Di hari ketiga, Ifan kembali mengulang keterlambatannya. Namun kali ini Hifa tidak lagi memarahinya atau menegurnya di depan bangsal. Ifan mengamati sekeliling bangsal dan tidak menemukan keberadaan Hifa. Dia hendak melanjutkan kegiatan visit ke pasien di bangsal dewasa tersebut. Kecurigaannya terbesit ketika mendapati Hifa ternyata sudah menyelesaikan nyaris semua tugas visit yang semestinya dilakukan oleh Ifan.
Bahkan Hifa sudah mengisi hasil pemeriksaan serta melaporkan kepada dokter penanggung jawab untuk konsultasi yang diperlukan. Ifan duduk mengamati setiap status pasien yang sudah terisi sempurna. Dia tidak perlu lagi melakukan visit harian.
Akhirnya Hifa pun muncul dari koridor gedung sebelah. Dia melangkah tanpa melihat penampakan Ifan. Ifan yang melihat dokter perempuan itu segera mengejarnya.
“Hifa! Tunggu!”
Kali ini, Hifa dengan penuh kemenangan tidak menggubris panggilan Ifan.
“Kamu sudah menyelesaikan visit pasien?” tanya Ifan.
Hifa tetap melangkah dengan senyum merekah. Dia melirik ke arah Ifan datar.
“Ya,” jawabnya singkat.
“Ngapain kamu ngerjain tugasku?” tanya Ifan. “Aku kan bisa selesaikan sendiri.”
“Dokter Ali udah datang sejak jam tujuh tiga puluh. Kalau aku gak nengok pasienmu, gimana aku bisa jawab pertanyaan dia dengan baik. Udah, lebih bagus kamu pulang aja lagi. Udah kuberesin kok tugasmu.”
Jawaban Hifa membuat Ifan terbungkam. Dia sadar keterlambatannya telah melampaui ambang kesabaran Hifa.
“Hifa, apa yang kamu kasih ke Pak Tono di kamar 205?” tanya Ifan.
Hifa berusaha mengingat-ingat nama pasien yang tengah ditanyakan Ifan tadi. Tepat ketika Ifan hendak mencecar Hifa lagi dengan pertanyaan, mereka berpapasan dengan dr. Gatta. Hifa dengan cepat langsung menghampirinya.
“Maaf ya kak, jadi kakak yang ngerjain,” ucap Hifa seraya membantu dr. Gatta membawakan peralatan untuk membersihkan luka.
“Iya, gak papa, kamu sudah liat pasien di bangsal dewasa?” tanya dr. Gatta menyindir Ifan yang ketika itu baru tiba.
Hifa mengangguk cepat. “Udah beres. Aku ikut kakak ya, mau lihat gimana cara lepasin jahitan staples.”
Tanpa menggubris keberadaan Ifan yang berada tak jauh darinya, Hifa segera mengikuti dr. Gatta ke bangsal maternitas. Ifan mengernyit kesal. Dia hendak mengejar Hifa, tapi dia mengurungkan niatnya karena perawat dari bangsal dewasa memanggilnya.
“Dokter Ifan! Dok, ada pasien sesak,” ujar perawat perempuan tadi.
Dengan cepat Ifan segera berlari ke kamar pasien yang dimaksud.
Seorang bapak tua terlihat bernapas tersengal-sengal. Sekujur tubuhnya bengkak. Sejak semalam, Ifan sudah mendeteksi kemungkinan hal tersebut. Tabung oksigen di sampingnya sudah diganti sebanyak dua kali sejak semalam. Bapak tua itu menarik napasnya dengan susah payah. Dia bahkan tidak lagi bisa menyadari kedatangan Ifan di tempat tersebut.
“Sudah dapat apa aja?” tanya Ifan pada perawat di sampingnya.
“Furosemide dua ampul, dok,” jawab si perawat.
