Share

bab 7

Bab 7

Pov. Rindu

Aku melihat Mas Samsul melamun, entah apa yang sedang ia pikirkan. Bahkan, es batu yang ia pegang untuk mengompres pipiku pun sudah terlihat mencair dan membasahi tangannya.

"Mas ...." panggilku mengalihkan lamunannya.

"Eh, ... Iya, Dek kenapa? Maaf mas tadi sedikit melamun," ujarnya sedikit kaget.

Aku menatapnya lembut, kuberikan senyum termanis yang aku miliki.

"Kamu sedang ngelamunin apa, Mas? Kejadian tadi?" tanyaku lembut.

"Bukan, Mas hanya tiba-tiba saja jadi keingat masalalu. Saat mas kecil dulu bersama Joko," ujarnya tersenyum yang terkesan dipaksakan.

Mas Samsul pun akhirnya menceritakan semuanya, mulai dari Joko kecil sampai lahirnya Ardi dan mereka tumbuh besar bersama.

Tak terasa air mataku mengalir begitu saja, antara haru dan sedih. Ternyata sikap kedua mertuaku itu memang sudah seperti itu sejak dulu. Mungkin itulah yang menjadi salah satu alasan adik-adik beserta istrinya tak pernah menghargai suamiku.

Miris memang, orang tua yang seharusnya menjadi tempat anaknya pulang, tempat untuk berkeluh kesah dan mencurahkan kasih sayang, tempat yang seharusnya menjadi garda pertama dalam perlindungan. Justru telah menorehkan luka yang sedemikian dalamnya di hati Mas Samsul.

Aku benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran mereka, jika memang tidak menginginkan suamiku. Kenapa mereka tidak memberikannya saja pada orang lain yang mungkin saja bisa menyayangi dan mengasihi serta mendidik suamiku dengan baik.

Karena hari semakin malam, kami pun memutuskan untuk melaksanakan shalat isya berjama'ah, lalu setelah itu menyantap makan malam bersama dan di lanjut pergi tidur.

Yang jelas, kisah Mas Samsul hari ini menjadi menjadi back sound pengantar tidur kami malam ini. Dengan harapan, hari esok akan jauh lebih baik lagi dan semoga kami selalu diberikan kesabaran yang seluas samudra. Amin.

***

Seperti biasa, pagi ini aku sudah berkutat di dapur dengan di bantu oleh suamiku membuat dagangan untuk di jual di warung. Kagiatan pagi kami memang selalu seperti itu, dan aku merasa bersyukur sekali karena memiliki suami yang begitu ringan tangan dalam membantu pekerjaan istrinya.

"Dek, ini kue, nasi uduk dan sotonya Mas taruh di depan dulu ya. Sekalian Mas buka warungnya, siapa tau dapat penglaris," ujarnya bersemangat.

"Oh iya, Mas. Terima kasih ya udah mau bantuin," sahutku.

"Sama-sama, Dek. Suami istri itu kan memang harus saling membantu," ujarnya lalu membawa bebebapa menu dan jajanan yang memang sudah siap untuk di jual.

Aku memang membuka warung sarapan kecil-kecilan di depan rumah. Meskipun kami hidup di desa, tapi untuk jualan sarapan seperti ini lumayan menjanjikan juga. Alhamdulilah, bisa untuk bantu-bantu kebutuhan sehari-hari kami.

Jam setengah enam semuanya sudah siap. Tak butuh waktu lama, warung kami pun dipenuhi oleh pembeli. Mas Samsul membantuku melayani para pembeli yang makan di tempat, sedangkan aku sibuk melayani pembeli yang di take away. Kami berdua bahu membahu dalam mencari nafkah pagi ini.

Ketika sedang asyik-asyiknya melayani pembeli, trio pengacau pun datang. Siapa lagi kalau bukan mamak mertua, Aulia, dan juga Desrina alias Sri. Dengan angkuhnya mereka duduk di bangku yang memang sengaja disediakan untuk para pembeli yang menginginkan makan di tempat.

"Heh, Rindu! Buatkan kami soto satu porsi, nasi uduk satu, dan nasi pecalnya juga satu. Jangan lupa gorengan sama aneka sate-sateannya!" titah mamak mertua seperti biasa. Persis seperti memerintah pada babunya saja, sedang babu saja dibayar. Lah aku mah gratisan, sering dibully lagi.

