Imron dan Kamal sudah berada di sebuah rumah sakit swasta, tempat Imron bekerja. Setelah memarkirkan motornya di area parkir khusus karyawan, Kamal mengikuti Imron berjalan untuk mengisi absen hadir menggunakan sidik jari jempol.Setiap gerak-gerik Imron ia perhatikan, agar saat diterima kerja nanti dia sudah terbiasa."Jangan bengong, cuci tangan dulu di sana, baru kita ke belakang. Nanti gue tanya sama temen, apakah kita boleh pakai ruang IGD untuk foto shut. Semoga saja IGD sepi," ujar Imron memberi tahu."Iya, Bang," sahut Kamal paham. Ia pun mencuci tangan di wastafel yang ada di sana, lalu memgeringkannya dengan tisu. Selanjutnya, ia mengikuti Imron yang berjalan ke arah sebuah bangunan yang lokasinya tak sama dengan area parkir lobi bawah."Pagi, Bos. Gue bawa anggota nih," sapa Imron pada dua temanya yang sedang bercermin sambil menyisir rambut dan teman satunya lagi sedang duduk menyeruput teh di dalam cangkir."Ya, gue Jono. Ini temen gue Suep," ujar lelaki di depan cermin y
"Terima kasih banyak nih, Bang. Segala saya dipinjemin celana panjang. Gak papa kedodoran sedikit, asal gak melorot aja di jalan," ucap Kamal tulus, saat ia baru saja berganti pakaian karena ngompol di depan kamar mayat."Iya. Jangan cuma sama gue, lu minta maaf. Sebelum pulang, lu ajak ngobrol dulu tuh kamar mayat, dari pintu juga gak papa. Bilangin lu gak sengaja ngompol di situ," nasihat Imron pada Kamal. Lelaki muda itu pun mengangguk paham atas apa yang disampaikan Imron."Sekarang nih, Bang?" tanya Kamal yang ragu."Pas kiamat juga boleh," jawab Imron sarkas."Bang, tunggu!" Kamal menahan tangan Imron yang baru saja akan keluar ruang ganti petugas keamanan."Jadi, apa yang Abang bilang ke Bang Joni? Maksud gue, Abang ngomongnya gimana?" tanya Kamal penasaran. Imron menatap wajah lawan bicaranya dengan sedikit senyuman. Tangan lelaki itu terangkat, kemudian menepuk pundak Kamal sebanyak dua kali."Udah gue beresin. Saran gue, lu menghilang dulu sementara. Jangan lupa, ajarin emak
Kamal sudah rapi sejak pukul tiga Subuh. Semalaman ia juga tak dapat tidur nyenyak karena membayangkan akan bertemu dengan Ica pagi ini. Ada enam baju yang bolak-balik ia bongkar pasang pakai ke badannya. Termasuk celana jeans warna hitam, celana bahan, atau celana jeans biru, berukuran selutut. Lelaki itu benar-benar tak kuasa menahan debar di dadanya, menanti beberapa jam lagi saat perjumpaan."Mal, lu berisik banget sih? Kenapa gak tidur aja? Sakit kepala gue, lu daritadi gak beres-beres ganti baju. Tidur, Mal! Ini baru jam tiga. Lu berangkat ke bandara masih jam enam. Lu nyiksa gue kalau gini namanya," omel Bu Rani dengan mata terpejam."Takut kesiangan, Bu. Nanti malah pesawatnya gak jadi turun kalau Kamal kagak ada di sana." Bu Rani yang tadinya benar-benar mengantuk, menjadi terbelakak mendengar ucapan anaknya. Wanita paruh baya itu duduk dengan tiba-tiba dan memandang wajah Kamal dengan kesal."Kaga ada hubungannya pesawat turun sama lu. Turun mah, turun aja! Emangnya lu siapa
Kamal tertidur dengan posisi meringkuk di atas tikar lipat yang ia bawa. Orang yang berlalu-lalang pun merasa iba dengan keadaan lelaki itu, sehingga cangkir cup teh yang sudah ia habiskan isinya, kini berganti dengan uang koin dan ada juga uang lembaran. Ya, pengunjung bandara mengira bahwa Kamal adalah gelandangan, sehingga mereka memberikan sedikit dari rejeki mereka untuk lelaki yang kini masih saja meringkuk di sana."Mas, bangun! Duh, jangan mengemis di sini! Hei, bangun!" bentak seorang petugas keamanan yang membangunkan Kamal dengan tegas. Lelaki yang sedang tidur meringkuk itu pun tersentak, dan langsung terduduk sambil mengucek kedua matanya."Eh, Ca. Muka lu berubah garang? Kok kumisan?" tanya Kamal yang masih belum juga tersadar dengan keadaan. Dia masih mengira bahwa lelaki di depannya adalah Ica."Lu di Jerman operasi kelamin, Ca?"Plak!Pundak Kamal dipukul dengan topi oleh petugas keamanan itu."Buka matanya, Mas. Siapa Ica? Lihat nih! Nama saya Anwar, bukan Ica. Pinda
