"Mas Ardi ..." Laras kaget, dan mengelus dadanya sendiri.
"Iya? di usir Mak Lampir?"Laras diam, dirinya paham maksud kakak iparnya ini. Laras mengangguk pelan."Dimana?"Laras menatap wajah lelaki di depannya, dan menyebutkan sebuah alamat."Ayo ....""Ah ... maksudnya?"Ardi tak pedulikan lagi, masih pakai pakaian seragam kokinya, Ardi mengantarkan Laras menuju alamat yang disebutkan tadi.Sesampainya di sana, sudah ada Mama yang sedang membereskan beberapa baju yang di bawanya, agaknya Mama pun tak membawa baju banyak."Assalamuallaikum ...""Wallaikumsalam.""Ardi?!" kata Mama kaget, menantunya malah mengantar Laras ke tempat tinggal barunya."Puspa berulah lagi, Mah?" tanya Ardi."Ah, paling cuma gertakan saja, Ardi. Mama juga nggak ambil pusing. ini mungkin untuk semetara saja. Mama hanya kasihan sama Laras, tiap hari berantem terus sama kakaknya. makanya dia aku ajak.." jelas Mama masih menutupi kekurangan Puspa depan suaminya.Ardi melihat keadaan rumah tersebut."Apa tidak terlalu sempit, mah? hanya ada satu kamar saja, dan dapur.""Sudahlah, Ardi. segini juga sudah cukup. toh, buat kita berdua saja. " kilah Mama, padahal mama mencari kontrakan yang harganya sesuai uang yang ada saat ini."Mau cari yang besar lagi, mah. nanti aku bantu.""Nggak! nggak usah Ardi. mama juga berterima kasih, Laras masih kerja di cafe kamu, kalau tidak. mana mungkin bisa untuk sehari-hari."Laras, hanya diam saja mendengar mama ngobrol bersama Ardi. Dirinya masih merasa malu bila harus bertatapan langsung dengan kakak iparnya ini."Laras ... Laras ..."Laras terkejut saat namanya dipanggil Ardi."Apakah ... nyaman?""Apanya? eh– aku .. terserah mama, aku ngikut mama aja." Laras tergagap tidak tahu harus bilang apa.Tiba-tiba, Ardi mengeluarkan sejumlah uang dan menyerahkan pada mama."Ini, mah. buat pegangan sehari-hari. mama jangan terlalu cape."Mama menerima uang yang jumlahnya cukup besar."Bila, di sini tak nyaman, uangnya bisa untuk cari kontrak yang lain." saran Ardi."Tidak, ini sudah cukup, dan tempat yang strategis, dekat dengan cafe kamu, Ardi," jawab mama.Laras melihat uang yang cukup banyak, mungkin ada sekitar lima jutaan, karena uang yang masih tersegel rapi dari bank.wuihhhh ... mama pasti girang tuh, pikir Laras."Terima kasih, Ardi. mama nggak bisa membalas kebaikanmu.""Sudahlah, mama. tenang saja. oh ya, temani Mama dulu, hari ini dan besok aku beri kamu libur, Laras. "Laras mengangguk. Dalam hatinya. bagaimana bisa? sehari tak lihat sosokmu saja hatiku sudah kangen. Laras memandang punggung Ardi yang sudah berpamitan kembali lagi ke cafenya."Mah! ""Apa," jawabnya masih sibuk, menciumi aroma uang pemberian Ardi."Aku tak mau menerima semua pemberian Ardi , Mah. kita nggak bisa mengembalikannya.," ketusku pada Mama, khawatir berimbas buruk pada diri Laras."Tadi, kau dengar sendiri kan? Ardi nggak masalah dengan uang ini, dan dia sudah serahkan dengan ikhlas." kilah Mama tanpa tahu, bagaimana rasa gelisahku. Bagiamana bila Ardi meminta lebih pada hubungan ini? pikir Laras. Walupun dirinya tak menampik ikut merasakan keindahan waktu saat bersama iparnya tersebutLaras tak menceritakan banyak hal pada Mamanya. Laras duduk di lantai, masih tetap memainkan ponselnya.Ada notif baru dari Ardi.(Bila butuh, bilang saja)hah ... Laras sudah menduganya, Pasti lelaki itu akan meminta lebih padanya."Mah ...""Iya ... mama tahu, Ras , nanti Mama ganti uang kamu yang satu juta itu, ya. Tapi saat ini, mama mau bayar hutang dulu ke teman mama, kamu tunggu di sini dulu ya, nggak lama. beneran Mama nggak bohong.""Mama!" Laras sudah merengek dan menangis, tak mau di tinggal sendirian.