah, semua sudah tau!” mata Sylla nyalang menatapku. “Coba Bapak lihat di kelas sekarang. Semua orang ngomongin Bapak. Semua kecewa dan benci sama Bapak. Termasuk saya, Pak, orang yang pernah berharap bahwa kita bisa berteman, tapi ternyata …” “Saya memang tidak pantas jadi temanmu, Sylla, seandainya berita itu benar!” sanggahku kesal. Kuhela napas panjang dan mengembuskannya tak sabar. “Saya akan jelaskan bahwa ini semua …” "Terlambat.” Sylla memotong, lalu membalik punggungnya. “Dan mungkin nggak akan ada yang percaya sama Bapak lagi.”Sylla pun melangkah pergi meninggalkanku.Aku semakin bingung. &nbs
Matahari kian tenggelam menjelang petang ini, namun hawa bumi masih terasa panas. Panasnya terus melekat hingga ke dalam angkot bercat putih yang kutumpangi.Aku masih belum memahami ulah Nayyara yang membuatku kembali diremehkan siswa-siswi di sekolah. Meski aku berusaha mengabaikannya dan berharap keadaan akan segera membaik, hatiku tak urung risau ketika Pak Tris menegurku perihal kabar kurang enak yang beredar di sekolah."Bersihkan namamu, Bram. Perlu diingat, banyak orang-orang yang hancur di kaki sendiri. Mereka berusaha mempertahankan citra diri, namun kadang mereka sendirilah yang menghancurkannya." Kata-kata Pak Tris seperti sebuah tamparan keras untukku. Setidaknya ke depan aku harus lebih berhati-hati. Satu hal yang benar-benar jadi pelajaran berharga, bahwa kadang-kadang ada saja yang salah mengartikan perhatian dan kebaikan yang tulus. Di mana letak salahku saat setulus hati memberi perh
Mungkinkah ini artinya, Allah langsung menjawab sholawat dan doaku?“Bram, ente sering bilang kalau ente nggak punya perasaan khusus buat Elis. Tapi ane tau, Sob, ane bisa membaca sikap ente selama ini. Sekarang terserah ente, Bram. Ente mau mundur, itu hak ente. Maafin ane udah blak-blakan ngomong gini sama ente malam ini. Karena ane nggak mau ente sampai terjatuh dari ketinggian, saat rasa yang ente miliki sudah begitu dalamnya sama Elis.”“Thanks, Sobat.” Kutelan getirnya ludah saat mengucapkannya. Tidak tahu harus bicara apa lagi. “Yaa, sebenarnya, aku cuman anggap Elis … seperti adikku sendiri. Nggak lebih. Kamu tenang aja, ya, nggak usah khawatir."Fajrin tersenyum lega mendengar jawabanku.“Baguslah kalo gitu. Berarti, ane ngomong kayak gini nggak bakalan bikin ente susah tidur, kan? Hehehe!” Fajrin terlihat tenang sekarang. Aku ter