"Mal, itu bukan air mateng, cuma hangat doang. Jangan dimakan nanti sakit perut," ujar Ica memperingatkan. Wanita itu mencoba merampas pop mi dari tangan Kamal, tetapi lelaki itu mengelak cepat."Kalau pengen mah bilang aja,Ca. Pop mi gue jangan lu pitnah," timpal Kamal dengan langkah cepat meninggalkan Ica yang tertawa geli."Bukan fitnah, tapi emang itu bukan air mateng." Ica mengikuti langkah Kamal yang berhenti di dekat kursi. Lelaki itu duduk, kemudian menaruh cup mi di atas meja."Jangan dimakan, Mal. Jangan makan mi, makan nasi aja yuk! Bibik masak banyak makanan." Ica menarik tangan lelaki itu agar berdiri, tetapi Kamal menahan tangan Ica. Lelaki itu menggeleng dengan pelan sambil tersipu malu."Gue makan di sini aja, Ca. Kalau makan di ruang makan sama keluarga lu, gue takut gak bisa ngunyah." Kamal bersikeras tetap menolak. Tangannya meraih cup mi, lalu menyantapnya dengan penuh kenikmatan. Aroma kare yang menyeruak bersama asap yang mengepul dari sana, membuat Ica menepan l
"Oh, Ica ... mm ... namanya sama dengan anak saya ya? Bisa kebetulan begini." Dokter Alan mengangguk paham."Memang Ica yang ini, Om," tunjuk Kamal pada sosok Ica yang saat ini tengah melotot padanya.Huk!Huk!Huk!"Ya Allah, Mama. Ini minumnya, Ma." Refleks Ica memberikan sang mama minum karena posisi mereka saling berhadapan. Wajah Kamal mendadak kaku, karena tak ada sahutan lain setelah ia menunjuk Ica secara blak-blakan sebagai calon istrinya. Entah dari mana datangnya? Tiba-tiba saja Kamal merasakan sedikit sesak di dadanya. Lelaki itu menyipit sekaligus mendesis karena kesakitan."Mal, lo kenapa?" kali ini semua orang menolah pada Kamal yang tengah memegang dadanya."Kayaknya jantung gue sakit, Ca. Serangan jantung ini kayaknya." Kamal semakin menunduk sembari berkeringat memegang dadanya yang sakit."Ya Allah, harusnya mama, papa, atau gue yang kena serangan jantung karena omongan lu. Kenapa jadi lu yang kena? Kan lu yang ngomong?" Ica terus saja mengomel, sedangkan papanya su
Puluhan orang, bahkan ratusan orang berbaris rapi di sepanjang Gang Mawar, mereka diminta oleh Pak RT untuk mengambil uang takziah yang sudah terlanjur mereka berikan pada Bu Rani. Satu per satu berbaris antre mengambil uangnya kembali, dengan sarat jujur. Berapa yang mereka letakkan di baskom, itulah yang mereka minta kembali pada Bu Rani.Wajah wanita paruh baya itu masam, karena total uang takziah yang dikembalikan, lebih dari yang ia terima. Bahkan ia terpaksa mengambil beberapa lembar lagi uang merah dari amplop pemberian Alex, untuk dikembalikan pada warga. Kamal yang bertanggung jawab atas ini semua, memiliki tugas untuk menukar uang merah sebanyak lima ratus ribu, menjadi uang pecahan sepuluh ribu dan lima ribu.Jika sudah seperti ini, siapa yang mau disalahkan? Kamal yang terlalu cerdas, atau ibunya yang belum cerdas? Tenda yang telah dipasangkan pun kini sudah dibuka kembali, beberapa petugas malah meminta upah lelah karena telah memasang serta membongkar tenda dengan percum
"Gimana sih kamu punya darah, Sayang? Bulan lalu darah rendah, bulan ini darah tinggi, bulan kemarin lagi, kurang darah. Gimana mau operasi kalau darah kamu galau gitu?" Alex masih duduk di kursi tunggu apotek rumah sakit. Di sampingnya ada Susan yang berwajah masam karena gagal lagi untuk operasi. Ia pun sebenarnya ingin sekali kutil tyrex ini segera dioperasi, namun apalah daya. Kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk melakukan operasi, walau hanya operasi kecil."Aku juga gak mau begini, Mas," sahutnya sambil menunduk. "Seandainya bisa aku sendiri yang cabut, pasti akan aku cabut, Mas," lanjut Susan lagi dengan suara bergetar menahan tangis."Sayang, itu kutil, bukan rumput. Gimana nyabutnya? Udah deh, nanti jadi penyakit yang lain!" Alex menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil melipat tangan di dada, sedangkan Susan masih saja cemberut.Tak lama kemudian, nomor antrean resep milik Susan muncul di layar khusus farmasi, Alex bangun dari duduknya, lalu berjalan untuk