[ Mana aku tahu, Brian. Aku kan belum pernah punya anak. ]
[ Ya mana tahu temen-temen kamu ada yang punya anak dan ada sharing kan. ]
[ Aku kan udah lama gak pergi ngumpul, mana tahu hal yang kayak begitu. ]
[ Makanya, gaul dong. ]
[ Kamu lah yang pergi gaul. Temen-temen kamu pasti ada kan yang bapak-bapak. Tanyain deh gimana rasanya punya anak. Dan jangan ngeluh! Punya anak gak gampang! Suatu hari nanti mana tahu kamu malah lebih ribet dari Diana. ]
Brian tersenyum kecil sambil menatap layar ponselnya. Obrolan dengan Lalita memang kadang menyentil, tapi menenangkan.
Brian tahu, meski Lalita sering mengomel, ia tetap bisa menempatkan diri dan menguatkan. Mungkin karena itu juga... Brian tidak percaya Lalita bisa menyakiti Citra.
Tak lama kemudian, Diana kembali ke meja.
"Sorry, Yan. Lama ya..." katanya, sembari menarik kursi d
Citra, yang selama ini berkali-kali menghindar, akhirnya tak bisa mengelak lagi. Hari itu, ia duduk di meja makan, langsung berhadapan dengan Hadi.Udara siang yang biasanya hangat kini terasa dingin menusuk. Ketegangan terasa menggantung di udara.Ayam teriyaki dan capcay yang tersaji di atas meja tak lagi menimbulkan aroma yang menggugah selera. Rasa makanan turut terasa hambar di lidah, seolah seluruh bumbu ikut larut dalam kekakuan suasana.Tidak ada suara selain dentingan sendok dan garpu yang disentuh seadanya. Hanya tiga orang di sana—Hadi, Wita, dan Citra. Keheningan menyelimuti mereka sepanjang makan siang berlangsung.“Jadi, kamu belum jawab pertanyaan Papa,” suara Hadi memecah keheningan, dalam dan tegas. “Kenapa kamu gak angkat panggilan dari Bu Dina?”Wajah Citra langsung pucat. Tubuhnya menegang, jari-jarinya menggenggam kuat sendok di tangannya. Ia belum menjawab ketika Wita menyikut suaminya pelan, berharap ketegangan bisa diredam.
Lalita berdiri di depan layar proyektor, mempresentasikan materi yang diminta oleh Brian. Suaranya jelas dan tegas, meski ekspresinya tidak mencerminkan antusiasme.Cahaya dari proyektor membuat bayangan wajahnya tampak semakin kaku, seolah menyimpan sesuatu yang tidak ia ucapkan.Sepanjang presentasi, Lalita mencatat setiap masukan dari Brian dengan teliti. Namun, raut wajahnya tetap tertekuk—dingin, tak bersahabat.“Lit…” panggil Brian pelan, nyaris seperti bisikan, takut menyinggung.“Ada apa? Ada poin yang mau kamu tambahin?” Lalita menoleh sekilas, suaranya datar, tanpa intonasi hangat.“Gak ada…” jawab Brian cepat, kaget dengan respon yang diberikan Lalita.“Oke. Aku turun makan siang dulu kalau gitu.”“Tapi…” Brian ragu-ragu, langkah Lalita sudah menjauh.“Ada apa?” tanyanya, menoleh setengah hati.“Soal Diana&
"Oke, panggil aja kalau butuh gue. Kayaknya gue baru bisa ikutan masuk siang nanti," ucap Brian."Iya, gue duluan," balas Ivan, lalu berjalan keluar menuju ruang meeting sebelah.Suasana di ruang rapat kembali tenang. Lalita langsung mengambil alih."Sambil nunggu dia balik, Ira sama Bobi udah punya dokumen panduan buat konfigurasi, kan ya?" tanyanya sambil melihat ke arah dua junior itu."Udah, Kak," jawab Ira dan Bobi serempak."Kalau gitu, boleh ditampilin di layar, biar kita review sama-sama," ucap Lalita, membuka tab catatannya.Konfigurasi sistem memang umumnya seragam antar perusahaan. Perbedaan biasanya hanya terletak di penamaan modul dan beberapa fitur minor. Tapi yang jadi krusial adalah urutan dan kelengkapannya — satu kesalahan kecil bisa membuat sistem tidak stabil."Gak apa-apa kan, Brian?" tanya Lalita, tetap memastikan."Boleh, silakan," jawab Brian singkat."Oke. Siapa yang mau t