***Dalam cafe, Ardi menelepon seseorang."Bos, aku ikutan lagi nanti malam, siapkan slot untukku."Ardi sudah berada di arena balap liar. Wajah gantengnya, sudah tertutup helm hitam. Suara deru motor setiap peserta terdengar meraung-raung, menampakkan taringnya.Ardi tenang melihat jalanan di depannya. Target hari ini harus bawa uang taruhan. Hasrat itu muncul kembali, rasa lima tahun yang lalu, saat egois berdiri di atas segalanya.tangannya yang tertutup sarung tangan, tak ayal ikut-ikutan mengeber mesinnya kuat-kuat. Ada senyum kepuasan dalam hatinya.Tampak beberapa orang saja sempat mengenali Ardi.Jalur, trek malam ini cukup panjang, makanya uang taruhan malam ini lumayan mahal.Sempat harus keluar jalur, dan masuk Medan jalan umum, dan di sinilah resikonya. Persekian detik, para mobil patroli pasti akan mengejar pada pembalap liar ini.Ardi, tahu aturan main dalam perlombaan liar ini."Dia siapa?""Pemain lama, entah kenapa dia kembali lagi, sudah mlarat apa ya?""Bukankah, sudah jadi bos cafe?""Ah, itu saingan banyak orang, jangan sampai tempatmu, dliibas sama dia. kau akan tahu, seperti apa dia. kalau bukan anak kesayangan Papa bos, pasti nggak bakalan dia ada di sini lagi."Waktu pun dimulai, bunyi tembakan memecah malam, menandakan berpuluh motor dengan suara gemuruh melaju di jalan tol. Motor Ardi melesat bak roller jet, motor modifikasi super cepat. Tubuhnya meliuk mengikuti alurnya jalanan. Banyak motor yang sudah tertinggal di belakang Ardi, para saingan berat pun melaju, saat mulai saling menikung lawan, Ardi tak mau membalas, dia terus melaju tak pedulikan tingkah para rivalnya.'Tunggu, gw tandai lu!' batin Ardi.Kini, tibanya tikungan terakhir langsung masuk area jalanan padat penduduk. Malam ini, jalur banyak mobil truk dan mobil box beruntun. Ardi terus melangsak, melenggangkan motornya sedemikian rupa. Beberapa motor peserta amatiran, tak berani melewati etape ini, mereka berhenti di ujung jalan.Ardi melihat ke belakang, ada beberapa rider masih ikutan trek liar malam ini.Tak lama, raungan mobil patroli polisipun terdengar. Ardi terus melakukan motornya, mengejar waktu lima detik, akan masuk belokan dan meluncur lagi ke jalur tol. Ini jalur seperti memutar, dan memotong jalur tol, dan kembali lagi ke tempat start dalam posisi terbalik.Di depan, Ardi ada sebuah truk besar dan nampak memenuhi bahu jalan di mana belokan kecil menuju tol ada di sana.Ardi nekad, mengambil jalur sebuah gang sempit , pas hanya satu motor saja, ini adalah jalan tikus. Jalur padat rumah. Lewat beberapa halaman rumah, dan terlihat sebuah jembatan kecil, menuju jalan raya.Mungkin cuma Ardi yang tahu jalan ini, segera jembatan yang ringkih itu di lewatinya, yes! berhasil! walaupun motornya hampir saja oleng karena papan jembatan yang terlalu sempit.Bila , pada siang hari mungkin, Ardi akan dilempari batu oleh penduduk setempat. karena berbuat onar.motor Ardi sudah menghilang, sebelum orang-orang melihat suara ribut yang Ardi buat.Motor kembali melaju, belokan itu yang Ardi tuju, jalur lurus sudah tak masalah lagi baginya, gas full.Motor besar bermesin 4500tak itu sudah berada di jalur paling depan.Semua sorak kemenangan.Ada yang marah dalam perlombaan ini.Motor Ardi di tendang dengan kuat oleh seseorang. Bahkan Ardi mendapat pukulan di kepalanya, untung saja masih memakai helm. Namun, Amarah Ardi sudah ada di ubun-ubun kepala, segera di tubruknya, lelaki berjaket merah itu, dan beberapa pukulan mendarat di ulu hatinya.Beberapa orang segera melerai perkelahian itu."BANGSAT LU!'"KAU YANG BANGSAT!"Ardi dan sang lawan saling memaki. Ardi membuka helmnya."Dengar! gw ikut, nggak curang kayak Lu!""Apa!!!""Jangan, ngeles, emang gw nggak tahu! berapa centengmu!"Perkelahian malam itu menjadi heboh, Ardi tak melepas orang yang mencoba merendahkan, emosi yang tak terkendali kembali melandanya. Kalau saja tidak ada yang melerai mereka, pasti Ardi akan bermasalah dengan polisi."SUDAH!! CUKUP!" Lalu, bunyi senapan terdengar tiga kali.Ardi tanpa pendamping, dirinya hanya