"Ayoo pergi," ajak Sere tadinya ia ingin memarahi Faresta karena tiba - tiba menciumnya, saat ingat di tempat umum akhirnya memendam keinginannya.
Sere diam saja, masuk ke mobil meninggalkan Faresta yang tersenyum penuh kemenangan.
"Sekarang kita prewedding dulu," tutur Faresta, Sere hanya diam tak menjawab masih kesal dengan kejadian tadi, ia mengangkat bahu tak peduli saat tidak mendapatkan sahutan, melanjutkan perjalanan dengan keheningan.
Sere diperintahkan untuk mengganti pakaiannya, ia hanya menurut. Selesai melihat pantulan diri dicermin, dia sedikit terpaku karena tak menyangka akan secantik ini. Sehabis puas mengagumi sendiri, Sere lekas keluar saat dipanggil oleh Faresta mengetuk pintu dengan tak sabaran.
"Kenapa lama sekali," geram Faresta terpaku saat tatapannya, melihat paras cantik Sere.
Sere sama terdiamnya, mereka saling mengagumi visual masing - masing. Sampai teguran fotograper membuat keduanya tersadar, lekas Faresta membantu Sere berjalan larena high hillnya yang tinggil.
"Duh, aku takut jatuh," gumam Sere pelan, Faresta menoleh lalu tersenyum saat gadisnya terus menatap kaki yang memakai high hill.
"Makanya pegangan sama aku," kata Faresta dengan nada lembut, Sere hanya mengangguk menurut.
Faresta dan Sere mengikuti intruksi fotograper, melakukan gaya sesuai perintah pria itu. Dua jam mengerjakan, akhirnya memerintahkan untuk pose bebas. Dengan senang hati Faresta langsung meraih tengkuk Sere, dan menciumnya lama, menginstruksikan agar pengambil gambar memotretnya. Faresta terus melakukan model hot, yang membuat Sere syok dan malu.
"Kamu jangan seenaknya, nyosor dong," geram Sere saat keduanya tengah berdua.
"Why? 'kan bentar lagi kita nikah," seru Faresta, tak tersinggung dengan ucapan Sere, melepaskan pakaian menjadi bertelanjang dada karena mereka berada dalam ruang make-up.
"Kenapa kamu membuka baju di sini!" pekik Sere menutup matanya, terkejut melihat Faresta melepas pakaian dihadapannya, apalagi roti sobek membuatnya memikirkan untuk bersandar pasti enak.
"Memangnya kenapa? kamu tergoda," goda Faresta mendekati Sere yang duduk di kursi yang masih menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Faresta membungkukan tubuhnya, agar mukanya sejajar dengan Sere. Lengan kekarnya terulur menarik tangan yang menutup para gadis yang diincarnya, senyuman terukir saat wajah Sere langsung berpaling.
"Menjauhlah," berang Sere mendorong dada bidang Faresta, tetapi tidak mundur sedikitpun.
"Hahahha, kamu menggemaskan sekali. Ayo buka pakaianmu, kita adu siapa yang paling tahan tidak menyerang," tantang Faresta menaikan alisnya menatap Sere.
"Tidak! kamu mencari kesempatan dalam kesempitan aja." Tolak Sere ia menggeleng keras, menolak tantangan mesum dari Faresta.
"Alasan saja, bilang saja kamu takut kalah dengan tantangan itu," ejek Faresta membuat Sere geram, memang itu tujuannya.
"Aku tidak takut kalah, aku hanya malu tidak berpakaian dihadapan lelaki," elak Sere.
"Cuma gak pake baju, gak usah lepasin bra kamu. Alasan aja malu, bilang aja takut!" cemoh Faresta, ingin memancing Sere agar mengiyakan tantangannya.
"Kamuuuuu!" geram Sere menggertukan giginya.
"Oke aku terima," kata Sere kesal, Faresta tersenyum penuh kemenangan.
