Share

Bab 7. Lagi-lagi Berselisih

"Mas Ardi ..." Laras kaget, dan mengelus dadanya sendiri.

"Iya? di usir Mak Lampir?"

Laras diam, dirinya paham maksud kakak iparnya ini. Laras mengangguk pelan.

"Dimana?"

Laras menatap wajah lelaki di depannya, dan menyebutkan sebuah alamat.

"Ayo ...."

"Ah ... maksudnya?"

Ardi tak pedulikan lagi, masih pakai pakaian seragam kokinya, Ardi mengantarkan Laras menuju alamat yang disebutkan tadi.

Sesampainya di sana, sudah ada Mama yang sedang membereskan beberapa baju yang di bawanya, agaknya Mama pun tak membawa baju banyak.

"Assalamuallaikum ..."

"Wallaikumsalam."

"Ardi?!" kata Mama kaget, menantunya malah mengantar Laras ke tempat tinggal barunya.

"Puspa berulah lagi, Mah?" tanya Ardi.

"Ah, paling cuma gertakan saja, Ardi. Mama juga nggak ambil pusing. ini mungkin untuk semetara saja. Mama hanya kasihan sama Laras, tiap hari berantem terus sama kakaknya. makanya dia aku ajak.." jelas Mama masih menutupi kekurangan Puspa depan suaminya.

Ardi melihat keadaan rumah tersebut.

"Apa tidak terlalu sempit, mah? hanya ada satu kamar saja, dan dapur."

"Sudahlah, Ardi. segini juga sudah cukup. toh, buat kita berdua saja. " kilah Mama, padahal mama mencari kontrakan yang harganya sesuai uang yang ada saat ini.

"Mau cari yang besar lagi, mah. nanti aku bantu."

"Nggak! nggak usah Ardi. mama juga berterima kasih, Laras masih kerja di cafe kamu, kalau tidak. mana mungkin bisa untuk sehari-hari."

Laras, hanya diam saja mendengar mama ngobrol bersama Ardi. Dirinya masih merasa malu bila harus bertatapan langsung dengan kakak iparnya ini.

"Laras ... Laras ..."

Laras terkejut saat namanya dipanggil Ardi.

"Apakah ... nyaman?"

"Apanya? eh– aku .. terserah mama, aku ngikut mama aja." Laras tergagap tidak tahu harus bilang apa.

Tiba-tiba, Ardi mengeluarkan sejumlah uang dan menyerahkan pada mama.

"Ini, mah. buat pegangan sehari-hari. mama jangan terlalu cape."

Mama menerima uang yang jumlahnya cukup besar.

"Bila, di sini tak nyaman, uangnya bisa untuk cari kontrak yang lain." saran Ardi.

"Tidak, ini sudah cukup, dan tempat yang strategis, dekat dengan cafe kamu, Ardi," jawab mama.

Laras melihat uang yang cukup banyak, mungkin ada sekitar lima jutaan, karena uang yang masih tersegel rapi dari bank.

wuihhhh ... mama pasti girang tuh, pikir Laras.

"Terima kasih, Ardi. mama nggak bisa membalas kebaikanmu."

"Sudahlah, mama. tenang saja. oh ya, temani Mama dulu, hari ini dan besok aku beri kamu libur, Laras. "

Laras mengangguk. Dalam hatinya. bagaimana bisa? sehari tak lihat sosokmu saja hatiku sudah kangen. Laras memandang punggung Ardi yang sudah berpamitan kembali lagi ke cafenya.

"Mah! "

"Apa," jawabnya masih sibuk, menciumi aroma uang pemberian Ardi.

"Aku tak mau menerima semua pemberian Ardi , Mah. kita nggak bisa mengembalikannya.," ketusku pada Mama, khawatir berimbas buruk pada diri Laras.

"Tadi, kau dengar sendiri kan? Ardi nggak masalah dengan uang ini, dan dia sudah serahkan dengan ikhlas." kilah Mama tanpa tahu, bagaimana rasa gelisahku. Bagiamana bila Ardi meminta lebih pada hubungan ini? pikir Laras. Walupun dirinya tak menampik ikut merasakan keindahan waktu saat bersama iparnya tersebut

Laras tak menceritakan banyak hal pada Mamanya. Laras duduk di lantai, masih tetap memainkan ponselnya.

Ada notif baru dari Ardi.

(Bila butuh, bilang saja)

hah ... Laras sudah menduganya, Pasti lelaki itu akan meminta lebih padanya.

"Mah ..."

"Iya ... mama tahu, Ras , nanti Mama ganti uang kamu yang satu juta itu, ya. Tapi saat ini, mama mau bayar hutang dulu ke teman mama, kamu tunggu di sini dulu ya, nggak lama. beneran Mama nggak bohong."