Ifan melakukan auskultasi ke seluruh lapangan paru sambil menghitung napas si bapak yang melebih 30 kali per menit. Dengan cepat Ifan mengganti lagi kanul oksigen dengan masker oksigen ber-reservoir menutupi hidung dan mulut si bapak. Kondisi bapak paruh baya tadi sedikit membaik, walau napasnya masih terdengar cepat. Ifan menengok saturasi oksigen yang terpasang di jemari bapak itu. Ada peningkatan, walau belum mencapai target.
“Cuci darah terakhirnya kapan, bu?” tanya Ifan pada istri dari bapak tua tadi.
“Tidak pernah dicuci darah, dok,” jawab si ibu. “Bapak memang dari awal tidak mau dicuci darah.”
Ifan menggaruk kepalanya resah. Dia mengerti keadaan seperti ini tidak akan sembuh dengan sendirinya. Bahkan napas bapak ini tercium sedikit aroma pesing. Ifan diam menimbang keputusan apa yang bisa dilakukannya di saat genting seperti ini. Sementara dia tahu mesin cuci darah di RS sedang rusak. Mereka harus merujuk pasien ke kota yang jaraknya enam jam dari sini dalam keadaan sesak berat.
“Ibu, keadaan ginjal bapak kian memburuk. Selain itu, cairan sudah membendung paru-parunya sehingga bapak jadi sesak,” terang Ifan secara perlahan.
Ibu tadi sesegukan saat mendapati keadaan suaminya yang kian kritis. Ifan sendiri hanya bisa menghubungi dokter penanggung jawab untuk tatalaksana sang pasien yang kian menurun kesadarannya itu.
Teleponnya tidak diangkat. Kebimbangan menyertainya, tapi Ifan terlihat tetap tenang. Dia menunggu sambil tetap memberikan sisa obat yang bisa dipikirkannya. Belum ada perbaikan yang signifikan. Justru cenderung memburuk. Kalaupun dirujuk ke rumah sakit, sudah tidak ada waktu lagi.
“Dok, itu pasiennya kan memang gak mau dicuci darah dari awal. Kita harus gimana ya?”
Ifan tak segera menjawab pertanyaan perawat. Teleponnya ke konsulen baru bisa dijawab tak lama kemudian.
“Iya, Ifan? Gimana?” Dokter Ali menjawab di ujung sana.
“Dok, pasien Pak Tono sesak berat. Sepertinya memang lagi eksaserbasi.”
“Oh, Pak Tono, ya? Ya, nanti edukasi DNR aja ya, Fan. Memang dari awal udah gak mau HD[1] kan? Ureumnya udah di 200 dan kreatininnya udah 18. Kalau mau HD sekarang juga gak memungkinkan, Fan.”
“Apa perlu dirujuk atau diberikan terapi tambahan dok?”
“Hmmm, iya, gimana Fan?”
Sambungan terputus. Dokter Ali sepertinya kehilangan sinyal dari tempatnya berada. Tinggalah Ifan dengan si perawat yang gundah gulana memikirkan cara untuk edukasi DNR (Do Not Resuscitate) seperti yang dimaksud Dokter Ali. Ifan tahu tidak akan mudah memberikan pengertian kepada keluarga pasien bahwa penyakit pasien sudah sampai pada tahap terminal sehingga usaha menyelamatkan hidup dengan memberikan bantuan napas dan pompa jantung tidak akan memberikan manfaat.
Hifa dan dr. Gatta baru muncul ke hadapannya setelah berulang kali Ifan harus memberikan pengertian ke keluarga Pak Tono. Hifa terlihat sibuk mengobrol dengan dr. Gatta. Mereka berhenti berbicara saat melihat adanya kerumunan keluarga Pak Tono di ruangan pasien tersebut.
“Ada apa?” tanya Hifa yang tidak dijawab oleh Ifan.