Sere melepaskan gaunnya, menyisakan celana pendek sepaha dan bra merah. Faresta terpaku dengan tubuh putih nan mulus, ingin rasanya ia cepat - cepat melahap habis perempuan dihadapannya. Dirinya berusaha meredam gairah yang langsung muncul, tanpa harus dirangsang terlebih dahulu.
Sere tersenyum puas, saat melihat sesuatu menonjol di selangkang Faresta, senyuman mengejek muncul di bibirnya membikin pria itu menggeram kesal."Aku menyerah!" geram Faresta, ia mendekat dengan cepat, menarik lengan Sere membuat gadis itu menabrak dada bidangnya, dirinya menunduk melahap bibir ranum candunya itu.
Tangan kirinya tak diam, merayap meremas payudara Sere yang terbungkus bra. Sedangkan lengan kanannya memeluk erat tubuh gadisnya nan berusaha melepaskan diri.
"Lepaskan aku," sentak Sere dengan napas terengah, disaat Faresta melepaskan pautannya melihat Sere membutuhkan oksigen.
"Bernapas bodoh," ucap Faresta memaki, lalu meraup bibir ranum itu hingga membengkak.
Faresta beralih ke leher jenjang Sere membuat tanda kepemilikan, Sere melenguh ia mulai terlena sentuhan pria mesum ini.
Puas menghiasi bagian itu, beralih kedua gundukan yang dia remas, menurunkan penutup karena tidak ada busa membikin dirinya gampang melahap dan mulai mengulum puting gadisnya sudah mengeras."Ahhhhh," lenguh Sere, tanpa sadar ia menjambak rambut Faresta, membuat pria iru semakin bersemangat karena gadisnya terpancing.
"Enak 'kan sayang," ucap Faresta bersamaan pintu terbuka, membuat Sere terkejut lalu mendorong pria yang mengulum putingnya membikin sedikit meringis saat merasa sakit diarea itu. Lekas menutup payudaranya lagi cepat meraih handuk yang ada didekatnya.
"Maaffff, Tuan." Perias yang memake-up Sere menunduk, karena tak sengaja mengangguk aktifitas panas majikannya.
"Kau tau salahmu di mana!" geram Faresta dengan nada dingin, ia meraih pakaiannya lalu memakainya mendekati wanita yang diam di pintu.
Faresta menjambak rambut wanita itu, membuat Sere terkejut dengan tindakan Faresta. Ia menutup mulutnya saat melihat, Faresta membenturkan kepala perias itu ke pinggiran pintu membuat keningnya mengeluarkan darah, bersamaan raungan.
"Tuan, maaffff, ampunnnnn," isak perias, meringis saat perutnya ditinju oleh Faresta.
"Stopppp, Tuan!" pekik Sere panik melihat darah mengalir semakin banyak di kening perias.
"Dia sudah menganggu kesenanganku, harus dihukum!" geram Faresta tertahan, menoleh membalas tatapan Sere yang menajam.
"Lepaskan! aku bilang lepasankan, lepaskan setan!" sentak Sere kesal, ia mendekat setelah memastikan handuk tidak akan melorot.
"Kamuuuuu, belum ada yang berani membentakku," ujar Faresta dingin, menatap marah ke arah Sere. Terlihat dari urat - urat yang menonjol.
Sere gementar takut, nyalinya langsung menciut. Faresta merogoh sakunya, menelepon seseorang. Beberapa saat datang dua pria melakukan perintah Faresta, membawa perias yang mulai hilang kesadaran itu.
"Di--dia mau dibawa ke mana?" tanya Sere pelan, saat pintu sudah ditutup dengan keras.
"Kamu malah mengkhawatirkan orang lain, sedangkan dirimu sedang terancam," kekeh Faresta mendekati Sere, yang tanpa sadar melangkah mundur. Terhenti saat tubuhnya menabrak tembok, membuat rasa dingin hinggap dikulit yang terpangpang.
"Kenapa berhenti," ejek Faresta menaik turunkan alisnya.
