Share

bab 8

Bab 8

"Cuih! Makanan apa ini! Asin sekali dan hampir basi!" hardik Desrina alias Sri tiba-tiba sembari melepehkan makanan dari mulutnya dan mengelap bibirnya menggunakan tissu makan yang memang telah di sediakan.

Otomatis, semua pasang mata tertuju ke arahnya, lalu sebagian bergantian menatap ke arahku penuh curiga.

"Sri, apa maksud kamu ngomong begitu! Rindu memasaknya itu semua dadakan, ya. Kamu nggak usah mengada-ada!" bentak Mas Samsul yang sedang berdiri di sebelahku.

"Mengada-ada apanya sih, Mas! Orang ini benaran, kok! Coba aja kamu lihat di piringku sekarang, nggak higienis juga. Mana ada kecoanya lagi, kamu itu niat jualan apa mau ngeracunin pembeli, sih!" fitnah Sri dengan berteriak lantang seolah-olah dialah yang paling benar.

Aku dan Mas Samsul langsung menghampiri meja Sri dan melihat ke arah piringnya untuk membuktikan semua perkataan yang ia tuduhkan padaku. Kami terperanjat ketika ada seekor kecoa tengah terlentang di atas makananan yang tersaji di piring Sri.

"Loh, kok bisa? Padahal aku sudah pastikan kalau semua makanan yang aku masak dan sajikan itu higienis," ucapku menatap semua orang yang ada di sana.

Aku lihat Ibu dan Aulia saling tatap lalu saling memberi kode dengan kedipan mata, begitu juga dengan Sri. Aku jadi curiga, jangan-jangan mereka sengaja melakukan semua ini.

"Mau ngomong apa lagi kalian sekarang, heuh! Sudah jelas-jelas ada buktinya di depan mata, apa masih mau mengelak juga!" hardik Mamak dengan jari menunjuk ke arah wajahku dan Mas Samsul sambil berkacak pinggang dan nada bicara berapi-api.

"Makanya, Mbak, Mas. Kalian itu kalau gak becus jualan ya jangan jualan dong! Apalagi ini tuh makanan, masuk dan dicerna oleh tubuh. Bisa-bisa orang-orang yang memakan hasil olahan kalian keracunan dan mati!" timpal Aulia semakin mengompori.

"Astaghfirullah! Aku berani bersumpah kalau semua makanan ini aku olah dengan benar dan bersih! Masalah tiba-tiba ada kecoa di dalam piring Sri itu aku benar-benar nggak tahu. Tadi saat aku menyiapkan dan menyajikannya aku sudah benar-benar teliti!" ucapku membela diri.

"Halah, maling mana ada yang mau ngaku! Pokoknya sekarang kamu harus bayar ganti rugi. Aku harus memeriksakan diri ke rumah sakit, kecoa itu kan binatang jorok. Pasti sudah banyak kuman yang menempel di tubuhnya. Sini, bayar sekarang juga!" sentak Sri menadahkan telapak tangannya ke arah kami berdua.

"Enak saja! Aku tau akal bulus kalian yang ingin menghancurkan usahaku 'kan! Jangan kalian pikir aku dan Rindu itu bodoh, ya. Kalian pasti sengaja membawa binatang itu lalu menaruhnya di atas piring agar terkesan warung kami ini jorok, iya kan!" skak Mas Samsul langsung pada intinya.

"Jangan sembarang menuduh, ya! Mana buktinya kalau aku yang membawa binatang itu untuk memfitnahmu!" tantang Sri.

Tiba-tiba, seorang pembeli yang merupakan langganan di warungku ikut menimpali.

"Maaf sebelumnya saya tidak bermaksud untuk ikut campur, tapi sejauh saya menjadi langganan di warung Mbak Rindu. Belum pernah terjadi peristiwa seperti ini, bahkan saya sering memesan nasi box maupun takjil untuk setiap acara di kampus dan semuanya baik-baik saja. Bahkan, kebanyakan dari mereka sangat menyukai masakan Mbak Rindu. Jadi saya rasa, kejadian ini pasti ada unsur kesengajaan dari seseorang yang tidak menyukai usaha Mbak Rindu!" tuturnya panjang lebar.

Orang itu adalah Ali, salah satu mahasiswa di universitas terkenal di kota Jogja. Ia memang sedang pulang liburan ke rumahnya yang berada di desa Sebelah.

