Share

Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi
Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi
Penulis: Astika Buana

Bab 1. Jawaban

[Dek Arif, bisa dipinjamkan uang lima ratus atau berapa saja? Untuk beli beras dan kebutuhan satu minggu. Minggu depan Mas Farhan baru dapat pembayaran, nanti aku transfer balik]

Aku mengirim pesan w******p ke adikku, dia tinggal di Jakarta. Ini kali pertama aku meminta bantuan, mengirim pesan ini sungguh suatu keterpaksaan. Namun, bagaimana lagi, anak-anak butuh makan.

 

Satu menit, lima menit, setengah jam, satu jam, belum ada balasan. Ponsel aku letakkan disampingku. Aku menunggunya sambil melipat baju sambil sesekali menilik benda pipih ini, dan sekarang sudah dua jam lebih, tidak ada balasan darinya.

 

Pasti dia sibuk, kalau tidak punya uang tidak mungkin.

 

Aku yakin, uang segitu tidak begitu besar baginya, yang masih memiliki satu orang anak balita. Kehidupan ekonominya cukup stabil dengan pekerjaan tetap sebagai manager di perusahaan terkemuka, lain dengan kami yang mengais rejeki tidak tetap. 

 

Dulu kami mempunyai warung dan pernah berjaya, namun banyaknya pengurangan tenaga kerja di pabrik sekitar menyebabkan warung kami sepi dan akhirnya tutup.  Mas Farhan pun mencari pendapatan dengan memborong bangunan kecil-kecilan, itupun minggu ini hanya mendapat satu pekerjaan--memasang pagar. Akupun menjual makanan online dengan pelanggan yang kadang ada, dan lebih sering tidak ada yang pesan.

 

Tring .... Tring ..... 

Akhirnya ada balasan, senyum di bibir terbit dengan sendirinya. Ternyata adikku tidak mengabaikan, dia bisa menolongku dari kesulitan ini.

 

[Mbak Fika, aku tidak ada uang. Kemarin saja Melia uang tahun habis 15jt]

[Harusnya Mbak Fika kirim hadiah untuk keponakannya, kok malah minta uang]

 

Deg!

Tanganku gemetar setelah membaca pesan yang masuk. Hati ini seperti tertusuk, aku yang mengirim pesan dengan meletakkan ego mendapatkan jawaban yang meletakkan aku di bawah kaki. Aku meminjam, kenapa diperlakukan sebagai peminta?

 

Itupun untuk makan, bukan untuk berfoya-foya. Seperti orang yang kelaparan, kami dipameri gaya hidup hedon yang merayakan ulang tahun sampai jutaan. Itupun untuk anak umur satu tahun.

 

[terima kasih. Selamat Ulang Tahun] Jawabku tanpa ada basa-basi. Aku menerbitkan hati yang kaku, menganggap dia sama seperti orang yang kutemui di jalan. Ini untuk kewarasan. Kalau aku masih menganggapnya saudara, hati ini pasti lebih sakit. 

 

Segera aku hapus percakapan kami, aku tidak mau Mas Farhan membaca dan mengetahui sikap adik iparnya. Aku menghela napas panjang, menenangkan hati sebelum keluar kamar. Mungkin Mas Farhan mendapatkan kabar baik dari adiknya.

 

"Mas, ada kabar?" tanyaku kepada Mas Farhan suamiku. Dia yang sedari tadi memandangi ponsel, berpaling ke arahku dan menggelengkan kepala. 

 

"Sabar, ya. Dek Hana belum jawab. Mas yakin, pasti ada rejeki," jawabnya dengan sorot mata mohon pengertian. 

 

Aku tersenyum dan duduk di sampingnya. Di saat sulit ini, mengajukan pertanyaan lebih, tidak menyelesaikan masalah. Mas Farhan pasti cukup pusing dengan keadaan kami sekarang.  

 

Kami sama-sama anak pertama dan mempunyai adik. Saat menikah dulu, kami saling mengerti tanggung jawab untuk membiayai adik-adik kerena bapak dan ayah mertuaku sudah meninggal. 

 

Dari warung nasi lah, kami bisa meluluskan mereka menjadi sarjana, Hana sarjana ekonomi dan Arif sarjana tehnik. Melihat mereka berhasil dalam pekerjaan dan memiliki keluarga yang bahagia merupakan kebahagiaan bagi kami. 

 

Memang, kami bukan orang tua mereka, namun tanggung jawab yang kami pikul saat itu sungguh berat. Biaya pendidikan dan kebutuhan mereka yang utama, toh anak-anak kami juga masih kecil. 

 

Duduk Mas Farhan menegak dan wajah cerah seketika melihat ponselnya menyala. Dia menoleh ke arahku sambil mengarahkan ponselnya. "Dari Dek Hana!"

 

Aku merapat ke arahnya, mengintip layar ponsel dengan harapan. 

 

[Mas Farhan ini kenapa, sih? Kok uang segitu kok pinjam. Apa tidak ada simpanan?]

 

[Aku tidak ada uang nganggur. Masih ngumpulin uang untuk uang muka mobil. Ini saja, aku banyak pengeluaran untuk renovasi rumah]

 

[Aku tidak bisa kasih uang]

 

Tangan Mas Farhan menggantung lama sampai layar ponsel menggelap. Dia tercenung, mungkin sama dengan perasaanku tadi.

 

"Pasti ada jalan," gumannya kemudian merangkulku, mencium pucuk kepala ini dan berucap, "Maaf, ya."

 

Sering kali apa yang kita tanam, tidak berbuah seperti semestinya. Sabar, dan iklas yang bisa kami lakukan, walaupun itu berat di hati.

 

***

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nescia Cabral Guterres
aduhhh sakit rasanya ...kok ceritanya seperti terjadi nyata dalam kehidupan kita sehari-hari....kasihan....sakittt kalau mengingatnya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status