"Ya iyalah berhenti, kan ada tembok. Emang aku apaan bisa nembus tembok," ucap Sere yang rasa mengucapkan dalam hati, malah berujar dengan gumaman, membuat Faresta menyeringai geli.
"Sudahlah, lain kali jangan ikut campur. Jangan sampai aku menyakitimu, wanita yang akan melahirkan anakku," ujar Faresta datar, ia keluar memerintahkan agar Sere lekas menganti pakaian.
Sere mengembuskan napas berat, ia sangat takut tadi. Beruntung Faresta tidak melakukan tindakan kekeras padanya. Lekas mengganti pakaian, menyusul pria itu yang sudah berada diparkiran. Sehabis masuk ke mobil, Faresta langsung melajukan mobilnya, suasana terasa mencengkram, padahal sinar matahari sangat terik bukan hujan petir.
"Kita mau ke mana?" tanya Sere pelan, berusaha memecahkan keheningan yang seperti hendak menelannya.
Faresta bungkam, tak menjawab pertanyaan Sere, membuat gadis itu mengembuskan napas, memilih bersandar dan memejamkan mata sampai terlelap.
30 - lima puluh jutaSere terbangun saat jarum jam sudah pas menunjuk angka sepuluh. Matanya mengerjap menyesuaikan penglihatan karena cahaya masuk, gorden dibuka oleh Faresta. Pria itu baru saja pulang dari joging, dan melihat istrinya masih terlelap."Eunghhhhh," lenguhan Sere terdengar membuat Faresta menoleh memandang istrinya."Sudah bangun ratu tidur? Ayo cepat mandi dan sarapan," ujar Faresta mendekat dan duduk di hadapan Sere yang mengucek matanya."Ishhh, kamu menganggu saja. Tubuhku sangat pegal itu karenamu!" geram Sere memandang kesal ke arah Faresta."Sudah jangan menggerutu, mau kutambahkan lgi rasa pegalnya!" ancam Faresta membuat Sere membulatkan matanya lalu mendengkus."Kamu memang iblis berwujud manusia!" maki Sere menarik selimut lalu melangkah perlahan menuju kamar mandi, Faresta tersenyum jahat melihat gaya berjalan istrinya.&nbs
29 - Obat yang ditukar"Maaf Yah, tadi Sere tidur," balasnya pelan."Enak ya, tidur-tidur. Mana uang yang mau kamu transfer?" tanya Al dengan nada sedikit keras menahan amarah."Nanti Yah." Sere bingung harus menjawab apa."Nanti-nanti, pokoknya besok uang itu harus ada direkening Ayah!" geram Al lalu mematikan sambungan telepon secara sepihak."Apa yang harus kulakukan," gumam Sere memijit keningnya.***Matahari berganti bulan, Sere memandang langit malam yang terang hari ini. Ia memejamkan mata menikmati semilir angin berembus, lalu melihat bumantara lagi. Memikir ucapan sang Ayah yang menginginkan besok uang itu harus ada di rekeningnya membuat dirinya pusing.Sebuah lengan kekar melingkar di pinggang rampingnya, membikin terlonjak dan suara kekehan terdengar dari belakang."Kamu mengejutkanku, Tuann," geram Sere tetap pada posisi yang sama."Apakah kamu lupa, kamu mengganti panggilanku dengan sebutan apa?" tany
28 - Mencuri!Dari balik pohon Kanara berdiri, memandang bangunan megah yang dulu menjadi tempatnya berteduh. Tangan terkepal saat melihat sebuah mobil keluar, tetapi ia masih ragu untuk menampakkan diri saat mengingat kejadian di mansion Faresta. Ia melangkah mendekat lalu masuk ke sana, tanpa dihalangi oleh orang - orang karena mereka belum tau jika dia hendak diceraikan."Nyonya baru pulang?" sapa pelayan saat melihat Kanara berjalan menaiki tangga menuju kamarnya."Hmmmm." Kanara hanya berdehem dan menoleh sekilas tanpa berhenti melangkah, perlahan ia membuka pintu lalu masuk sedangkan pelayan yang bertanya tadi sudah pergi.Dirinya mengembuskan napas lega saat sampai kamar, dihempaskan tubuh ke kasur yang sangat empuk. Memejamkan mata lalu bangkit lagi, melangkah menuju lemari mengambil beberapa perhiasan miliknya. Hari ini dia nekad ke sini karena uang telah habis tak tersisa, dengan penuh harapan benda mahal ini belum diambil ternyata b