"Jadi kamu juga mau ikut-ikutan nuduh aku? Hati-hati lho, kamu juga bisa aku laporkan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik!" ancam Sri lantang.

"Saya tidak menuduh, Mbak. Saya hanya mengatakan testimoni saja sebagai bahan pertimbangan dalam menyelesaikan kejadian ini," ujar Ali .

"Halah, jangan sok belain orang yang jelas-jelas salah, ya! Kamu itu seorang mahasiswa, harusnya kamu membela pihak yang benar, bukan malah membela mereka hanya karena alasan sudah jadi langganan. Dibayar berapa kamu untuk membela mereka?" tanya mamak mertuaku.

"Astaghfirullah!" Aku hanya bisa mengelus dada.

Karena suasana yang semakin tidak kondusif, aku pun akhirnya memutuskan untuk menutup warung jualanku dan mengajak ketiga trio rusuh untuk membicarakannya secara kekeluargaan saja. Untuk para pembeli yang sudah terlanjur datang tetap aku layani dan aku berikan gratis untuk mereka. Dari pada mubazir kan lebih baik dibagi-bagi untuk yang mau.

Alhamdulilahnya mereka sama sekali tidak terprovokasi dengan ucapan ketiga trio rusuh itu. Aku bersyukur karena para customer masih mau mempercayai ucapanku. Aku benar-benar harus memberi mereka pelajaran kali ini, karena sudah benar-benar keterlaluan.

"Duduk!" titah Mas Samsul pada trio rusuh setelah kami semua berada di ruang tamu rumahku.

Rumah ini, adalah hadiah dari orang tuaku. Mereka memberikan sejumlah uang dan menyuruhku juga Mas Samsul untuk membeli sebuah rumah agar tidak terus-terusan menumpang di rumah mertua.

Awalnya aku ingin membeli di pusat kota, tetapi karena waktu itu mamak mertua meminta aku dan Mas Samsul untuk tinggal tidak juah dari rumahnya. Akhirnya aku pun memutuskan untuk membeli rumah ini. Sebenarnya Mas Samsul sudah melarangku untuk membelinya karena ia bilang tidak mau hidup berdekatan dengan orang tuanya. Saat aku tanyai kenapa, dia hanya menjawab tidak ingin saja.

Menurutku, alasan Mas Samsul pada saat itu sulit aku terima. Karena sangat ambigu, andai ia menjelaskan dengan detail tentang alasannya sejak awal. Sudah pasti aku tidak akan mau membeli rumah ini dan tinggal di desa ini. Sayangnya, ia baru mengatakan alasannya menolak setelah aku dan juga keluarganya slek.

Kalau sudah begini, mau tidak mau aku harus sabar sambil mengumpulkan uang lagi untuk modal tambahan membeli rumah di pusat kota.

Kini di ruang tamu, kami berlima telah berkumpul. Aku duduk di sebelah suamiku, dan mereka duduk berendeng tiga di sofa panjang berhadapan dengan kami.

"Udah deh, nggak usah cari alasan lagi buat nggak ganti rugi. Tinggal kasih aja uang, udah beres. Ngapain harus dikumpulin dulu di sini, apa jangan -jangan sengaja mau pamer isi rumah!" ujar Sri membuka pembicaraan.

"Kamu bisa diam dulu nggak, Sri. Suamiku baru mau menjelaskan, biarkan dia bicara dulu," sahutku menegurnya.

"Mau ngomong apa lagi emangnya, semuanya sudah jelas, kok. Bukti ada, saksi banyak, mau apalagi, Sam? Mending cepetan kasih dutinya, biar Sri bisa cepat-cepat ke rumah sakit. Takut keburu semua penyakit yang ada di badan kecoa itu pindah ke tubuh menantuku!" Mamak mertua terlihat sudah sangat tidak sabar dan ingin aku memberikan uang itu pada menantunya.

"Nggak bisa semudah itu, Ma. Aku ingin kita pergi ke rumah sakit bersama-sama untuk memeriksa Sri sekarang juga. Jika memang terbukti semua tuduhannya itu benar, berapa pun uang ganti rugi yang dia minta akan aku berikan langsung. Cash, hari ini juga!" tantang Mas Samsul yang seketika membuat mereka bertiga melolot tak percaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status