"Mal, jemput gue! Lu denger kaga?!""Eh ... jemput pake apa? Ngaco aja!""Ish, gue mau balik ke Jakarta, Mal! Gue pecat lu jadi ipar kalau lu gak jemput gue!""Dih, ngancem! Gak mempan. Minum obat gih. Udah baek belom, Ca? Mukanya pucat?""Belom, Mal. Makanya jemput! Gue pengen makan telor ceplok dibalado buatan ibu.""Duh, tolong jangan ngomongin telor, Ca. Gue yakin kalau lu tahu ada siluman telor di Jakarta. Lu pasti pingsan.""Emang ada siluman telor? Di mana?""Ada di HP gue. Ntar gue kasih lihat dah, tapi jangan bilang-bilang ya.""Orang udah pada denger semua, Mal. Pan gue speaker ini teleponnya.""Ha ha ha ... iya udah gak papa. Lu tumben waras, Mal? Bukan biasanya gila?""Gila gue udah sembuh pas teleponan gini sama lu."Wajah Ica merona merah di depan layar ponsel milik Bang Ali. Bu Miranti dan Parni yang ikut berada di sana mendengarkan obrolan Ica dan seorang Kamal, sampai tergugu. Ternyata Ica bisa selepas itu berbicara pada Kamal. Tanpa jaim, tanpa malu. Ceplas-ceplos la
Kedua orang suruhan Alex, termasuk Imron sudah berada di toko alat tulis dan foto kopy. Mereka mencetak foto yang diminta oleh seseorang untuk kemudian digunting bagian kakinya. Entahlah apa dari maksud semua ini? Yang jelas, mereka hanya melaksanakan perintah untuk mendapatkan uang yang sangat besar."Kenapa harus dipotong bagian kakinya ya? Saya lagi mikirin ini, Bang. Apa foto ini nanti mau digunakan bos Abang untuk menyantet si pemilik foto?" tanya Imron penasaran."Gue gak tahu juga. Ini yang bikin gue gak ngerti. Bisa jadi kayak yang lu bilang, kalau foto ini emang untuk media santet dan perdukunan," jawab si lelaki dengan antusias."Ini, Bang. Semuanya tiga ribu rupiah," kata wanita penjaga toko sambil memberikan selembar kertas cetak yang sudah ada foto Kamal di sana. Imron masih belum jelas melihatnya, karena lembaran foto itu langsung diambil oleh temannya yang bernama Joni."Eksekusi di sini saja, Bang," ujar Imron memberitahu Joni. Lelaki yang biasa ia panggil abang bos it
Pukul lima pagi, tepatnya sehabis salat Subuh, Imron sudah berada di depan gang kontrakan Kamal. Lelaki itu sudah bersiap dengan ponsel yang sudah terisi baterai penuh untuk merekam adegan kaki pincang yang akan dilakonkan Kamal sebentar lagi.Sebenarnya pagi ini dirinya sedikit tidak enak badan, tetapi demi menyelamatkan temannya, maka tak apalah dia berkorban sedikit. Sebelum berangkat tadi sudah sempat minum obat tolak ang*n untuk mengusir rasa dingin yang mulai ia rasakan."Mana nih bocah? Udah jam lima lewat lima menit, belum nongol juga," gumam Imron sambil memperhatikan keadaan Gang Mawar yang masih sepi. Diambilnya ponsel, lalu ia hubungi nomor Kamal."Halo, Mal, cepat! Gue mau kerja nih!""Iya, Bang, bentar! Lagi di make up sama emak nih!""Deh, kita bukan mau kondangan, Mal! Gak usah make up. Dah, cepat!"Tut! Tut!"Bu, udahan aja bedakannya. Bang Imron udah di depan nungguin Kamal," rengek lelaki itu pada ibunya yang sibukl dengan bedak padat yang ia pakaikan di wajah anak
Imron dan Kamal sudah berada di sebuah rumah sakit swasta, tempat Imron bekerja. Setelah memarkirkan motornya di area parkir khusus karyawan, Kamal mengikuti Imron berjalan untuk mengisi absen hadir menggunakan sidik jari jempol.Setiap gerak-gerik Imron ia perhatikan, agar saat diterima kerja nanti dia sudah terbiasa."Jangan bengong, cuci tangan dulu di sana, baru kita ke belakang. Nanti gue tanya sama temen, apakah kita boleh pakai ruang IGD untuk foto shut. Semoga saja IGD sepi," ujar Imron memberi tahu."Iya, Bang," sahut Kamal paham. Ia pun mencuci tangan di wastafel yang ada di sana, lalu memgeringkannya dengan tisu. Selanjutnya, ia mengikuti Imron yang berjalan ke arah sebuah bangunan yang lokasinya tak sama dengan area parkir lobi bawah."Pagi, Bos. Gue bawa anggota nih," sapa Imron pada dua temanya yang sedang bercermin sambil menyisir rambut dan teman satunya lagi sedang duduk menyeruput teh di dalam cangkir."Ya, gue Jono. Ini temen gue Suep," ujar lelaki di depan cermin y
