Share

Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi
Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi
Penulis: Astika Buana

Bab 1. Jawaban

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-27 16:01:08

[Dek Arif, bisa dipinjamkan uang lima ratus atau berapa saja? Untuk beli beras dan kebutuhan satu minggu. Minggu depan Mas Farhan baru dapat pembayaran, nanti aku transfer balik]

Aku mengirim pesan w******p ke adikku, dia tinggal di Jakarta. Ini kali pertama aku meminta bantuan, mengirim pesan ini sungguh suatu keterpaksaan. Namun, bagaimana lagi, anak-anak butuh makan.

 

Satu menit, lima menit, setengah jam, satu jam, belum ada balasan. Ponsel aku letakkan disampingku. Aku menunggunya sambil melipat baju sambil sesekali menilik benda pipih ini, dan sekarang sudah dua jam lebih, tidak ada balasan darinya.

 

Pasti dia sibuk, kalau tidak punya uang tidak mungkin.

 

Aku yakin, uang segitu tidak begitu besar baginya, yang masih memiliki satu orang anak balita. Kehidupan ekonominya cukup stabil dengan pekerjaan tetap sebagai manager di perusahaan terkemuka, lain dengan kami yang mengais rejeki tidak tetap. 

 

Dulu kami mempunyai warung dan pernah berjaya, namun banyaknya pengurangan tenaga kerja di pabrik sekitar menyebabkan warung kami sepi dan akhirnya tutup.  Mas Farhan pun mencari pendapatan dengan memborong bangunan kecil-kecilan, itupun minggu ini hanya mendapat satu pekerjaan--memasang pagar. Akupun menjual makanan online dengan pelanggan yang kadang ada, dan lebih sering tidak ada yang pesan.

 

Tring .... Tring ..... 

Akhirnya ada balasan, senyum di bibir terbit dengan sendirinya. Ternyata adikku tidak mengabaikan, dia bisa menolongku dari kesulitan ini.

 

[Mbak Fika, aku tidak ada uang. Kemarin saja Melia uang tahun habis 15jt]

[Harusnya Mbak Fika kirim hadiah untuk keponakannya, kok malah minta uang]

 

Deg!

Tanganku gemetar setelah membaca pesan yang masuk. Hati ini seperti tertusuk, aku yang mengirim pesan dengan meletakkan ego mendapatkan jawaban yang meletakkan aku di bawah kaki. Aku meminjam, kenapa diperlakukan sebagai peminta?

 

Itupun untuk makan, bukan untuk berfoya-foya. Seperti orang yang kelaparan, kami dipameri gaya hidup hedon yang merayakan ulang tahun sampai jutaan. Itupun untuk anak umur satu tahun.

 

[terima kasih. Selamat Ulang Tahun] Jawabku tanpa ada basa-basi. Aku menerbitkan hati yang kaku, menganggap dia sama seperti orang yang kutemui di jalan. Ini untuk kewarasan. Kalau aku masih menganggapnya saudara, hati ini pasti lebih sakit. 

 

Segera aku hapus percakapan kami, aku tidak mau Mas Farhan membaca dan mengetahui sikap adik iparnya. Aku menghela napas panjang, menenangkan hati sebelum keluar kamar. Mungkin Mas Farhan mendapatkan kabar baik dari adiknya.

 

"Mas, ada kabar?" tanyaku kepada Mas Farhan suamiku. Dia yang sedari tadi memandangi ponsel, berpaling ke arahku dan menggelengkan kepala. 

 

"Sabar, ya. Dek Hana belum jawab. Mas yakin, pasti ada rejeki," jawabnya dengan sorot mata mohon pengertian. 

 

Aku tersenyum dan duduk di sampingnya. Di saat sulit ini, mengajukan pertanyaan lebih, tidak menyelesaikan masalah. Mas Farhan pasti cukup pusing dengan keadaan kami sekarang.  

 

Kami sama-sama anak pertama dan mempunyai adik. Saat menikah dulu, kami saling mengerti tanggung jawab untuk membiayai adik-adik kerena bapak dan ayah mertuaku sudah meninggal. 

 

Dari warung nasi lah, kami bisa meluluskan mereka menjadi sarjana, Hana sarjana ekonomi dan Arif sarjana tehnik. Melihat mereka berhasil dalam pekerjaan dan memiliki keluarga yang bahagia merupakan kebahagiaan bagi kami. 

 

Memang, kami bukan orang tua mereka, namun tanggung jawab yang kami pikul saat itu sungguh berat. Biaya pendidikan dan kebutuhan mereka yang utama, toh anak-anak kami juga masih kecil. 

 

Duduk Mas Farhan menegak dan wajah cerah seketika melihat ponselnya menyala. Dia menoleh ke arahku sambil mengarahkan ponselnya. "Dari Dek Hana!"

 

Aku merapat ke arahnya, mengintip layar ponsel dengan harapan. 

 

[Mas Farhan ini kenapa, sih? Kok uang segitu kok pinjam. Apa tidak ada simpanan?]

 

[Aku tidak ada uang nganggur. Masih ngumpulin uang untuk uang muka mobil. Ini saja, aku banyak pengeluaran untuk renovasi rumah]

 

[Aku tidak bisa kasih uang]

 

Tangan Mas Farhan menggantung lama sampai layar ponsel menggelap. Dia tercenung, mungkin sama dengan perasaanku tadi.

 

"Pasti ada jalan," gumannya kemudian merangkulku, mencium pucuk kepala ini dan berucap, "Maaf, ya."

 

Sering kali apa yang kita tanam, tidak berbuah seperti semestinya. Sabar, dan iklas yang bisa kami lakukan, walaupun itu berat di hati.

 

***

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nescia Cabral Guterres
aduhhh sakit rasanya ...kok ceritanya seperti terjadi nyata dalam kehidupan kita sehari-hari....kasihan....sakittt kalau mengingatnya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 71. Balasan yang Kami Harapkan

    “Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 70. Jangan Berucap Kata Hanya

    Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 69. Lega Rasanya

    "Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 68. Balas Dendam

    Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 67. Kepepet

    "E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 66. Janji Rendra

    "Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status