beberapa orang saja yang kenal. Sedang orang yang dipukulnya nampak melihatnya dengan api kemarahan."Tunggu! pembalasan gue!!" ancamnya dan pergi meninggalkan tempat tersebut.Ardi pun menyambar helmnya, dan segera naik ke motornya, hendak pergi pula."Tunggu! kau belum ambil uangmu, aku tunggu satu jam di sini, bila kau tak datang uang taruhan hangus!" teriak seseorang pada Ardi.Ardi pun memutar motornya dan mendekati lelaki yang memang sudah memegang uang taruhan."Ini, malam ini kau punya nyali juga!" timpalnya pada Ardi dan menyerahkan uang berjumlah cukup banyak.Tanpa banyak bicara Ardi langsung melesat pergi meninggalkan lokasi. Ada rasa berdenyut dalam hati dan isi kepa
Ardi duduk di sebuah rumah usang, ini adalah rumah milik ibu tirinya. Sudah dua tahun yang lalu ibunya sudah kembali menikah dengan seseorang, dan kini sudah tidak ada di luar kota, mengikuti suaminya. Anak-anak mereka pun ikut. Ardi hanya lah anak sambung, dan sudah berkeluarga, jadi punya urusan sendiri, dan kehidupannya tak menarik di mata ibu tirinya.Di rumah yang masih di tempati adik dari ibunya yang agak sedikit terganggu jiwanya. Tapi, Ardi selalu memberi sedikit uang untuknya.Ardi mengeluarkan, uang dari dalam jaketnya, tumpukan uang itu cukup tebal juga, pikir Ardi. Pelan dirinya menghitung uang hasil trek malam itu. Hem, hampir tujuh juta lebih.Di ambilnya sebuah rokok dan mengisapnya. Pikiran seorang Ardi mulai berkelana.Bila dirinya, tak kembali. bagaimana bisa dapat uang berjuta-juta dalam semalam. Tangan Ardi meraba luka yang kini sudah tertutup sebuah plester."Laras ... " bisiknya sambil geleng-geleng kepala.Niatnya hanya mengertak gadis imut itu. Entah semua tin
Puspa, memandang suaminya, kilat matanya membuatnya semakin marah atas kata-kata Ardi barusan."Aku tahu, aku nggak ada artinya di matamu Mas! apa pantas untuk dipertahankan?""Aku mengharapkan kau bisa berubah, untuk saat ini pun aku berharap kau mau merubah seluruh sifat dan sikapmu.""Kau tahu Mas! aku sudah merasa terhina saat malam pertama. Kau bilang akan menerima aku sepenuhnya , tapi nyatanya?""Bila kau bilang siapa ayah anak itu, akan akan lebih menghormatimu, tapi kau malah menutupi, bahkan di belakangku kau mengugurkan kandungan itu tanpa ijin mama atau pun aku, suamimu. Di sini aku sudah tahu sifatmu, Aku bukan lelaki bodoh, aku tahu, kau sudah hamil di saat malam pertama kita!"Puspa terdiam, benar saja, suaminya sudah tahu hal tersebut. Makanya dirinya amat sangat benci pada dirinya. Ini yang membuatnya semakin terhina, juga sikap dan perilaku Ardi kala itu."Sudahlah, kau mau menceraikan aku kan?"Ardi menggeleng pelan."Aku beri kesempatan padamu, lagi. dan aku selalu
Ardi memandang Tommy, Dialah partnernya dulu. Dua lelaki yang sangat mencolok penampilannya. Ardi yang berbadan besar bak bodyguard, wajah sangar berbeda jauh dengan Tommy yang good looking, tampan, sekilas mirip artis Korea, berkulit putih bersih. Dua magnet yang saling klop."Aku mohon satu kali ini saja. setelah ini aku tak akan memakai jasamu lagi." ucap Baskoro bersungguh-sungguh.Ardi terdiam, dialah leadernya."Apa yang harus aku bawa?""H" Baskoro hanya menyebutkan inisial barang itu."Kau tahu bukan aku pemasok barang itu. kali ini aku tak bisa melindungimu.""Apa! kalau begitu aku tolak!""Pure, upah milikmu semua. ini karena pembawa paket tak berani lewati batas itu. Hanya kau yang bisa!"Tommy memandang Ardi, lelaki lajang pasti akan tergiur dengan jumlah tersebut."Aku pikirkan lagi. Maaf ... aku memburu waktu." Ardi pun berjalan melewati Baskoro, tapi tangan Baskoro, menepuk dadanya tiba-tiba, di tangannya, terlihat segepok uang berwarna merah."Aku minta, ini hanya perm
