Share

Bab 5

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-11-05 23:02:11

Pagi hari di rumah Aziz terasa seperti mimpi buruk bagi Alena. Setelah kejadian malam itu, saat ia menemukan Zizi menangis di lorong, Alena semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di rumah ini. Namun, yang lebih mengganggu adalah perasaannya yang semakin tidak diterima. Zizi dan Sasya masih menjaga jarak, sementara Aziz tampak semakin sibuk dengan pekerjaannya dan mengabaikan masalah yang jelas ada di depan mata.

Alena berusaha keras untuk tetap tegar. Setiap pagi ia mencoba memulai hari dengan senyuman, meski hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ketika Aziz sudah berangkat ke kantor, Alena berusaha mendekati kedua anak tirinya.

"Sasya, Zizi... gimana kalau hari ini kita keluar bareng? Jalan-jalan ke mall atau makan es krim?" tanyanya ceria saat mereka sarapan.

Namun, respon yang diterima membuatnya kembali terpukul.

"Enggak perlu," kata Sasya tanpa melihat Alena. "Aku ada tugas sekolah, dan Zizi juga."

Zizi hanya menunduk, tidak berkata apa-apa, tetapi jelas terlihat bahwa ia mengikuti apa pun yang dikatakan kakaknya.

Alena menarik napas panjang dan mencoba tersenyum lagi. "Ya sudah, kalau ada yang kalian butuhkan, bilang aja ya."

Namun, tidak ada jawaban dari kedua anak itu. Mereka tetap diam dan melanjutkan sarapan tanpa menoleh sedikit pun ke arah Alena.

Setelah sarapan, Alena berusaha membersihkan rumah. Meski bukan ahli dalam hal pekerjaan rumah tangga, setidaknya ia bisa mencoba melakukan sesuatu agar tidak merasa terlalu tidak berguna. Saat ia sibuk membersihkan ruang tamu, pikirannya melayang ke arah pernikahan mendadaknya dengan Aziz. Semua terjadi begitu cepat. Saat itu, ia hanya berpikir untuk menjalani hidup dan melunasi hutang budinya pada keluarga Aziz. Namun sekarang, ia mulai meragukan keputusan itu.

Alena menatap foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding ruang tamu. Di foto itu, mereka berdua tampak bahagia—atau setidaknya, mencoba terlihat bahagia. Aziz mengenakan setelan jas hitam yang elegan, sementara Alena mengenakan gaun pengantin putih sederhana dengan hijab yang serasi. Tapi di balik senyuman di foto itu, Alena tahu betapa canggungnya hari itu.

"Kau masih muda, Alena. Nggak perlu semua orang tahu kau nikah sama duda beranak dua. Sudahlah. Yang penting jalani saja dulu," kata sang ibu saat ia hendak mengabari pernikahan terpaksa tersebut pada teman-temannya.

Dan sekarang, Alena merasa keputusan itu menambah beban hidupnya. Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada teman-temannya, terutama saat mereka terus bertanya kenapa dia memutuskan cuti kuliah mendadak? Bagaimana mereka akan bereaksi jika tahu suaminya jauh lebih tua dan punya dua anak pula?

Sore itu, saat Alena sedang duduk di teras belakang, menikmati secangkir teh, Zizi tiba-tiba datang menghampirinya. Gadis itu berdiri dengan ragu di depannya, menggigit bibir bawahnya.

"Kak... Kak Alena," suara Zizi terdengar lirih.

Alena langsung terkejut. Ini pertama kalinya Zizi memanggilnya dengan sapaan "Kak". Biasanya, gadis itu hanya diam atau menyebut namanya tanpa embel-embel apa pun.

"Iya, Zizi? Ada apa?" tanya Alena lembut, berharap ini bisa menjadi awal yang baik.

Zizi menunduk sejenak, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Aku... Aku mau kasih ini ke Kak Alena."

