Udara panas yang terjalin di sekitar mereka membuat Denita merasa tak tertahankan. Dia bahkan harus menggigit bibir bawahnya keras-keras agar kakinya tetap menapak bumi. Dia tidak mau terlihat seperti wanita murahan yang gampang tergoda. "Ekhm!""Ini masih jam kerja, Pak!" ujar Denita memberanikan diri untuk mengingatkan. "Aku tahu!" jawab Dominic santai. "Lalu... ""Lalu?"Dominic menjauhkan tubuhnya sedikit dari Denita. Dia kemudian mengendikkan bahu dengan jenaka. "Mungkin aku harus menunggu sampai kita sah menjadi suami istri," celetuk Dominic seraya menatap pada Denita dengan penuh arti. Denita yang ditatap sedemikian rupa hampir tersedak ludah sendiri ketika mendengar ucapan Dominic. Dia lebih dari sekedar mengerti mengenai hendak mengarah ke mana kata-kata Presdir baru di depannya ini. "Kalau begitu, saya bisa melanjutkan pekerjaan dulu?" tanya Denita berniat mengalihkan pembicaraan. "Tapi kamu belum menyetujui kondisi yang aku sebutkan tadi," tutur Dominic. Kata-kata ini
Denita mendorong tubuh Dominic dengan sekuat tenaga kemudian bergegas keluar dari lift, dan langsung menyeret Widia dengan langkah cepat setengah berlari. Mereka mengambil langkah seribu, menjauh dari Dominic yang menatap kepergian mereka dengan seringaian nakal. "Kamu jangan mikir macem-macem!" desis Denita memperingatkan Widia saat mereka sudah berada di luar gedung perusahaan. Jantungnya masih berdetak kencang. Dan nafasnya terus memburu dengan gila. "Aku gak mikir apa-apa tuh!" Widia menggelengkan kepala pelan.Blush,Wajah Denita berubah semerah kepiting rebus saat melihat Widia menaik-turunkan alisnya dengan jail. "Tsk, pokoknya aku gak ada hubungannya dengan pria mesum itu!" Denita menukas memperingatkan. Widia yang tidak percaya semakin melemparkan kerlingan nakal. Tanyakan saja pada siapapun. Jika kalian melihat dua insan berbeda kelamin menempel hampir seperti tak terpisahkan, bisakah kalian tidak berpikir ada yang macam-macam? "Ada juga gak apa-apa kok," ucap Widia."Po
Denita mendecakkan lidah tak nyaman setelah menyesap minuman beralkohol yang sengaja dia pesan untuk menemaninya malam ini. Dia juga sesekali mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah untuk mencari sosok bosnya itu. Namun, belum juga terlihat batang hidungnya. "Angga nelepon kamu tuh!" Widia menyenggol bahu Denita pelan sambil setengah berteriak di tengah kebisingan. Denita yang tadinya masih sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut, perlahan mengalihkan perhatiannya pada telepon genggam yang berkedip-kedip tanpa bosan di atas meja. Ada nama Angga yang terpampang pada layar. "Halo!" jawab Denita setelah melakukan peperangan singkat dengan batinnya terkait apakah dia harus mengangkat telepon ini atau tidak. “Kamu dimana? Gak pulang?” tanya Angga perhatian. " ... " Denita mendengus dalam hati. Entah kenapa, pertanyaan sederhana ini justru membuat jantung Denita terasa semakin diremas-remas menyesakkan. Apalagi saat mendengar kalimat tanya yang disampaikan dengan begitu lembu
Setelah mengendarai mobil Rolls Royce warna hitamnya dengan kalap, Dominic akhirnya tiba di Penthouse mewahnya yang tepat berada di tengah-tengah kota.Denita yang diajak ke tempat mewah ini tidak memiliki waktu untuk hanya sekedar mengagumi kemegahan tempat ini. Sebab, dia terlalu sibuk mengimbangi ciuman penuh gairah dari sang bos. Jika saja mereka tidak membutuhkan udara untuk bernafas, mereka tidak akan berhenti dari aktivitas ini walau hanya sesaat. "Hosh!""Hosh!""Hosh!"Suara tarikan, dan hembusan nafas yang memburu memenuhi ruang tamu di Penthouse mewah itu, membentuk harmoni dengan detak jarum jam di dinding. "Kamu yakin?" tanya Dominic pada Denita dari sela-sela nafas yang naik turun tak beraturan. Dia ingin memastikan sekali lagi kesanggupan wanita di hadapannya. Dari dulu hingga sekarang, Dominic paling anti menjalin hubungan tanpa consent. Dia harus memastikan bahwa wanita yang hendak berhubungan dengannya, melakukannya secara sukarela. Tanpa banyak kata, Denita mele