"Terima kasih banyak nih, Bang. Segala saya dipinjemin celana panjang. Gak papa kedodoran sedikit, asal gak melorot aja di jalan," ucap Kamal tulus, saat ia baru saja berganti pakaian karena ngompol di depan kamar mayat."Iya. Jangan cuma sama gue, lu minta maaf. Sebelum pulang, lu ajak ngobrol dulu tuh kamar mayat, dari pintu juga gak papa. Bilangin lu gak sengaja ngompol di situ," nasihat Imron pada Kamal. Lelaki muda itu pun mengangguk paham atas apa yang disampaikan Imron."Sekarang nih, Bang?" tanya Kamal yang ragu."Pas kiamat juga boleh," jawab Imron sarkas."Bang, tunggu!" Kamal menahan tangan Imron yang baru saja akan keluar ruang ganti petugas keamanan."Jadi, apa yang Abang bilang ke Bang Joni? Maksud gue, Abang ngomongnya gimana?" tanya Kamal penasaran. Imron menatap wajah lawan bicaranya dengan sedikit senyuman. Tangan lelaki itu terangkat, kemudian menepuk pundak Kamal sebanyak dua kali."Udah gue beresin. Saran gue, lu menghilang dulu sementara. Jangan lupa, ajarin emak
Kamal sudah rapi sejak pukul tiga Subuh. Semalaman ia juga tak dapat tidur nyenyak karena membayangkan akan bertemu dengan Ica pagi ini. Ada enam baju yang bolak-balik ia bongkar pasang pakai ke badannya. Termasuk celana jeans warna hitam, celana bahan, atau celana jeans biru, berukuran selutut. Lelaki itu benar-benar tak kuasa menahan debar di dadanya, menanti beberapa jam lagi saat perjumpaan."Mal, lu berisik banget sih? Kenapa gak tidur aja? Sakit kepala gue, lu daritadi gak beres-beres ganti baju. Tidur, Mal! Ini baru jam tiga. Lu berangkat ke bandara masih jam enam. Lu nyiksa gue kalau gini namanya," omel Bu Rani dengan mata terpejam."Takut kesiangan, Bu. Nanti malah pesawatnya gak jadi turun kalau Kamal kagak ada di sana." Bu Rani yang tadinya benar-benar mengantuk, menjadi terbelakak mendengar ucapan anaknya. Wanita paruh baya itu duduk dengan tiba-tiba dan memandang wajah Kamal dengan kesal."Kaga ada hubungannya pesawat turun sama lu. Turun mah, turun aja! Emangnya lu siapa
Kamal tertidur dengan posisi meringkuk di atas tikar lipat yang ia bawa. Orang yang berlalu-lalang pun merasa iba dengan keadaan lelaki itu, sehingga cangkir cup teh yang sudah ia habiskan isinya, kini berganti dengan uang koin dan ada juga uang lembaran. Ya, pengunjung bandara mengira bahwa Kamal adalah gelandangan, sehingga mereka memberikan sedikit dari rejeki mereka untuk lelaki yang kini masih saja meringkuk di sana."Mas, bangun! Duh, jangan mengemis di sini! Hei, bangun!" bentak seorang petugas keamanan yang membangunkan Kamal dengan tegas. Lelaki yang sedang tidur meringkuk itu pun tersentak, dan langsung terduduk sambil mengucek kedua matanya."Eh, Ca. Muka lu berubah garang? Kok kumisan?" tanya Kamal yang masih belum juga tersadar dengan keadaan. Dia masih mengira bahwa lelaki di depannya adalah Ica."Lu di Jerman operasi kelamin, Ca?"Plak!Pundak Kamal dipukul dengan topi oleh petugas keamanan itu."Buka matanya, Mas. Siapa Ica? Lihat nih! Nama saya Anwar, bukan Ica. Pinda
"Mal, itu bukan air mateng, cuma hangat doang. Jangan dimakan nanti sakit perut," ujar Ica memperingatkan. Wanita itu mencoba merampas pop mi dari tangan Kamal, tetapi lelaki itu mengelak cepat."Kalau pengen mah bilang aja,Ca. Pop mi gue jangan lu pitnah," timpal Kamal dengan langkah cepat meninggalkan Ica yang tertawa geli."Bukan fitnah, tapi emang itu bukan air mateng." Ica mengikuti langkah Kamal yang berhenti di dekat kursi. Lelaki itu duduk, kemudian menaruh cup mi di atas meja."Jangan dimakan, Mal. Jangan makan mi, makan nasi aja yuk! Bibik masak banyak makanan." Ica menarik tangan lelaki itu agar berdiri, tetapi Kamal menahan tangan Ica. Lelaki itu menggeleng dengan pelan sambil tersipu malu."Gue makan di sini aja, Ca. Kalau makan di ruang makan sama keluarga lu, gue takut gak bisa ngunyah." Kamal bersikeras tetap menolak. Tangannya meraih cup mi, lalu menyantapnya dengan penuh kenikmatan. Aroma kare yang menyeruak bersama asap yang mengepul dari sana, membuat Ica menepan l