Alena menerima benda yang diberikan Zizi. Itu adalah sebuah gambar. Gambar yang dibuat oleh tangan kecil Zizi, menggambarkan seorang wanita yang sedang berdiri di samping dua gadis kecil.

"Ini... gambar untuk aku?" Alena menatap gambar itu dengan mata berbinar.

Zizi mengangguk pelan. "Aku tahu... Aku tahu kau bukan Mama. Tapi... tapi aku enggak mau kau pergi juga."

Hati Alena mencelos. Gadis kecil ini ternyata memiliki ketakutan yang tidak pernah ia duga. Zizi mungkin belum bisa menerima sepenuhnya kehadiran Alena, tapi di balik semua itu, ia takut kehilangan lagi sosok ibu dalam hidupnya.

"Zizi... aku enggak akan pergi ke mana-mana," kata Alena dengan suara lembut, meski di dalam hatinya ia pun tidak yakin dengan kata-kata itu.

Malam harinya, Alena mencoba berbicara dengan Aziz tentang apa yang terjadi dengan gadis kecil itu. Ia berharap suaminya bisa memberi pandangan atau setidaknya membantunya memahami apa yang sebenarnya terjadi.

"Om, sepertinya Zizi ada masalah," kata Alena saat mereka sedang duduk di ruang keluarga setelah makan malam.

Aziz menatapnya dengan ekspresi datar, lalu menghela napas panjang. "Zizi masih trauma setelah ibunya meninggal. Dia takut kehilangan lagi. Itu hal yang wajar."

"Aku tahu. Tapi Om harus lebih perhatian lagi ke mereka. Sejauh ini aku ngelihat kalau Om sibuk kerja terus. Kasihan. Kapan Om ada waktu untuk mereka? desak Alena. “Mereka lebih butuh Om."

Aziz mengangguk pelan, tetapi tidak banyak bicara. Ia tampak seperti seseorang yang terjebak dalam pikirannya sendiri, dan Alena tidak bisa menembus tembok yang semakin tinggi di antara mereka.

"Aku akan coba bicara dengan mereka lagi," jawab Aziz akhirnya, meski nada suaranya terdengar hambar.

Alena hanya bisa mengangguk, merasa percakapan itu tidak membawa perubahan apa pun. Ia ingin sekali Aziz menunjukkan lebih banyak perhatian, tapi sepertinya pria itu terlalu sibuk atau terlalu bingung dengan situasi ini.

Keesokan harinya, ketika Alena sedang berada di dapur, ia mendengar suara gaduh dari ruang tamu. Dengan cepat ia keluar dan melihat Sasya dan Zizi sedang bertengkar.

"Apa yang terjadi?" tanya Alena sambil berjalan mendekat.

Sasya, dengan wajah marah, langsung menjawab. "Zizi bilang kau masak untuk kita, tapi aku enggak mau!"

Zizi yang ketakutan, berusaha membela diri. "Tapi Kak Alena ‘kan udah berusaha, Kak Sasya, Kakak enggak bisa terus-terusan marah!"

Alena merasa hatinya mencelos. Sasya begitu keras kepala, dan Zizi, meski sudah mulai melembut, masih terjebak dalam ketidakpastian. Kedua gadis itu tampaknya memiliki dunia mereka sendiri yang Alena tidak bisa masuki dengan mudah.

Sasya lalu menatap Alena tajam. "Kau enggak akan pernah jadi mama kami. Jangan berpikir kau bisa gantiin Mama."

Kata-kata itu menusuk hati Alena, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Aku enggak pernah ingin menggantikan mama kalian, Sasya. Aku cuma ingin membantu. Aku di sini untuk kalian."

Sasya menggeleng dengan marah, lalu berlari ke kamar, meninggalkan Alena dan Zizi di ruang tamu yang hening.

Zizi mendekati Alena dan menarik tangannya. "Aku minta maaf, Kak. Kak Sasya memang suka marah-marah terus. Tapi aku enggak seperti dia..."