Suara dering jam weker membangunkan Dominic dari tidur lelapnya. Namun, dia masih enggan untuk membuka mata. Hanya tangan kanannya yang bergerak meraba sisi lain tempat tidur yang terasa dingin. 'Aku ingat tadi malam habis melalui malam panas,' batin Dominic ketika menemukan tidak ada seorangpun di sampingnya. Begitu nyawanya telah terkumpul sepenuhnya, barulah Dominic membuka matanya lebar-lebar. Dia mengabaikan jam weker yang masih menjerit di atas nakas, dan melirik sisi lain tempat tidur. Benar saja, tidak ada lagi sosok Denita yang harusnya masih berbaring di sampingnya. "Denita!" panggil Dominic karena berpikir sekertarisnya itu sedang berada di dalam kamar mandi. " ... "Hening, "Denita!" panggil Dominic sekali lagi dengan intonasi suara yang lebih tinggi. " ... "Masih hening, "Jam berapa sih ini?" gumam Dominic curiga. Dia lalu meraih jam weker yang masih menjerit ribut itu karena berpikir dia sudah tertidur terlalu lama. Namun, jarum jam ternyata masih menunjukkan pu
Selain insiden hampir terbakar gairah di pagi hari. Denita masih menjalani sisa harinya yang membosankan. Setelah seharian kemarin tidak pulang, Denita memutuskan untuk kembali ke kediaman Hadiwijaya. Dia memarkirkan mobilnya di tempat biasa, dan terus melangkah gamang memasuki rumah mewah yang tak pernah menjadi tempat yang nyaman baginya ini. Suara canda, dan tawa yang terdengar datang dari dalam rumah membuat alis Denita terangkat tinggi. Dominic benar, eksistensinya memang tidak penting untuk keluarga ini. Orang-orang ini jelas tahu bahwa dia terluka karena perbuatan Salsa, tapi bahkan tidak ada di antara mereka yang sudi untuk hanya sekedar mempertanyakan kondisinya. "Kakak~""Salsa benar-benar kangen banget loh sama kakak~"Suara centil, dan manja milik Salsa memasuki indera pendengaran Denita bahkan sebelum dia sampai di sumber suara. "Kakak juga kangen banget sama kamu. Harus berapa kali sih kamu mengulang kalimat ini dari kemarin?" ujar Arkan dengan nada lembut yang spesi
"Salsa hamil?"Bukannya ucapan selamat, justru kalimat tanyalah yang pertama kali menggema di meja makan setelah pengumuman yang dilakukan oleh Salsa baru saja. "Iya!" jawab Salsa dengan antusias. "Kamu yakin?" tanya Arkan dengan nada heran yang terselip samar dalam suaranya. "Hm," angguk Salsa cepat. "Anaknya Angga?" tanya Arkan dengan hati-hati. " ... "Meja makan mereka seketika diselimuti oleh keheningan karena pertanyaan ini. "Ihh, Kakak kenapa sih? Bukannya ngucapin selamat juga! Yaiyalah ini anaknya Angga!" keluh Salsa sembari mencubit lengan Arkan yang terbuka di atas meja. Tentu saja dengan gaya manjanya yang memuakkan. "Maaf, bukan bermaksud apa-apa. Selamat!" ucap Arkan dengan sedikit perasaan berat hati. Namun, senyum simpul tidak lupa tersemat di wajahnya yang beku. Sekelumit obrolan ini membuat Denita segera tersadar dari rasa marahnya. Ingatannya seketika terlempar pada perdebatan yang dilakukan Arkan, dan Dominic tempo hari. "Karena sekarang ini Salsa sedang ha
7 tahun lalu, "Saya gak berani, Non! Mending Non Salsa minta ditemani Pak Syarif atau Mas Arkan aja!" ujar Denita dengan rendah hati. Hari ini Salsa yang baru bisa mengendarai kendaraan roda empat itu memaksa Denita untuk menemaninya melakukan uji coba di jalan raya. Hanya dengan mereka berdua saja. "Kamu penakut banget sih, kamu gak percaya kalau aku udah bisa nyetir mobil sendiri?!" sentak Salsa sembari mendorong bahu Denita dengan keras. "Bukan begitu, Non. Tapi buat jaga-jaga aja. Saya kan gak bisa bawa mobil. Amit-amit kalau ada apa-apa, nanti saya gak bisa bantuin Non Salsa!" pungkas Denita takut. Baru setahun ini dia menikmati indahnya jatuh cinta. Dan untuk sekarang, dia belum mau menemani anak majikannya ini menantang maut. "Jangan banyak alasan. Ayo cepat!" ajak Salsa sambil menggeret lengan Denita dengan kasar. "Aduuhh, Non. Kenapa gak minta didampingi sama Mas Arkan aja?" tanya Denita. Di tengah langkahnya yang terseret-seret, Denita berusaha untuk melepaskan diri