Kepanikan menjalari Hifa. Dia langsung berlari ke pasien yang dimaksud. Melakukan pemeriksaan singkat dan langsung memeriksa rekam medis pasien yang masih di hadapan Ifan.
“Siapa suruh kamu pegang pasienku?” tandas Ifan cepat.
Hifa membelalak. Dia langsung melepas buku status pasien ke Ifan. “Hei, masak pasien sesak gitu kamu biarin aja? Kamu udah hubungin dr. Ali? Udah kamu kasih obatnya kan?”
Ifan mengernyit tak senang. Dia menghindari cercaan Hifa dengan beranjak dari meja perawat. Hifa langsung mengejarnya.
“Ifan!” serunya gusar. “Kita harus pindahin ke ICU. Bapak itu udah gasping.”
Tanpa mempedulikan Hifa, Ifan terus melaju ke bangsal yang berbeda. Dia mulai melakukan pemeriksaan yang dianggapnya perlu. Hifa menyerah mengekor. Dengan khawatir dia mengecek lagi keadaan Pak Tono yang terlihat makin malam. Keluarga mengitarinya membacakan doa dengan khusyuk.
Dokter Gatta yang tengah berdiri menyimak kegentingan itu segera menghampiri pasien tersebut. Tepat ketika dia mencapai mulut pintu, napas si bapak berhenti. Serentak semua berteriak histeris. Perawat lari terbirit-birit mendorong troli emergency. Hifa yang masih bertengger di koridor meraih sungkup oksigen dan segera memberikan napas buatan kepada si pasien.
Ifan muncul ketika Gatta dan Hifa tengah melakukan resusitasi terhadap pasien tadi. Ekspresinya menyiratkan amarah yang tertahan. Hifa tidak melihat dengan seksama, tapi dia sadar Ifan berang melihat Gatta dan Hifa mengusik pasien yang menjadi tanggung jawabnya itu.
Keluarga masih menangis tersedu-sedu. Dua puluh menit berlangsung sia-sia. Monitor tersebut tidak menunjukkan adanya kehidupan lagi. Ifan segera mencekal tangan Hifa yang masih sibuk memompa udara ke paru-paru pasien yang kian membiru tersebut.
“Berhentilah,” bisik Ifan di samping Hifa.
Hifa tak mengindahkan perintah tadi. Dia tetap meminta perawat melakukan segala upaya untuk membangunkan pasien yang sejak beberapa menit itu tak lagi bernyawa. Keluarga yang berada di sekeliling hanya bisa menonton penuh haru. Kekisruhan tetap berjalan.
“Hifa, lepaskan dia.” Ifan mengucapkan dengan lebih lugas. “Biarkan mereka memeluk bapak itu untuk terakhir kalinya.”
Tangis sang istri pecah saat untuk kedua kalinya Gatta memeriksa pupil mata si Bapak yang tak lagi bereaksi. Jantungnya berhenti berdetak dan napasnya tak lagi berembus. Ifan segera mencatat waktu meninggal dan mengumumkan kematian tersebut pada keluarga.
Seisi ruangan dibanjiri air mata. Seorang ayah telah pergi, seorang suami telah meninggalkan kehidupannya, seorang anak manusia telah melepaskan dirinya dari dunia yang fana ini.
Ifan keluar dari ruangan tadi dan melengkapi surat kematian pasien. Hifa mengejarnya masih tak habis pikir.
“Ifan!” pekiknya.
Ifan berjalan cepat menyelesaikan statusnya dan langsung menyerahkannya pada perawat untuk membereskan berkas bapak tadi. Hifa yang geram sejak tadi tidak diacuhkan, dengan erat menarik tangan Ifan dan membawanya ke sudut koridor.
Dia menyergah tubuh Ifan dengan kesal. “Kamu ini kenapa sih?”
Ifan mendengus tertahan. “Kamu yang kenapa?”
“Masak kamu tega buat bapak itu meninggal tanpa pertolongan apapun?”