Alena tersenyum kecil dan memeluk Zizi. "Enggak apa-apa, Zizi. Aku ngerti."

Tapi dalam hati, Alena tahu bahwa pertarungannya belum selesai. Ia harus menghadapi lebih banyak rintangan jika ingin diterima sepenuhnya oleh keluarga ini.

Malam harinya, saat Alena sedang bersiap tidur, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal. Pesan itu berbunyi

 [Kau enggak akan pernah bisa memiliki keluarga ini. Jangan terlalu berharap.]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 6

    Alena terjaga dari tidurnya, menatap ponsel di tangan dengan bingung. Pesan misterius yang baru saja ia terima menggetarkan hati. Kalimat yang singkat namun penuh ancaman itu membuatnya terdiam beberapa detik.Siapa yang bisa mengirim pesan seperti itu? Apakah itu dari seseorang di rumah ini? Atau mungkin dari luar? Hatinya bertanya-tanya. Namun, ia tidak punya banyak petunjuk. Nomor yang mengirim pesan itu adalah nomor tak dikenal, tanpa nama atau tanda-tanda lain. Tiba-tiba, ia merasa sendirian, terjebak dalam pernikahan yang penuh rahasia dan ketidakpastian.Alena mencoba menenangkan diri. Ia memutuskan untuk tidak membahas ini pada siapa pun dulu. Bahkan pada Aziz. Ia masih belum yakin siapa yang bisa dipercaya. Apakah mungkin salah satu dari anak-anak Aziz yang mengirim pesan ini? Tidak mungkin, pikirnya. Meski Sasya memang masih marah dan Zizi tampak canggung, rasanya pesan itu terlalu dingin dan mengancam untuk datang dari mereka."Mungkin ini cuma orang iseng," bisiknya pada d

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 5

    Pagi hari di rumah Aziz terasa seperti mimpi buruk bagi Alena. Setelah kejadian malam itu, saat ia menemukan Zizi menangis di lorong, Alena semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di rumah ini. Namun, yang lebih mengganggu adalah perasaannya yang semakin tidak diterima. Zizi dan Sasya masih menjaga jarak, sementara Aziz tampak semakin sibuk dengan pekerjaannya dan mengabaikan masalah yang jelas ada di depan mata.Alena berusaha keras untuk tetap tegar. Setiap pagi ia mencoba memulai hari dengan senyuman, meski hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ketika Aziz sudah berangkat ke kantor, Alena berusaha mendekati kedua anak tirinya."Sasya, Zizi... gimana kalau hari ini kita keluar bareng? Jalan-jalan ke mall atau makan es krim?" tanyanya ceria saat mereka sarapan.Namun, respon yang diterima membuatnya kembali terpukul."Enggak perlu," kata Sasya tanpa melihat Alena. "Aku ada tugas sekolah, dan Zizi juga."Zizi hanya menunduk, tidak berkata apa-apa, tetapi jelas terlihat bahwa ia me

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 4

    Hari-hari setelah pernikahan Alena terasa semakin berat. Hubungan dengan Sasya dan Zizi tak kunjung membaik, bahkan cenderung semakin memburuk. Setiap kali mereka berada di ruangan yang sama, suasana menjadi tegang. Kedua anak itu jelas tidak mau menerima Alena sebagai bagian dari hidup mereka. Di mata mereka, ia hanyalah orang asing yang tiba-tiba muncul dan merebut tempat ibu mereka.Pagi itu, Alena mencoba untuk lebih berusaha. Ia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan. Meski tahu kemampuan memasak yang dimiliki sangat terbatas, tetapi setidaknya ini bisa menjadi upaya kecil untuk mendekatkan diri."Aku bisa, aku pasti bisa," gumamnya pada diri sendiri sambil membuka buku resep yang baru ia unduh dari internet. Pandangannya terhenti pada menu sederhana—omelet sayur dan roti panggang. "Enggak terlalu sulit ‘kan?"Dengan semangat, Alena mulai memotong sayuran dan menyiapkan bahan-bahan lainnya. Namun, kenyataan segera menghantam. Telur yang ia kocok terlalu encer, dan

