Share

Bab 6

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-11-05 23:03:19

Alena terjaga dari tidurnya, menatap ponsel di tangan dengan bingung. Pesan misterius yang baru saja ia terima menggetarkan hati. Kalimat yang singkat namun penuh ancaman itu membuatnya terdiam beberapa detik.

Siapa yang bisa mengirim pesan seperti itu? Apakah itu dari seseorang di rumah ini? Atau mungkin dari luar? Hatinya bertanya-tanya. Namun, ia tidak punya banyak petunjuk. Nomor yang mengirim pesan itu adalah nomor tak dikenal, tanpa nama atau tanda-tanda lain. Tiba-tiba, ia merasa sendirian, terjebak dalam pernikahan yang penuh rahasia dan ketidakpastian.

Alena mencoba menenangkan diri. Ia memutuskan untuk tidak membahas ini pada siapa pun dulu. Bahkan pada Aziz. Ia masih belum yakin siapa yang bisa dipercaya. Apakah mungkin salah satu dari anak-anak Aziz yang mengirim pesan ini? Tidak mungkin, pikirnya. Meski Sasya memang masih marah dan Zizi tampak canggung, rasanya pesan itu terlalu dingin dan mengancam untuk datang dari mereka.

"Mungkin ini cuma orang iseng," bisiknya pada dirinya sendiri, berharap kata-kata itu bisa menenangkan kegelisahannya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar pesan iseng.

Keesokan paginya, suasana rumah kembali tegang. Aziz sibuk bersiap-siap ke kantor, seperti biasa, tanpa banyak bicara. Alena mencoba bersikap normal, meskipun pikirannya terus dipenuhi oleh pesan misterius itu.

Di meja makan, Sasya dan Zizi duduk berhadapan dengan Alena, tetapi suasana tetap dingin. Sasya masih menunjukkan sikap tak peduli, sementara Zizi tampak lebih tenang, meskipun Alena bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal di antara mereka.

Saat Aziz berdiri untuk pergi, Alena mendekat dan mencoba menyampaikan sesuatu. "Om, bisa pulang lebih awal hari ini? Aku mau ngobrol tentang sesuatu."

Aziz menatapnya sebentar, lalu mengangguk tanpa banyak bertanya. "Oke, nanti kita bicara."

Jawaban singkat itu membuat Alena sedikit lega, meski ia tahu obrolan dengan suaminya nanti mungkin tidak akan mudah. Ia ingin menceritakan tentang pesan itu, tetapi bagian dari dirinya merasa ragu. Aziz sering kali terlihat sibuk dan cenderung menghindari masalah rumah tangga yang rumit.

Setelah Aziz pergi, Alena kembali mencoba mendekati kedua anak tirinya. "Sasya, Zizi... nanti sore kita bisa masak bareng yuk?" tanyanya sambil tersenyum lebar, berharap sedikit bisa mencairkan suasana.

Zizi terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Aku mau coba bantu, Kak."

Namun, respon berbeda datang dari Sasya. "Aku enggak ada waktu buat masak,” katanya dingin, lalu bangkit dari kursinya dan pergi ke kamar.

Alena menatap punggung Sasya yang menghilang di lorong dengan hati sedih. Gadis itu benar-benar keras kepala. Mungkin butuh waktu lama untuk bisa membuatnya menerima Alena. Tetapi Alena tidak akan menyerah begitu saja.

Sore harinya pun berlangsung sesuai rencana.

"Yuk, kita mulai, Zizi," Alena berusaha menjaga semangatnya. "Kita bikin spaghetti aja, ya? Gampang kok."

Mereka berdua masuk ke dapur, dan Alena mulai mengeluarkan bahan-bahan dari lemari es. Meskipun ia tidak pandai memasak, setidaknya ia pernah mencoba membuat beberapa makanan sederhana sebelumnya. Kali ini, ia ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak itu, berharap makanan bisa menjadi jembatan untuk membuka hati mereka.

Namun, seperti biasa, keberuntungan tidak berpihak pada Alena. Saat ia sedang merebus pasta, tiba-tiba air mendidih meluap keluar dari panci, membuat dapur menjadi kacau. Zizi yang sedang memotong bawang langsung tersentak kaget.

"Kak, airnya tumpah!" teriak Zizi.

Alena panik dan langsung mematikan kompor. Ia meraih kain lap untuk membersihkan air yang tumpah, tetapi gerakannya yang terburu-buru justru membuatnya tersandung.

"Astaga!" Alena hampir jatuh, tapi untungnya berhasil menopang tubuhnya dengan tangan di meja. Zizi hanya bisa menahan tawa kecil sambil menatap kekacauan yang terjadi.

"Maaf ya, Zizi. Kakak memang enggak bisa masak," kata Alena dengan senyum malu-malu.

Zizi terkekeh pelan. "Enggak apa-apa, Kak. Tapi Kakak harus lebih hati-hati."

Meskipun dapur menjadi kacau, setidaknya Alena berhasil membuat Zizi tertawa sedikit. Itu sudah menjadi kemenangan kecil baginya.