“Bapak itu udah end stage Renal Failure. Kalaupun kalian RJP[2] sampai besok, dia gak bakal bangun. Kita sudah berusaha.”
“Aku lihat kamu sama sekali gak berusaha.”
“Kamu bakal lihat lebih banyak hal seperti ini, Hifa. Belajarlah untuk lebih kuat.”
Dan Ifan pun beranjak dari hadapan Hifa. Hifa terlihat masih tidak rela dengan ucapan yang tersembul dari bibir Ifan barusan. Dr. Gatta mendekatinya sambil menepuk bahunya.
“Kalian baru masuk aja udah bungkus pasien ya,” timpalnya yang membuat Hifa justru makin kesal.
“Apa ini sering terjadi di sini?”
“Hmm… seharusnya sih, gak.” Gatta menjawab sambil mengangkat bahunya. “Sudahlah. Jangan terlalu dipikirin. Nanti kamu gila.”
Hifa langsung menyundul lengan Gatta dengan keras. Dia berlari meninggalkan bangsal itu seketika setelah mendapat telepon dari lantai bawah.
[1] HD (Hemodialisa): cuci darah
[2] RJP : Resusitasi Jantung Paru
Semua sudah berakhir indah pada waktunya. Hifa kembali bertemu dengan Ifan. Terima kasih sudah setia membaca cerita ini hingga akhir. Sebagian cerita merupakan kisah nyata dengan nama pemeran yang disamarkan. Semua cerita merupakan tulisan asli/original penulis. Bila ada kesamaan tempat, waktu, cerita, plot, dan lainnya itu murni karena kebetulan belaka. Kisah ini masih memiliki sejuta langkah, tapi akahkah langkahnya harus berakhir di sini? Akhir kata, saya juga ingin ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam penulisan buku ini. Teman-teman yang mungkin namanya belum bisa kusebutkan, yang telah setia merevisi cerita ini dan dengan sabar mengoreksi tulisan ini. Tetap semangat dan jangan menyerah.
Malam itu Hifa kembali menjalani rutinitas jaganya di salah satu rumah sakit swasta di pinggir Kota Jakarta. Rumah sakit tempatnya bekerja tak jauh dari apartemennya. Bukan rumah sakit yang besar. Hanya rumah sakit tipe C yang berada di kawasan industri dan pabrik. Sehingga rata-rata pasien yang berobat merupakan pekerja di lingkungan rumah sakit juga. “Dok, ada pasien dengan vulnus ictum,” ujar seorang perawat IGD bertubuh mungil tersebut. Hifa yang tengah melewati tidur ayamnya di kursi jaga harus bangkit untuk memeriksa pasien tersebut. Dia melihat ada laki-laki yang tengah tengkurap di atas brangkar dengan telapak kaki yang berlumuran darah. Paku kecil masih tertancap di area tumitnya. Walau dalam, luka tersebut tidak mengeluarkan banyak darah. “Pak, kita bawa ke ruang tindakan ya,” ucap Hifa tanpa banyak bertanya. Dia sudah mendapatkan catatan riwayat pasien itu dari perawat. “Kak, siapin minor set ya. Saya mau informed consent
Langit mendung dengan awan yang kelabu menyelubungi bingkai jendela tak bertirai itu. Hifa memeluk tubuhnya dalam kekalutan. Tubuhnya yang bersimbah darah duduk dalam kegelisahan dan ketakutan. Dia tak kuasa menyingkirkan erangan histeris tadi. Belum ada yang bisa menyampaikan padanya kondisi terkini Ifan. Sahabat karibnya itu masih terbaring tanpa kekuatan di dalam sana. Jika memang ini adalah akhir dari ceritanya dengan Ifan, maka Hifa tidak akan pernah memaafkan dirinya lagi.Orang tua Ifan datang beberapa jam setelah mendapat kabar tentang bentrokan yang terjadi di Pasar Simpang. Hifa masih bergeming di koridor kamar bedah dengan risau.Hifa bisa melihat mama angkat Ifan yang terlihat begitu modis berjalan tanpa melihat keberadaan Hifa. Dia berjalan bersama seorang perempuan muda yang tak kalah cantiknya dengan artis K-pop. Tubuhnya langsing semampai dengan kulit yang bersinar bagai para dewi di kahyangan. Saat lewat di depan Hifa, mamanya sempat melirik heran ke a