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 3

    Pagi itu terasa aneh bagi Alena. Setiap detik berlalu seperti sebuah mimpi, sebuah kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi secepat ini.Sebentar lagi, ia akan menjadi istri seorang pria yang baru dikenal kemarin—Aziz, duda dengan dua anak yang berumur hampir sebaya dengannya."Ini benar-benar akan terjadi..." gumam Alena, meremas-remas ujung kerudungnya dengan gugup.Aziz duduk di seberang ruangan, wajahnya tanpa ekspresi. Tampak tenang, namun ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan oleh Alena.Di sisi lain, Alena merasa hatinya terus berdenyut dengan cepat. Pernikahan ini bukan tentang cinta. Semua hanya tentang hutang budi yang harus dibayar."Kau siap?" tanya Aziz dengan nada datar."Apa aku punya pilihan?" Alena membalas tanpa menatapnya.Aziz menghela napas panjang. "Tidak ada."Alena tahu itu benar. Keluarga Aziz telah membantu keluarganya saat mereka jatuh miskin setelah ayahnya meninggal. Kini, tanggung jawab itu menjadi beban di pundak. Aziz menuntutnya untu

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 2

    Alena duduk di sudut kafe yang agak sepi, jaraknya cukup jauh dari keramaian yang biasa memenuhi tempat itu. Matanya menatap kosong pada segelas kopi yang mulai dingin di hadapan. Tangan pun tak bisa berhenti menggenggam ujung kerudung, memainkan kain tersebut seolah itu adalah satu-satunya cara yang bisa mengalihkan kegugupan. Pikirannya berlarian tak menentu, antara kebingungan, cemas, dan... sedikit rasa penyesalan.Kenapa aku mau datang?Jantungnya berdebar tak karuan, semakin keras setiap detik, karena dia tahu pertemuan ini akan mengubah seluruh hidupnya. Pertemuan dengan orang yang tak pernah dia bayangkan akan menjadi suaminya—Aziz.Aziz, pria berumur 38 tahun yang selama ini hanya dia dengar dari cerita orang-orang di kampungnya. Seorang pria yang dianggap dermawan, tetapi juga terkenal karena sifat tegas dan otoriter. Dan kini, dia berada di ambang menjadi istri pria itu.Om Aziz...Pintu kafe terbuka dengan suara halus, namun detik itu Alena tahu siapa yang datang. Seolah u

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 1

    “Apa? Aku harus nikah sama dia?!”Alena hampir menjatuhkan ponselnya. Suara di seberang sana terlalu mengejutkan untuk dicerna begitu saja. Jalanan di sekitar Medan sore itu penuh kendaraan berlalu-lalang, tetapi seakan lenyap dari pandangannya. Yang tersisa hanya gemuruh di telinga, berdering bersama suara sang ibu yang menggelegar di ponsel.“Kau dengar ‘kan? Udah diputuskan, Na. Aziz itu orang baik. Keluarga kita berhutang budi sama mereka!” Ibunya terdengar tegas, bahkan nyaris tak memberi ruang untuk perlawanan. Sore yang cerah mendadak berubah menjadi kelabu bagi Alena.Perempuan berusia 21 tahun itu mengerjapkan mata, menatap sepatu flat yang dipakainya, seolah berharap jawaban muncul dari sana. “Tapi... Tapi, Mak. Aku masih kuliah. Gimana aku bisa nikah? Lagi pula, aku enggak kenal sama dia!” ucapnya dengan nada putus asa. Suara lalu lintas yang bising mendadak menjadi latar yang sunyi dibandingkan ketakutan yang mendera di hatinya.Ibunya mendesah di seberang, seperti berusah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status