27 - Panggilan baru"Kenapa kamu diam saja Sere, kamukan sudah janji sama Ibu tadi mana," tegur Desti menatap tajam anaknya bak elang memandang mangsa."Ibuuuuu, astaga sudah jam segini. Pasti kamu harus ke kantor, ayoo cepat!" ujar Sere mengalihkan topik ia pamit dengan cepat dan mendorong Faresta agar berjalan."Heyyy, sudah dorongnya. Kita udah sampe ke parkiran," tutur Faresta terkekeh geli lalu berbalik memandang istrinya."Kenapa menatapku seperti itu!" ketus Sere mengalihkan matanya ke samping tidak ingin bertabrakan dengan manik Faresta."Ayo cepat! masuk mobil. Kamu akan aku antarkan ke rumah," kata Faresta lalu masuk tanpa membukakan pintu untuk Sere."Menyebalkan sekali," gerutu Sere lalu membuka pintu dan menutupnya lagi terdengar suara benda itu dikunci membuat Sere memandang suaminya."Kenapa pake segala dikunci," seru Sere spontan Faresta yang menyalakan mobil menoleh memandang istrinya."Memangnya kenapa,
26 - TamparanSere bangun pagi - pagi ia lekas membersihkan diri lalu pergi ke kantin untuk mengisi perut yang bergejolak minta diisi sedari tadi."Ahhh, kenyangnya." Sere mengelap bibirnya lalu cepat membayar."Mendingan aku belikan Ibu buah saja, pasti dia senang." Senyuman itu selalu terbingkai semenjak berbincang dengan Desti, dengan riang ia melangkah pergi menyebrang jalan untuk membeli buah - buahan."Aishhh, beruntung aku masih memiliki uang," ujar Sere memandang dompetnya, ia lekas memilih buah dan membelinya.Setelah membeli buah, Sere langsung ke rumah sakit dan cepat ke ruangan Ibunya. Saat membuka pintu pendengarannya menangkap suara tamparan membuat melebarkan akses masuk lalu matanya membulat saat melihat sang Ibu tengah memegang pipi."Apa yang kamu lakukan!" Teriak Sere penuh kebenciaan, ia mendekat dan mendekapan Ibunya."Dia pantas menerimanya, karena tak menuruti keinginanku," seru Al bersidekap dengan
25 - Jalang!"Sudahlah, Tuan. Kalau kamu ingin pergi, pergi saja," usir Sere dengan nada kesal, ia mengerucutkan bibirnya sambil menghentakan kaki.Faresta mengulas senyum tipis melihat tingkah istrinya, lalu menoleh memandang ibu mertua yang menggelengkan kepala."Ibuu, aku pamit dulu ya," ucap Faresta dibalas anggukan Desti."Hati - hati, Nak." Faresta mengangguk sebagai jawaban lalu melangkah keluar menghilang dari balik pintu."Sereee," panggil Desti membuat wanita itu menoleh memandang Ibunya."Kenapa kamu memanggil suamimu Tuan, kamu jadi seperti bawahannya," seru Desti memandang anaknya bingung."Lalu aku harus memanggil apa, Buu," balas Sere menghempaskan bokongnya di kursi.Aku memang bawahannya, aku akan ditendang jika sudah selesai melakukan tugasku," lanjut Sere dalam hati tanpa sadar meremas baju yang ia pakai.Desti menepuk bahu Sere, membuat perempuan itu mendongak memandang Ibunya. "Ada apa Bu?" tanyanya.