Jujur melihat tingkahnya aku sedikit kesal. Seakan-akan kejadian tamparan semalam tidak pernah terjadi. Bak orang tanpa dosa datang dengan gaya angkuh dan bossy nya.

Aku pun membuatkan sesuai dengan pesanan mereka. Dari ekor mataku, tampak Aulia dan Sri menatap ke sekitaran warungku, lalu tersenyum meremehkan.

"Ya ampun, aku kira tuh sekelas rumah makan atau resto gitu. Eh, nggak taunya cuma gubuk begini doang tapi lagaknya bangga banget kayaknya," celetuk Sri menyidir dengan tatapan meremehkan dan menghina.

"Iya ya, Mbak. Pake gegayaan sok gak butuh warisan, cuih! Munafik!" timpal Aulia memperagakan seperti orang yang tengah meludah.

"Halah, biasa itu. Orang kalau dasarnya kere, baru punya usaha begini aja udah sombong dan sok kaya," sahut mamak mertua ikut menimpali ucapan kedua menantu kesayangannya, lalu mereka pun tertawa bersama. Tawa yang menurutku sarat akan ejekan dan cemoohan.

Dari seberang meja mereka, kulihat Mas Samsul sudah mengepalkan kedua tangannya, wajahnya pun tampak sudah merah padam. Sepertinya, sebentar lagi emosinya segera meledak. Wah, bisa bahaya ini kalau sampai mereka cekcok, gak enak karena masih banyak pembeli yang sedang makan di sini.

Aku buru-buru menghampirinya sebelum semuanya terlambat, aku elus lembut bahunya dan kugenggam tanganya.

"Mas ...." panggilku dan dia pun menoleh.

"Untuk kali ini saja, Dek. Mereka sudah sangat keterlaluan padamu, aku nggak terima mereka berbicara seenaknya seperti itu. Sekali saja aku ingin memberikan mereka pelajaran, biar mereka tahu apa artinya menghargai!" pinta Mas Samsul geram.

Aku menggeleng pelan, menandakan jika aku tidak menyetujui permintaannya kali ini.

"Jangan, Mas. Nggak enak sama pembeli yang lain, nanti mereka jadi kapok makan di warung kita kalau ada keributan di sini. Sabarlah, Mas Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan umatnya. Percayalah, suatu saat pasti Allah akan menurunkan hidayahnya pada mereka," ucapku membujuknya.

Mas Samsul menghela napas panjang demi menetralkan amarah di dadanya. Aku pun sama geram dan kecewanya pada mereka, tapi untuk membalas saat ini juga aku rasa waktunya tidaklah tepat.

"Hei! Aku itu sudah pesan makanan dari tadi, kenapa kalian malah mojok berdua di sana! Cepat buatkan pesanan kami, kami sudah lapar!" teriak ibu mertuaku sambil matanya sedikit melotot.

"Tuh, kamu lihat sendiri kan, Dek. Sikap mereka itu rerlalu semena-mena, aku hanya nggak mau kamu merasakan seperti apa yang aku rasakan saat kecil dulu," protes Mas Samsul semakin geregetan.

"Udah lah, Mas biarkan saja. Lebih baik sekarang kamu bantuin aku buatkan minuman untuk mereka, jangan sampai nanti mereka membuat ulah yang lebih parah lagi dan bikin warung kita sepi!" titahku akhirnya.

"Mbak Rindu! Kamu tuli ya, mamak minta bikinin pesanan kami sekarang juga!" teriak Aulia semakin tak sabaran.

"Iya, Lia. Tunggu sebentar, ini juga mau mbak buatin, kok!" sahutku.

Aku dan Mas Samsul pun akhirnya kembali menyiapakan pesanana trio rusuh yang tadi sempat tertunda. Mas Samsul terus memasang wajah masam dan kesalnya.

"Apa perlu minuman ini aku kasih sianida, biar pada diam mereka itu!" gerutu Mas Samsul yang seketika membuat aku syok bukan main.

"Mas ...! Jangan aneh-aneh, deh! Aku nggak mau kamu masuk penjara, ya!" tegurku lirih takut kalau sampai trio rusuh mendengarnya.

Mas Samsul terkekeh pelan. Aku tahu dia hanya bercanda saja, tapi kalau sampai ada yang mendengarnya kan bisa berabe nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status