Share

bab 6

Ipar Ipar Serakah

Bab 6

🍁 Pov. Samsul

Aku berjalan sedikit cepat dengan membawa dua kilo gula merah buatan mamak. Jalanan desa yang terjal dan berbatu membuatku sedikit kesulitan. Desa kami pada masa itu merupakan desa tertinggal dan belum tersentuh aspal sama sekali. Berbeda dengan desa-desa sekitar yang sudah mulai di aspal dan mulus.

Akhirnya aku sampai juga di warung Mbok Jum. Seperti biasa, aku menyerahkan dua kilo gula untuk ditimbang ulang olehnya.

"Ini pas dua kilo ya, Sam. Ini uangnya." Mbok Jum memberikan empat lembar uang seribuan berwarna biru. Setelah menerima dan mengucapkan terima kasih, aku pun pamit untuk kembali pulang.

Di jalan aku sedikit berlari karena takut terlambat ke sekolah. Begitu sampai di rumah, mamak, bapak, dan Joko sedang duduk di teras menungguku. Joko sudah rapi dengan tas barunya, sementara tas lama Joko mamak berikan padaku. Padahal tas itu sudah ada beberapa bagian yang bolong, tetapi memang tidak separah bekas tasku sebelumnya.

"Sini, mana uangnya?" mamak menadahkan telapak tangan kanannya ke arahku. Aku pun menyerahkan semua uang yang diberikan oleh Mbok Jum tadi.

"Lho, kok cuma segini, Sam? Mana yang lainnya? Pasti kamu umpetin 'kan, cepat berikan sekarang juga dan jangan buat aku marah ya!" bentak mamak tak percaya dan menggeledah seluruh pakaian yang aku kenakan. Namun nihil, mamak tak menemukan apapun karena memang uangnya hanya segitu saja.

"Hanya itu, Ma. Sudah nggak ada lagi, hasil penjualan gula memang cuma segitu," ucapku jujur.

"Awas kamu ya kalau sampai ketahuan bohong dan mencuri, mama akan hukum kamu! Dasar bod*h dan tidak berguna!" hardiknya tanpa perasaan di depan adik dan juga bapakku.

Hatiku teramat sakit mendengarnya, terlebih lagi ketika mama memberi uang saku pada Joko sebesar lima puluh rupiah, sedangkan padaku mamak tak memberinya sama sekali.

"Mak, kenapa hanya Joko saja yang diberi uang saku sedangkan aku tidak?" tanyaku waktu itu.

"Buat apa aku memberi uang saku pada anak bod*h dan tidak berguna sepertimu. Lagi pula, aku yakin kamu pasti sudah menyimpan sebagian uang hasil penjualan gula tadi, 'kan," ujar mamak masih saja menuduhku.

"Demi Allah, Mak. Memang cuma segitu uangnya, nggak ada lagi. Kalau mamak tidak percaya, tanyakan saja pada Mbok Jum."

Aku pun masuk ke rumah untuk mengambil tas sekolahku yang mana itu adalah tas lungsuran dari Joko. Aku lalu memasukan satu-satunya buku tulis yang aku punya ke dalam tas. Jika murid lain memiliki banyak buku tulis dan juga pinsil, tetapi berbeda dengan aku. Yang hanya punya satu saja alias semata wayang. Satu buku tulis untuk semua mata pelajaran, makanya jadi cepat habis.

Berbeda dengan Joko yang setiap kali kenaikan kelas pasti Mamak akan membelikannya dua pak sekaligus. Namun, setiap kali lembaran putih di bukuku habis dan aku meminta mamak untuk membelikannya lagi. Pasti beliau akan mengomel seharian dan berujung memukul atau mencubit salah satu bagian tubuhku.

Aku kembali ke teras untuk bersalaman dan berpamitan pada kedua orang tuaku sebelum berangkat sekolah bersama Joko. Aku dan Joko memang bersekolah di sekolahan yang sama, hanya bedanya Joko duduk di kelas tiga dan aku duduk di kelas enam.

Wajah mamak dan bapak begitu masam saat aku mencium punggung tangan mereka, berbeda dengan saat Joko menyalami mereka. Aku sudah mulai terbiasa akan perbedaan itu. Toh memang sejak Joko lahir kedua orang tuaku memang selalu membedakan kami.