"Mama!" Laras sudah merengek dan menangis, tak mau di tinggal sendirian.

***

Dalam cafe, Ardi menelepon seseorang.

"Bos, aku ikutan lagi nanti malam, siapkan slot untukku."

Ardi sudah berada di arena balap liar. Wajah gantengnya, sudah tertutup helm hitam. Suara deru motor setiap peserta terdengar meraung-raung, menampakkan taringnya.

Ardi tenang melihat jalanan di depannya. Target hari ini harus bawa uang taruhan. Hasrat itu muncul kembali, rasa lima tahun yang lalu, saat egois berdiri di atas segalanya.

tangannya yang tertutup sarung tangan, tak ayal ikut-ikutan mengeber mesinnya kuat-kuat. Ada senyum kepuasan dalam hatinya.

Tampak beberapa orang saja sempat mengenali Ardi.

Jalur, trek malam ini cukup panjang, makanya uang taruhan malam ini lumayan mahal.

Sempat harus keluar jalur, dan masuk Medan jalan umum, dan di sinilah resikonya. Persekian detik, para mobil patroli pasti akan mengejar pada pembalap liar ini.

Ardi, tahu aturan main dalam perlombaan liar ini.

"Dia siapa?"

"Pemain lama, entah kenapa dia kembali lagi, sudah mlarat apa ya?"

"Bukankah, sudah jadi bos cafe?"

"Ah, itu saingan banyak orang, jangan sampai tempatmu, dliibas sama dia. kau akan tahu, seperti apa dia. kalau bukan anak kesayangan Papa bos, pasti nggak bakalan dia ada di sini lagi."

Waktu pun dimulai, bunyi tembakan memecah malam, menandakan berpuluh motor dengan suara gemuruh melaju di jalan tol. Motor Ardi melesat bak roller jet, motor modifikasi super cepat. Tubuhnya meliuk mengikuti alurnya jalanan. Banyak motor yang sudah tertinggal di belakang Ardi, para saingan berat pun melaju, saat mulai saling menikung lawan, Ardi tak mau membalas, dia terus melaju tak pedulikan tingkah para rivalnya.

'Tunggu, gw tandai lu!' batin Ardi.

Kini, tibanya tikungan terakhir langsung masuk area jalanan padat penduduk. Malam ini, jalur banyak mobil truk dan mobil box beruntun. Ardi terus melangsak, melenggangkan motornya sedemikian rupa. Beberapa motor peserta amatiran, tak berani melewati etape ini, mereka berhenti di ujung jalan.

Ardi melihat ke belakang, ada beberapa rider masih ikutan trek liar malam ini.

Tak lama, raungan mobil patroli polisipun terdengar. Ardi terus melakukan motornya, mengejar waktu lima detik, akan masuk belokan dan meluncur lagi ke jalur tol. Ini jalur seperti memutar, dan memotong jalur tol, dan kembali lagi ke tempat start dalam posisi terbalik.

Di depan, Ardi ada sebuah truk besar dan nampak memenuhi bahu jalan di mana belokan kecil menuju tol ada di sana.

Ardi nekad, mengambil jalur sebuah gang sempit , pas hanya satu motor saja, ini adalah jalan tikus. Jalur padat rumah. Lewat beberapa halaman rumah, dan terlihat sebuah jembatan kecil, menuju jalan raya.

Mungkin cuma Ardi yang tahu jalan ini, segera jembatan yang ringkih itu di lewatinya, yes! berhasil! walaupun motornya hampir saja oleng karena papan jembatan yang terlalu sempit.

Bila , pada siang hari mungkin, Ardi akan dilempari batu oleh penduduk setempat. karena berbuat onar.

motor Ardi sudah menghilang, sebelum orang-orang melihat suara ribut yang Ardi buat.

Motor kembali melaju, belokan itu yang Ardi tuju, jalur lurus sudah tak masalah lagi baginya, gas full.

Motor besar bermesin 4500tak itu sudah berada di jalur paling depan.

Semua sorak kemenangan.

Ada yang marah dalam perlombaan ini.

Motor Ardi di tendang dengan kuat oleh seseorang. Bahkan Ardi mendapat pukulan di kepalanya, untung saja masih memakai helm. Namun, Amarah Ardi sudah ada di ubun-ubun kepala, segera di tubruknya, lelaki berjaket merah itu, dan beberapa pukulan mendarat di ulu hatinya.

Beberapa orang segera melerai perkelahian itu.

"BANGSAT LU!'

"KAU YANG BANGSAT!"

Ardi dan sang lawan saling memaki. Ardi membuka helmnya.

"Dengar! gw ikut, nggak curang kayak Lu!"

"Apa!!!"

"Jangan, ngeles, emang gw nggak tahu! berapa centengmu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status