“Fan, aku mau ke pasar cari sayur. Stok makanan kita udah menipis.” Hifa membuka lemari es yang isinya tinggal kentang saja.Ifan masih duduk membaca buku kecil di depannya segera mengiyakan permintaan tadi. “Oke, kamu bikin dulu daftarnya. Ntar aku sama Kai aja yang beli.”“Aku aja. Kai kan jaga di KIA hari ini.”Ifan mengangguk. “Oke, lima menit lagi.”Hifa melirik ke bacaan yang tengah dilihat Ifan dengan serius itu. Ifan selalu membawa berbagai jenis buku bersamanya ke manapun. Judulnya pun beraneka ragam.“Baca apaan?”“Trubus,” jawab Ifan asal. Dia segera memasukkan buku tadi ke dalam tasnya sebelum Hifa sempat melihat buku tadi.“Sejak kapan kamu jadi suka tanaman?”“Kamu udah siap? Ayo, katanya mau beli sayur.”Pertanyaan Hifa teralihkan. Dia segera membawa keranjang sayurnya dan naik ke mobil Ifan dengan penuh semanga
Seusai prosesi penguburan, Ifan dan Hifa kembali melanjutkan aktivitasnya di puskesmas. Kenangan menyakitkan yang telah terjadi pada Ifan akan bersama-sama terkubur di tempat ini. Ifan harus memulai hidupnya lagi. Tanpa terasa waktu mereka di pulau ini tinggal tiga minggu lagi.Senja itu, kelima peserta internship tengah duduk berdampingan di bawah pohon cemara yang rindang. Udara hangat berembus menerpa wajah mereka dengan pelan. Pantai putih dengan horizon laut mewarnai pemandangan yang terhampar di depan mereka. Kai duduk dengan tumpukan makanan instan di dekatnya. Kebiasaannya sejak dulu adalah menjadi pemasok makanan instan kapan pun di mana pun.Silla membantunya merebus mi instan yang mereka bawa sendiri dari rumah. Hifa dan Ifan duduk agak menjauh dari ketiga temannya yang lain. Hingga saat ini baik Kai, Silla, ataupun Nindi belum ada yang tahu masalah Ifan.“Fan, setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Hifa.“Aku masih har
Seminggu setelah pertemuan terakhir Hifa dengan Ibu Elena berlalu begitu cepat. Hifa berulang kali ingin membujuk Ifan ke tempat tersebut, tapi dia tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya. Di satu sisi Hifa juga agak takut ke tempat itu lagi. Dua pria yang ditemuinya di persimpangan jalan itu terlihat begitu mengancam. Dia tidak bisa ke sana seorang diri. Tapi siapa yang bisa dia ajak? Sementara Hifa sadar kondisi Ibu Elena pasti lebih parah lagi sekarang. Terlebih Ibu Elena sudah menolak terapi dan tindakan yang dianjurkan dokter.“Fan, kamu yakin gak mau bertemu dengan mamamu?” tanya Hifa saat mereka tengah duduk bersantai di belakang puskesmas.Ifan memejamkan matanya dalam keheningan. Dia seperti tengah menekuri keputusan terbaik yang bisa dia ambil terhadap ibunya itu.“Fa, waktu kamu pertama kenal denganku, menurutmu aku orang yang gimana?”“Hmm… kamu tu usil, keras kepala, sedikit berdarah dingin, da