Ardi menarik tangan Laras, dan kini masuk dalam pelukannya, mencium bibir gadis manis itu. Laras mengikuti alurnya saja, tangannya menahan dada Ardi, tubuhnya yang besar terasa menghimpit tubuh mungil Laras, hingga Laras kehabisan napas karenanya. Ardi pun melepaskan ciumannya, dan memandang Laras dalam tatapan sendunya.Laras, yang memang sudah jatuh cinta pada kakak iparnya ini, tak pedulikan lagi dengan apa tindakannya yang salah itu. Tangan Laras pelan mengeser ke arah belakang leher Ardi, dengan berjingkat, Laras kembali mendapatkan bibir Ardi. lelaki itu tersenyum, dan mengangkat pinggang Laras dan mendekapnya erat. Baru kali ini, Ardi mendapatkan sensasi ciuman yang dahsyat dari Laras. Tubuhnya semakin menegang, tangan lelaki kekar itu sudah bergerilya seputar dada Laras. Napasnya semakin memburu, rasa kangen yang tertahan tertumpah kan malam itu.Namun, Ardi tak mau merusak pagar ayu milik Laras, ditutupnya lagi dada yang sudah terbuka itu, Laras bingung.Mereka saling mena
Deny nampak melihat ponselnya, ada sambungan telepon, nomor yang tak ada namanya, tapi dirinya gagal dengan nomor tersebut."Bagaimana? target sudah siap?""Belum. ada kendala sedikit. sabar.""Hah!! lakukan dengan benar.""Baik."kemudian sambungan itupun terhenti .Deny memandang laptop yang ada di mejanya. Berapa kurva pemasukan dalam setahun sedang dibuatnya untuk laporan."Huh, edan! dasar tua bangka!" Deny memaki geram, lalu berdiri, mendekati jendela kaca, terlihat dari jauh hotel di mana Baskoro menginap."Brengsek!" Makinya lagi.Kemudian Deny mengambil ponselnya dari sakunya, dan menghubungi seseorang."Datanglah ke ruang kerjaku."Tak lama, pintu terketuk, masuklah seseorang laki-laki."Buatkan aku laporan keuangan dalam dua tahun terakhir ini, tapi buat laporan tak ada anggaran sama sekali. semua habis di properti. nanti kau aku bayar mahal.""Tapi , Pak.""Kerjakan atau kau aku pecat?""Baik, Pak."***motor melaju kencang menuju suatu tempat, satu yang dituju sebuah cafe
Ardi diam saja atas keras kepala Laras. "Dengar , kau masih muda, perjalananmu masih panjang. nggak harus sampai di sini saja, Laras." Mama sudah senewen pada Laras.Pertengkaran ini, akhirnya Ardi mengajak anak dan ibu mertuanya ke sebuah tempat, agar cafenya terhindar dari pertengkaran Laras dan mamanya."Mah, Laras sudah besar, sudah boleh kan mengambil keputusan sendiri. aku merasa bego aja kalau berada di rumah itu. serba-serba ngga di anggap!" berang Laras sambil bersedekap."Siapa yang tak anggap kamu, Laras? semua mama buat seadil-adilnya, makan sama, mama tak membedakan kalian." Kartika semakin memanas.Ardi sebenarnya tahu kegundahan hati ibu mertuanya ini, sepertinya ibu Kartika tahu sepak terjang segalanya. Kartika terlihat tak peduli dengan anaknya. tapi sebenarnya dia mengamati dan mulai mengendus kesalahan yang sudah terjadi.Ardi merasa malu sendiri, akhirnya."Nanti, aku bicara lagi dengan istriku,mah. "Mendengar Ardi bicara tentang 'istrinya' ada terbersit cemburu
Mendapat perlakuan seperti itu, membuat Laras langsung mendelik pada wanita yang mendorongnya. Rupanya, wanita berambut pendek itupun tak terima dengan tatapan yang Laras berikan."Apa! tak terima kamu!"Bukannya minta maaf, gadis itu mendorong Laras hingga Laras terjatuh karena tak siap akan serangan mendadak dari gadis itu. Papan yang di bawa Laras terjatuh keras. entah rusak atau tidak. Laras segera bangkit dari tanah yang sedikit berkerikil itu dan mendekati gadis yang masih saja dengan senyuman menghinanya, walaupun tanpa lampu yang teras, Laras melihat senyum menghinanya.Laras balas mendorong kedua pundak gadis itu dengan keras.Spontanitas Laras menimbulkan tenaga yang luar biasa, gadis itu terjungkal."Aku yang dari dari berdiri di sini, kau yang berulah, bila kau! dorong aku lagi, aku tak segan menamparmu!" Laras berkata dalam intonasi marah, gertakannya membuat ciut nyali gadis itu, pasalnya kedua pundaknya terasa sakit sekali walau hanya di dorong sedikit oleh Laras. Lar