Share

5. Tawaran Mengajar

Masih di tempat yang sama, keesokan harinya.

Kulihat langit tampak mendung dan mulai gelap. Ketika akhirnya hujan deras mengguyur, aku mengikuti orang-orang yang berlarian mencari tempat berteduh. Sebuah halte tak jauh dari sini, tampaknya menjadi satu-satunya tujuan kami.

Aku berdiri seolah terpaku menghadap jalan yang basah oleh rinai hujan. Punggung dan kakiku masih terasa sakit. Semalam, di antara nyeri yang belum mau pergi, aku kembali menulis CV dan surat lamaran pekerjaan. Namun, sepertinya hari ini pun aku tak bisa berbuat banyak. Fajrin memang membantuku mencarikan iklan lowongan kerja di koran-koran, tetapi lokasinya selalu tak terjangkau. Jika aku tetap nekat mencoba, rasanya itu hanya akan menambah kesusahanku.

“Bram!”

Seseorang menepuk bagian belakang bahuku. Aku menoleh cepat ke arahnya.

“Lho, Pak Tris?” seruku riang begitu mengetahui orang di belakangku. Kugenggam erat dan kucium tangannya dengan hormat. “Alhamdulillaah, saya ketemu Bapak lagi!”

Halte semakin penuh manusia karena hujan kian mengguyur. Aku makin merasa bahwa dunia memang selebar daun kelor! Aku benar-benar tidak menyangka bertemu lagi dengan guruku saat SMK. Kulihat, Pak Tris pun antusias memerhatikan map di tanganku.

“Kalau pulang kuliah, kamu ada aktivitas lain apa, Bram?” tanya Pak Tris.

“Nggak ada, Pak,”

“Begini, apa kamu tertarik kuliah sambil ngajar?” Pak Tris memegang bahuku, menawariku sesuatu yang membuatku terkejut seketika. “Kalau kamu mau, kebetulan, ada tawaran mengajar buat kamu. Jam mengajarnya siang hari, jadi kamu bisa langsung ngajar sepulang kuliah.”

“Ngajar? Materi apa, Pak? Bahasa?”

“Kesenian. Bapak lagi butuh guru kesenian. Kebetulan, guru yang sudah ada minta berhenti. Susah nyari guru kesenian sekarang,” Pak Tris menggeleng-geleng. “Nggak apa-apa jurusanmu bahasa Indonesia. Bapak lihat, kamu punya bakat besar di bidang seni selama SMK dulu. Bagaimana?"

Aku gugup.

Mengajar anak SMU? Ah, aku tak punya pengalaman mengajar di sekolah. Tidak mungkin aku langsung menyanggupinya. Sementara itu, tawaran ini adalah kesempatan emas untuk mewujudkan rencanaku bekerja sambil tetap kuliah. Bukankah aku memang sedang mencari kerja?

“Baiklah, Pak,” aku mengangguk, “saya mau!”

Aku sendiri tak percaya dengan apa yang kukatakan. Bagaimana bisa aku seyakin itu menyanggupi tawaran Pak Tris?

Pak Tris menepuk bahuku lagi. “Nah, kalau gitu, hari Senin nanti kamu datang langsung saja ke sekolah Bapak, ya. Siapkan CV dan surat lamarannya. Jangan lupa, surat keterangan bahwa kamu mahasiswa. Ini alamatnya.”

Selembar ID card diletakkan di telapak tanganku. SMU Insan Kamil.

SMU Insan Kamil? Bukankah itu sekolah yang beberapa siswanya pernah bersamaku pada suatu tawuran di Pasar Jumat Lebak Bulus?

Pak Tris mendongakkan kepala mengamati langit dan mengukur intensitas hujan yang mulai berkurang.

“Oke, Bram. Bapak duluan, ya. Ada yang menunggu di rumah. Bapak tunggu di sekolah.” Pamitnya.

“Baik. Terima kasih, Pak!”

Kuperhatikan laki-laki itu keluar dari halte yang teduh, berjalan menuju motornya yang diparkir tak jauh dari sini. Kupandangi Pak Tris sampai dia mengenakan helm dan melaju pergi.

***

Tak sabar menunggu sampai benar-benar reda, aku memilih menembus hujan agar segera tiba di kamar indekos yang sederhana tetapi selalu terasa nyaman. Setibanya di sana, kutemukan Fajrin asyik berbaring menekuni buku bacaannya ketika aku membuka pintu.

“Sob, aku dapat tawaran ngajar di SMU Insan Kamil. Menurutmu gimana?”

Kening Fajrin tampak berkernyit sejenak. Detik berikutnya, dia tertawa.

“Apa? Ngajar? Hahaha! Emang ente bisa? Tampang musisi rock n roll gini mau ngajar?"

“Nggak tahu nih, aku juga bingung. Ngajar kesenian lagi.”

“Eh, tunggu-tunggu!” Fajrin bangkit dari posisinya. Lalu, duduk dengan sikap serius. “SMU Insan Kamil? Astaghfirullaah, itu SMU yang sering tawuran, kan? Ente tau nggak, siswa-siswanya terkenal badung. Rata-rata mereka anak buangan karena dikeluarkan dari sekolah terdahulu. Bram, ente ngajar aja ane masih nggak yakin bisa atau nggaknya, apalagi kalo kalau ngadepin anak-anak badung! Ente yakin?”

 Aku semakin resah mendengar informasi yang disampaikan Fajrin. Aku bukan mahasiswa fakultas Tarbiyah. Karenanya, aku tak punya bekal untuk mengajar. Sehari-hari aku disibukkan dengan buku-buku sastra. Kalau hanya mengajari Asep yang ‘Cuma’ siswa SD sih lain cerita. Mengajari Asep tidak harus jadi guru dulu. Namun, kalau mengajar anak-anak SMU yang badung?

Tunggu! Bukankah Pak Tris bilang, aku mengajar kesenian? Seharusnya aku mampu memberi siswa-siswaku kelak sedikit inspirasi, sebadung apapun mereka.

“Hey, Bram, kok melamun?”

“Ah, nggak tahu deh, Sob. Aku benar-benar lagi butuh kerjaan sekarang.” Gelengku, pasrah.

“Ya udah, ente terima aja. Ente lihat aja nanti. Kalau memang ente nggak sanggup, ya nggak usah dipaksain. Gampang, kan?"

Aku tidak menjawab.

Aku tahu, Fajrin hanya berusaha membuatku tenang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status