Malam itu, ketika Aziz pulang, Alena menyiapkan makan malam dengan hati-hati. Meskipun hasil masakannya jauh dari sempurna, ia berusaha menata meja makan dengan rapi dan memberikan suasana yang hangat.

Saat mereka mulai makan, Alena mencoba membuka pembicaraan. "Om, kapan ada waktu untuk anak-anak?"

Aziz menatapnya sejenak sebelum menjawab. "Kalau proyek ini sudah selesai, kita akan membahasnya.”

Alena ingin mengatakan lebih banyak, terutama tentang pesan misterius yang ia terima. Namun, ia merasa belum saatnya. Mungkin nanti, ketika situasinya lebih tenang, ia akan membicarakannya.

Setelah makan malam, Zizi menghampiri Alena di kamar. Gadis kecil itu terlihat cemas, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu.

"Kak Alena... ada yang mau aku bilang," kata Zizi pelan.

Alena duduk di tepi tempat tidurnya, menatap Zizi dengan penuh perhatian. "Apa, Zizi? Ada masalah?"

Zizi menggeleng, tetapi wajahnya menunjukkan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Aku cuma... aku cuma mau bilang, jangan terlalu peduli sama apa yang Kak Sasya bilang. Dia memang gitu orangnya. Tapi sebenarnya, dia enggak benci sama Kakak."

Alena tersenyum lembut. "Makasih, Zizi. Kakak ngerti kok. Tapi Kakak juga mau kau sama Sasya tahu kalau Kakak di sini untuk kalian berdua. Kita bisa berteman."

Zizi mengangguk, lalu memeluk Alena dengan erat. Itu adalah momen pertama di mana Alena benar-benar merasa diterima, meskipun hanya oleh salah satu anak tirinya.

“Jadi tolong jangan pernah merasa bahwa aku akan menggantikan posisi mama kalian ya?” ucap Alena lagi. Kali ini Zizi mengangguk tanpa suara sembari tersenyum lembut pada ibu sambungnya itu.

Namun, momen manis itu terhenti ketika ponsel Alena bergetar di atas meja. Dengan cepat, Alena meraih ponselnya dan melihat ada pesan baru dari nomor yang sama seperti sebelumnya.

[Apa pun yang kau lakukan, kau enggak akan pernah jadi bagian dari keluarga ini.]

Alena menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Siapa pun yang mengirim pesan ini jelas tidak main-main. Tetapi siapa sebenarnya yang menginginkannya menjauh dari keluarga ini? Dan kenapa?

Alena mencoba berpikir jernih, tapi hatinya dipenuhi rasa takut dan kebingungan. Apakah ini peringatan? Atau ancaman?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 6

    Alena terjaga dari tidurnya, menatap ponsel di tangan dengan bingung. Pesan misterius yang baru saja ia terima menggetarkan hati. Kalimat yang singkat namun penuh ancaman itu membuatnya terdiam beberapa detik.Siapa yang bisa mengirim pesan seperti itu? Apakah itu dari seseorang di rumah ini? Atau mungkin dari luar? Hatinya bertanya-tanya. Namun, ia tidak punya banyak petunjuk. Nomor yang mengirim pesan itu adalah nomor tak dikenal, tanpa nama atau tanda-tanda lain. Tiba-tiba, ia merasa sendirian, terjebak dalam pernikahan yang penuh rahasia dan ketidakpastian.Alena mencoba menenangkan diri. Ia memutuskan untuk tidak membahas ini pada siapa pun dulu. Bahkan pada Aziz. Ia masih belum yakin siapa yang bisa dipercaya. Apakah mungkin salah satu dari anak-anak Aziz yang mengirim pesan ini? Tidak mungkin, pikirnya. Meski Sasya memang masih marah dan Zizi tampak canggung, rasanya pesan itu terlalu dingin dan mengancam untuk datang dari mereka."Mungkin ini cuma orang iseng," bisiknya pada d

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 5

    Pagi hari di rumah Aziz terasa seperti mimpi buruk bagi Alena. Setelah kejadian malam itu, saat ia menemukan Zizi menangis di lorong, Alena semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di rumah ini. Namun, yang lebih mengganggu adalah perasaannya yang semakin tidak diterima. Zizi dan Sasya masih menjaga jarak, sementara Aziz tampak semakin sibuk dengan pekerjaannya dan mengabaikan masalah yang jelas ada di depan mata.Alena berusaha keras untuk tetap tegar. Setiap pagi ia mencoba memulai hari dengan senyuman, meski hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ketika Aziz sudah berangkat ke kantor, Alena berusaha mendekati kedua anak tirinya."Sasya, Zizi... gimana kalau hari ini kita keluar bareng? Jalan-jalan ke mall atau makan es krim?" tanyanya ceria saat mereka sarapan.Namun, respon yang diterima membuatnya kembali terpukul."Enggak perlu," kata Sasya tanpa melihat Alena. "Aku ada tugas sekolah, dan Zizi juga."Zizi hanya menunduk, tidak berkata apa-apa, tetapi jelas terlihat bahwa ia me