"Ira sama Bobi, kan?"Brian menatap dua junior yang baru saja diperkenalkan."Iya, kak..." jawab mereka bersamaan dengan gugup."Tadi kalian lihat Citra atau Aldo di luar?" tanya Brian lagi, mencoba memastikan.Belum sempat mereka menjawab, terdengar ketukan di pintu ruang rapat."Masuukkk..." ucap Brian, nyaris setengah lesu.Pintu terbuka dan Alina muncul, tampak tergesa."Guys! Si Citra baru dateng. Tadi udah gue suruh ke sini. Tapi kayaknya dia ke toilet dulu sebentar," lapor Alina."Okee, thanks, Lin!""Sama-samaa, bye!" Alina pun melenggang pergi.Beberapa menit berlalu.Citra masuk ke ruangan dengan langkah santai. Semua kepala langsung menoleh ke arahnya.Ivan, yang duduk di pojok ruangan, langsung memperhatikan penampilan Citra. Rambutnya masih dicatok ala idol Korea, lengkap beserta baju yang modelnya persis dengan milik Lalita—seolah belum menyerah dalam usahan
"Bu, tapi..." Brian mencoba membuka ruang negosiasi. Nada suaranya hati-hati, penuh pertimbangan.Namun Dina langsung memotongnya tajam, matanya menusuk ke arah Brian."Sekali lagi, tidak ada tapi-tapi. Saya hanya beri waktu satu hari. YA atau TIDAK?"Hadi cepat-cepat menyela sebelum suasana makin tegang. "Apa kami boleh berdiskusi sebentar, Bu?""Silakan." Dina bersandar di kursinya, menyilangkan tangan. "Tapi ingat, saya tidak menerima penambahan waktu. Hanya satu hari. Tidak ada tawar-menawar. Dan satu hal lagi..." Tatapannya menusuk tajam. "Saya gak mau kalau yang ngerjain Citra lagi."Hadi dan Brian keluar ruangan dengan langkah cepat. Begitu pintu tertutup, mereka langsung berdiskusi di lorong depan ruang rapat."Ini bener-bener gak bisa satu hari?" tanya Hadi dengan suara rendah tapi penuh tekanan."Gak bisa, Pak. Gak cukup orang. Siapa yang mau kerjain? Citra l
"Maaf saya keluar agak lama, Bu," ujar Hadi sambil duduk kembali. "Citra belum sampai kantor. Ini saya perkenalkan Brian, atasannya Citra."Brian agak terkejut, tapi tetap menjulurkan tangan dengan sopan."Perkenalkan, saya Brian, Bu..." ucapnya sambil menjabat tangan Dina.Di balik senyum tipisnya, ia langsung menoleh pada Hadi dan membisikkan, "Kenapa tiba-tiba aku jadi atasan Citra?""Karena Aldo, Gino, Aska belum pada datang semua," bisik Hadi cepat. "Sementara kamu dulu. Nanti kita omongin lagi, tenang aja."Brian mengangguk perlahan, lalu mengalihkan fokus ke Dina."Baik, Bu. Sekarang boleh saya tahu kronologi sistem error-nya?"Dina bersandar di kursi, lalu mulai bercerita. Nada suaranya sudah lebih terkendali, tapi sorot matanya tetap tajam.Proyek dengan PT Sukses Maju sebenarnya sudah rampung beberapa hari lalu. Di hari pertama, semuanya berjalan normal. Tapi pada hari kedua, mulai muncul error yang mengganggu al