"Hati-hati ya, Nak. Sekolah yang pintar biar jadi anak yang beguna bagi nusa dan bangsa. Biar kalau sudah besar nanti bisa dapat kerja enak, jangan seperti abangmu yang bod*h dan tidak berguna itu!" seru Mamakku pada Joko sembari menatap sinis ke arahku.

Sepanjang jalan aku hanya diam tak banyak bicara, berbeda dengan Joko yang terus berceloteh memamerkan beberapa barang keperluan sekolah yang baru dibelikan oleh mamak dan babak beberapa hari lalu. Seperti, seragam, sepatu, tas, , pinsil, penghapus, serta rautan. Aku hanya memilih menjadi pendengar saja sembari menahan perih di hati ini.

***

Sesampainya di sekolah, aku mengantarkan Joko ke kelasnya lebih dulu, sesuai dengan perintah bapak dan mamak. Jika dinilai dari penampilan, aku dan Joko bak langit dengan bumi. Joko terlihat mentereng sedangkan aku layaknya seperti pelayan. Celana merah yang warnanya sudah sangat pudar dan menggunakan sabuk tali rafia sebagai penahannya agar tidak melorot.

Baju seragam warna putih yang kini juga sudah berubah menjadi kekuningan, dengan beberapa kancing yang sudah copot dan diganti dengan peniti. Dan juga tas yang tercantol di pundakku yang terdapat lubang di beberapa bagiannya dan hanya disumpal menggunakan plastik kresek bening. Penampilan kami sungguh kontras, bukan.

"Mas antar kamu sampai sini, ya. Kamu masuk dan duduk lah, sambil menunggu guru datang!" pesanku yang hanya mengantarnya sampai depan pintu kelasnya. Joko pun hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Kulihat kedatangan adikku disambut baik oleh beberapa temannya yang langsung mengerubungi meja tempat Joko berada.

"Widih, serba baru nih kayaknya!" seru seorang teman Joko bertubuh tambun bernama Bimo.

"Iya, dong. Joko!" sahut Joko jumawa dan bangga.

Aku memang sengaja tak langsung meninggalkan adikku begitu saja. Melainkan menungguinya sebentar, memastikan tidak ada satu orang pun yang membulinya, baru aku akan pergi ke kelasku sendiri.

"Tapi, kenapa bekas tas kamu sekarang malah dipakai sama Masmu?" tanya Bayu anak Yuk Parmi tetangga belakang rumahku yang memang satu kelas dengan adikku.

Raut wajah Joko yang tadinya semringah tiba-tiba cemberut. Ia menoleh ke arahku dan menatapku dengan sinis. Entah apa maksudnya, aku pun tak tahu.

Joko bangkit dan berjalan ke arahku, raut wajahnya seperti orang tengah menahan amarah. Setelah ia berhasil mengikis jarak, tiba-tiba Joko mendorong tubuhku hingga terjungkal ke lantai mester. Matanya melotot dengan bengis dan menarik kasar tasku hingga membuatnya sobek tak bisa dipakai lagi. Aku pun terkesiap kaget dengan tindakannya yang tiba-tiba seperti itu.

"Joko, kamu kenapa mendorongku? Apa salahku?" tanyaku bertubi-tubi.

"Salahmu adalah menjadi Masku! Aku nggak mau punya saudara sepertimu yang hanya bisa bikin aku malu saja!" hardiknya dengan keras. Wajahnya memerah, kelopak matanya pun berkaca-kaca dan siap untuk menangis.

"Kamu ini ngomong apa sih, Jok! Aku sama sekali nggak ngerti apa salahku sampai-sampai kamu tiba-tiba marah dan menyerangku seperti ini!" seruku masih berusaha mencerna kejadian barusan.

"Ternyata memang benar apa yang selalu dikatakan Mamak dan bapak kalau kamu itu memang gak berguna dan bod*h. Bisanya hanya bikin malu keluarga dan pembawa sial!" pekiknya semakin keras.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau Joko tega mengatakan itu padaku di depan semua orang. Saat itu kami telah menjadi bahan tontonan para siswa yang ada di sekolah kami. Untungnya para guru belum pada datang karena hari masih terlalu pagi.

Setelah mengatakan itu, Joko kembali masuk ke kelasnya tanpa menghiraukan keadaanku yang sudah sangat malu. Aku hanya mampu memandang nanar punggung tambunnya sampai menghilang di balik pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status