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 4

    Hari-hari setelah pernikahan Alena terasa semakin berat. Hubungan dengan Sasya dan Zizi tak kunjung membaik, bahkan cenderung semakin memburuk. Setiap kali mereka berada di ruangan yang sama, suasana menjadi tegang. Kedua anak itu jelas tidak mau menerima Alena sebagai bagian dari hidup mereka. Di mata mereka, ia hanyalah orang asing yang tiba-tiba muncul dan merebut tempat ibu mereka.Pagi itu, Alena mencoba untuk lebih berusaha. Ia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan. Meski tahu kemampuan memasak yang dimiliki sangat terbatas, tetapi setidaknya ini bisa menjadi upaya kecil untuk mendekatkan diri."Aku bisa, aku pasti bisa," gumamnya pada diri sendiri sambil membuka buku resep yang baru ia unduh dari internet. Pandangannya terhenti pada menu sederhana—omelet sayur dan roti panggang. "Enggak terlalu sulit ‘kan?"Dengan semangat, Alena mulai memotong sayuran dan menyiapkan bahan-bahan lainnya. Namun, kenyataan segera menghantam. Telur yang ia kocok terlalu encer, dan

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 3

    Pagi itu terasa aneh bagi Alena. Setiap detik berlalu seperti sebuah mimpi, sebuah kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi secepat ini.Sebentar lagi, ia akan menjadi istri seorang pria yang baru dikenal kemarin—Aziz, duda dengan dua anak yang berumur hampir sebaya dengannya."Ini benar-benar akan terjadi..." gumam Alena, meremas-remas ujung kerudungnya dengan gugup.Aziz duduk di seberang ruangan, wajahnya tanpa ekspresi. Tampak tenang, namun ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan oleh Alena.Di sisi lain, Alena merasa hatinya terus berdenyut dengan cepat. Pernikahan ini bukan tentang cinta. Semua hanya tentang hutang budi yang harus dibayar."Kau siap?" tanya Aziz dengan nada datar."Apa aku punya pilihan?" Alena membalas tanpa menatapnya.Aziz menghela napas panjang. "Tidak ada."Alena tahu itu benar. Keluarga Aziz telah membantu keluarganya saat mereka jatuh miskin setelah ayahnya meninggal. Kini, tanggung jawab itu menjadi beban di pundak. Aziz menuntutnya untu

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 2

    Alena duduk di sudut kafe yang agak sepi, jaraknya cukup jauh dari keramaian yang biasa memenuhi tempat itu. Matanya menatap kosong pada segelas kopi yang mulai dingin di hadapan. Tangan pun tak bisa berhenti menggenggam ujung kerudung, memainkan kain tersebut seolah itu adalah satu-satunya cara yang bisa mengalihkan kegugupan. Pikirannya berlarian tak menentu, antara kebingungan, cemas, dan... sedikit rasa penyesalan.Kenapa aku mau datang?Jantungnya berdebar tak karuan, semakin keras setiap detik, karena dia tahu pertemuan ini akan mengubah seluruh hidupnya. Pertemuan dengan orang yang tak pernah dia bayangkan akan menjadi suaminya—Aziz.Aziz, pria berumur 38 tahun yang selama ini hanya dia dengar dari cerita orang-orang di kampungnya. Seorang pria yang dianggap dermawan, tetapi juga terkenal karena sifat tegas dan otoriter. Dan kini, dia berada di ambang menjadi istri pria itu.Om Aziz...Pintu kafe terbuka dengan suara halus, namun detik itu Alena tahu siapa yang datang. Seolah u

  • Istri Baru Untuk Om Duda   Bab 1

    “Apa? Aku harus nikah sama dia?!”Alena hampir menjatuhkan ponselnya. Suara di seberang sana terlalu mengejutkan untuk dicerna begitu saja. Jalanan di sekitar Medan sore itu penuh kendaraan berlalu-lalang, tetapi seakan lenyap dari pandangannya. Yang tersisa hanya gemuruh di telinga, berdering bersama suara sang ibu yang menggelegar di ponsel.“Kau dengar ‘kan? Udah diputuskan, Na. Aziz itu orang baik. Keluarga kita berhutang budi sama mereka!” Ibunya terdengar tegas, bahkan nyaris tak memberi ruang untuk perlawanan. Sore yang cerah mendadak berubah menjadi kelabu bagi Alena.Perempuan berusia 21 tahun itu mengerjapkan mata, menatap sepatu flat yang dipakainya, seolah berharap jawaban muncul dari sana. “Tapi... Tapi, Mak. Aku masih kuliah. Gimana aku bisa nikah? Lagi pula, aku enggak kenal sama dia!” ucapnya dengan nada putus asa. Suara lalu lintas yang bising mendadak menjadi latar yang sunyi dibandingkan ketakutan yang mendera di hatinya.Ibunya mendesah di seberang, seperti berusah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status